Sukses

Kiat Menjaga Keamanan Data Pribadi Bagi Konsumen dan Platform Digital

Berikut tips bagi konsumen dan platform digital untuk menjaga keamanan data pribadi dan mengurangi risiko terkena kejahatan siber.

Liputan6.com, Jakarta Transformasi digital dan industri financial technology (fintech) saat ini semakin berkembang. Namun, tren ini juga harus diikuti kewaspadaan terhadap ancaman kejahatan siber.

Tidak sedikit oknum yang menyalahgunakan animo masyarakat menggunakan platform fintech maupun investasi, serta kerap kali terjadi pencurian data dari aplikasi.

Maka dari itu, CEO dan Co-Founder VIDA, Sati Rasuanto pun mengungkapkan, ada beberapa kiat dalam menjaga keamanan data pribadi bagi konsumen, serta untuk platform digital itu sendiri.

Sati, dalam keterangan tertulisnya, ditulis Senin (9/5/2022) mengatakan, dalam dunia online, mereka percaya bahwa trust atau kepercayaan, adalah aspek yang paling krusial.

Menurutnya, hal ini memungkinkan kita untuk mempercayai sebuah ide atau produk, yang sebelumnya belum pernah kita kenal.

"Langkah pertama untuk melindungi diri bagi para platform digital dari cyber fraud adalah bagaimana kita membangun proses verifikasi trust di awal sebagai pintu masuk," kata Sati.

Maka dari itu, untuk pengguna, Sati menekankan pentingnya untuk tidak menyebarkan dengan mudah data pribadi bagi pihak-pihak di luar diri kita.

Beberapa data pribadi yang tidak boleh dengan gampang disebarkan seperti KTP, swafoto dengan KTP, foto paspor, foto boarding pass, nomor rekening, nomor kartu kredit, nama ibu kandung, termasuk fotokopi berbagai dokumen itu.

"Terus pastinya jangan memberi kode OTP (One-Time-Password) dan jangan asal klik link yang menjanjikan hadiah juga, biasanya kalau online, when it’s too good to be true, itu biasanya bohong," imbuh Sati.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Digital Explorer

Sebuah studi dari Digital Frontier menunjukkan, lebih dari 78 persen konsumen di Asia Tenggara, mendefinisikan diri mereka sebagai digital explorer. Ini berarti, para konsumen ini selalu ingin mencoba layanan baru yang bersifat digital experience.

Namun di sisi lain, kerugian dari fraud untuk transaksi online di Asia Tenggara pada tahun 2019, mencapai USD 260 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun, dengan 71 persen di antaranya berasal dari identity fraud.

Di situlah pentingnya kehadiran proses verifikasi identitas secara online atau electronic Know-Your-Customer (e-KYC).

Terlebih pada era yang serba digital, belum tentu semua orang dapat meluangkan waktu untuk hadir secara fisik di kantor cabang dan menunggu dalam waktu yang lama.

Sati mencontohkan, ketika ada yang mau membuka akun di digital platform, sistem verifikasi memastikan bahwa orang tersebut terverifikasi dengan baik.

"Analoginya seperti membiarkan orang masuk rumah, mau orang tersebut menginap ataupun buka kulkas rumah, platform telah mempercayai orang tersebut, karena telah melakukan pengecekan pada pintu masuk," ujarnya.

"Namun begitu sudah di dalam dan orang tersebut mau melakukan transaksi, orang tersebut hanya perlu melalui proses bernama otentikasi seperti tanda tangan elektronik," imbuhnya.

Pada umumnya, proses identifikasi secara tradisional menggunakan email, nomor telepon ataupun username dan password. Namun identitas tersebut dapat menimbulkan permasalahan karena bersifat tidak unik.

3 dari 4 halaman

Verifikasi Identitas

Maka dari itu, VIDA melakukan verifikasi identitas berdasarkan identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini berarti e-KTP sebagai basis verifikasi yang kuat untuk memastikan kebenaran pemilik data.

Selanjutnya proses verifikasi itu umumnya kini melalui proses selfie atau pengambilan foto KTP, atau selfie sama KTP.

"Yang berbeda, VIDA menggunakan teknologi liveness detection dimana teknologi tersebut memastikan bahwa yang diverifikasi itu benar saya, bukan orang yang memegang foto saya atau memakai topengnya saya dan lain-lain."

Sati menambahkan, dalam menciptakan rasa percaya di proses verifikasi, terdapat standar untuk proses keamanan data agar semua prosesnya dilakukan sesuai standar dan regulasi yang ada, bahkan lebih dari itu.

Ketika keseluruhan proses tersebut sudah terpercaya dan dilengkapi dengan enkripsi end to end, maka hal ini meyakinkan siapapun yang masuk dalam platform tersebut.

Sesuai UU ITE, tanda tangan elektronik (TTE) tersertifikasi memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi di hukum Indonesia, dan hanya dapat disediakan oleh Penyedia Sertifikasi Elektronik (PSrE) yang terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika seperti VIDA.

Meski begitu, menurut Sati, memang ada pengguna dan platform yang kerap mempermasalahkan kenyamanan bertransaksi dan kemanaan.

"Kadang ada yang bertanya, 'Kenapa perlu verifikasi KTP, padahal email saja cukup?', 'Kenapa pakai tanda tangan tersertifikasi, cukup pakai image tanda tangan di tempelkan ke PDF kan cukup?' Banyak sekali friksi-friksi yang buat orang-orang malas untuk menggunakan."

 

4 dari 4 halaman

Pentingnya Kepercayaan dalam Ekonomi Digital

Maka dari itu, Santi mengklaim, mereka fokus untuk menghadirkan solusi verifikasi dengan pelayanan yang cepat, sehingga tidak ada lagi yang memperbandingkan antara keamanan dan kenyamanan.

"Kedua hal tersebut dapat berjalan bersama tanpa harus ada pikiran, ‘kalau dia aman, maka ribet’, dimana teknologi sudah memungkinkan untuk menyediakan keduanya," ujar Santi.

Lebih lanjut, menurut VIDA, kepercayaan digital atau digital trust, semakin fundamental terhadap pengembangan ekonomi digital, di mana semakin orang percaya, maka mereka akan lebih sering melakukan transaksi dengan lebih besar.

Oleh karena itu, kolaborasi semua pihak mulai dari swasta, PSrE, dan juga pemerintah, dalam membangun ekosistem, dianggap sangat dibutuhkan. Hal ini mengingat apabila trust terganggu, maka kemajuan Indonesia di ekonomi digital akan terhambat.

Sati pun menegaskan, dalam sebuah trusts business, "if the ecosystem does well, we do well."

"Jadi misalkan platform sudah kuat, kemudian pemerintah membuat aturannya, dan pihak ketiga sudah melakukan pemantauan, tapi kalau user-nya tidak begitu paham apa yang perlu dilakukan untuk melindungi data mereka sendiri,semua upaya tersebut tidak akan berjalan."

"Semakin kita berkolaborasi dengan partner dan bisnis lain untuk dapat hadapi tantangan itu bersama dan tidak sendirian, keuntungan berkolaborasi itu dapat berlipat ganda,” pungkas Sati.

(Dio/Isk)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.