Sukses

Meta Disebut Akan Pangkas Jumlah Karyawan

Menurut laporan terbaru The Wall Street Journal, Meta disebut tengah berencana untuk memangkas jumlah karyawan perusahaan.

Liputan6.com, Jakarta - Meta dilaporkan telah memulai memangkas jumlah karyawan dan melakukan reorganisasi tim. Menurut laporan The Wall Street Journal, hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya operasional perusahaan.

Kendati demikian, seperti dikutip dari Engadget, Kamis (22/9/2022), perusahaan induk Facebook tersebut tidak ingin menyebutnya sebagai PHK. Perusahaan hanya memperingatkan sejumlah karyawan bersiap-siap untuk pengurangan jumlah yang signifikan.

Namun belum dipastikan, jumlah karyawan Meta yang terdampak keputusan ini. Berdasarkan laporan tersebut, Meta telah mengizinkan staf melamar pekerjaan baru di dalam perusahaan, tapi hanya diberi waktu 30 hari untuk melakukannya.

Selain itu, laporan juga menyebut karyawan yang memiliki reputasi baik dan ulasan kinerja baik didorong keluar secara teratur. Indikasi Meta melakukan aksi pangkas karyawan ini diprediksi setelah ketika Mark Zuckerberg menyebut adanya penurunan pendapatan dari perusahaan.

Perlu diketahui, Facebook melaporkan penurunan pertama pendapatan tahunan di kuartal kedua 2022-nya. Perusahaan media sosial terbesar di dunia ini mengumumkan, terjadi penurunan pendapatan 1 persen menjadi USD 28,8 miliar (Rp 430,7 triliun).

Facebook juga memperkirakan pertumbuhan pendapatan di kuartal ketiga 2022 bisa turun lebih banyak lagi.

Selain itu, laba keseluruhan untuk perusahaan induknya, Meta, turun 36 persen menjadi USD 6,7 miliar pada kuartal 2 2022.

Divisi Reality Labs, yang bertanggung jawab mengembangkan metaverse kehilangan USD 2,8 miliar pada kuartal 2 2022.

Penurunan pertama dalam pertumbuhan pendapatan Facebook dan Meta ini sudah diperkirakan oleh analis di Wall Street.

Mengutip The Verge, salah satu tantangan yang membuat perusahaan sulit menumbuhkan pendapatan adalah adalah tools privasi baru di iOS. Tools "minta aplikasi untuk tidak melacak" ini muncul di iPhone dan membuat bisnis iklan Facebook jadi tidak efektif.

Tahun lalu, Meta diketahui menderita kerugian USD 10 miliar dalam pendapatan iklan. Kini, ditambah pelambatan ekonomi, ada lebih banyak pengiklan yang menarik kembali belanja iklan mereka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Korsel Denda Google dan Meta, Tuding Curi Informasi Pribadi Warganya

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Informasi Pribadi Korsel menyebut pihaknya telah memberlakukan sanksi denda terhadap Google dan Meta karena dianggap melanggar undang-undang privasi di negara tersebut.

Mengutip Gizchina, Kamis (15/9/2022), menurut Komisi tersebut Google dan Meta didenda sebesar USD 44 juta atau setara Rp 655,6 miliar karena mengumpulkan informasi pribadi pengguna tanpa persetujuan.

Kedua perusahaan dituding memakai informasi pribadi pengguna untuk mengkustomisasi iklan dan melakukan pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Google dan Meta juga telah mengekspresikan keberatan mereka terhadap keputusan dari Komisi Perlindungan Informasi Pribadi Korsel.

"Kami tidak sepakat dengan temuan Komisi dan kami akan meninjau keputusan secara tertulis saat hal tersebut dibagikan kepada kami," kata juru bicara Google.

Lebih lanjut, Google menyebut pihaknya selalu berkomitmen membuat berbagai update berkelanjutan yang memberikan kontrol dan transparansi ke pengguna sembari menghadirkan produk bermanfaat.

"Kami tetap berkomitmen terlibat dengan Komisi untuk melindungi privasi pengguna Korea Selatan," kata juru bicara Google.

3 dari 5 halaman

Meta Keberatan dengan Sanksi Denda

Sementara juru bicara Meta menyebut, meski berkomitmen menghormati keputusan Komisi, pihaknya bekerja dengan klien sesuai aturan hukum setempat.

"Kami tidak setuju dengan keputusan Komisi tetapi akan terbuka terhadap semua pilihan, termasuk mencari keputusan dari pengadilan," kata juru bicara Meta.

Komisi tersebut menyebut, Meta dan Google tidak secara eksplisit menginformasikan ke pengguna layanannya saat mengumpulkan dan menganalisis informasi tingkah laku pengguna serta memakainya untuk membuat iklan tertarget.

Sebelumnya hal serupa juga disoroti di belahan dunia lainnya. Senator AS Lindsey Graham pernah mengkritik Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya.

Graham ingin AS menggunakan metode baru dalam mengatur perusahaan-perusahaan medsos tersebut, bahkan mempertimbangkan penggunaan lisensi dalam menerapkan regulasi. 

4 dari 5 halaman

Pendekatan Baru untuk Atur Perusahaan Medsos

Graham mengungkap, dirinya bersama sejumlah senator lainnya menciptakan pendekatan lainnya untuk mengatur perusahaan-perusahaan medsos.

Dalam sebuah rapat dengar pendapat yang mendiskusikan celah di Twitter, Graham menyebut perusahaan media sosial memiliki kehadiran internasional yang kuat.

Namun, perusahaan medsos hanya memiliki sedikit batasan tentang apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan.

Senator tersebut menganggap FTC tidak memiliki banyak alat untuk mengatur perusahaan media sosial tersebut.

Perusahaan media sosial tidak memiliki lisensi sehingga tidak ada satu pun pihak yang bisa menggugat mereka. "Jika Anda ingin mengemudi, Anda perlu surat izin (driver license) dan jika Anda ingin menjual properti, Anda butuh sebuah izin," katanya.

Ia pun ingin negara atau pemerintah menggunakan serangkaian aturan untuk mengatur. Ia juga ingin agar platform medsos mengambil langkah lebih tegas dalam melawan kejahatan siber dan intervensi dari luar negeri.

"Jika ada yang ingin menurunkan konten Anda, Anda harus mengajukan banding, ada proses banding," ujarnya.

(Dam/Isk)

5 dari 5 halaman

Infografis Google dan Facebook (Liputan6.com/Abdillah)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.