Sukses

Pengungsi Rohingya Gugat Facebook Rp 2.151 Triliun karena Dinilai Gagal Cegah Ujaran Kebencian

Facebook digugat oleh para pengungsi Rohingya akibat dinilai gagal membendung ujaran kebencian di Myanmar.

Liputan6.com, Jakarta Pengungsi Rohingya mengajukan gugatan kepada media sosial Facebook sebesar US$ 150 miliar atau sekitar Rp 2.151 triliun, dengan tuduhan mereka gagal membendung ujaran kebencian di platformnya.

Mereka menilai kegagalan itu memperburuk kekerasan terhadap etnis Rohingya yang merupakan minoritas di Myanmar.

Gugatan yang diajukan ke pengadilan California, Amerika Serikat, itu mengatakan algoritma Facebook mempromosikan disinformasi dan pemikiran ekstrem yang diwujudkan dalam kekerasan di dunia nyata.

"Facebook seperti robot yang diprogram dengan misi tunggal: bertumbuh," kata dokumen di pengadilan seperti dikutip dari Aljazeera, Rabu (8/12/2021).

Penggugat mengatakan, kenyataan tak bisa dibantah bahwa "Pertumbuhan Facebook, yang dipicu oleh kebencian, perpecahan, dan misinformasi, telah menyebabkan ratusan ribu nyawa Rohingya hancur setelahnya."

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Gugatan di Inggris

Gugatan rupanya tak cuma diajukan para pengungsi Rohingya di Amerika Serikat. Pengaduan serupa juga dilayangkan di Inggris.

Mengutip The Guardian, hal tersebut seperti terlihat dalam sebuah surat yang dikirimkan ke firma hukum McCue Jury & Partners ke kantor Facebook Inggris pada hari Senin.

Surat itu mengatakan klien dan anggota keluarga mereka telah menjadi sasaran tindakan "kekerasan serius, pembunuhan, dan/atau pelanggaran hak asasi manusia berat lainnya."

Pengacara Rohingya menyebut, tindakan itu sebagai bagian dari kampanye genosida yang dilakukan rezim yang berkuasa dan ekstremis sipil di Myanmar.

3 dari 4 halaman

Facebook Sempat Akui Kegagalan

Pengacara di Inggris pun berharap dapat mengajukan klaim di pengadilan tinggi, mewakili Rohingya di Inggris, dan pengungsi di kamp-kamp Bangladesh, pada 2022.

Facebook sendiri di 2018 mengakui bahwa mereka belum cukup mencegah hasutan kekerasan dan ujaran kebencian terhadap Rohingya.

Laporan independen oleh mereka bahkan menyatakan "Facebook telah menjadi sarana bagi mereka yang ingin menyebarkan kebencian dan menyebabkan kerusakan, dan unggahan telah dikaitkan dengan kekerasan luring."

Surat McCue pun menyebut, meski Facebook sudah mengakui kesalahannya, "tidak ada satu sen pun kompensasi atau bentuk perbaikan atau dukungan apa pun, yang ditawarkan kepada siapa pun yang selamat."

4 dari 4 halaman

Infografis Indonesia, Tempat Transit Pengungsi Global

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.