Sukses

Pengamat Nilai Kuota Internet untuk Belajar Online Masih Dibutuhkan

Pengamat menilai kuota internet untuk belajar online masih dibutuhkan baik oleh dosen, mahasiswa, guru, dan orangtua.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat sekaligus Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Ridwan Effendi, menilai bantuan kuota internet untuk belajar yang diberikan oleh pemerintah masih dibutuhkan oleh masyarakat.

Ia menyebut, bantuan kuota belajar tahun 2020 telah sangat membantu baik bagi siswa, guru, dan orangtua.

Pembelajaran jarak jauh pun masih harus dilakukan seiring dengan upaya pemerintah untuk terus menekan pandemi Covid-19.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) berencana memberi bantuan kuota internet pada tahun 2021 untuk mendukung PJJ di masa pandemi.

"Jika siswa atau guru setiap hari harus membeli kuota internet, tentu menambah beban mereka. Apalagi banyak orangtua yang pekerjaannya terdampak pandemi. Bantuan kuota internet dari pemerintah akan sangat membantu mengurangi beban masyarakat," kata Ridwan.

Dari pengalamannya sendiri, ketika memberikan kuliah online selama satu jam dengan layanan video streaming, setidaknya dibutuhkan kuota 2GB.

Ia mengkalkulasi, jika mahasiswa mengambil 18 SKS, dibutuhkan minimal 9GB per minggu atau 36GB dalam sebulan. Jika rata-rata per 1GB dijual Rp 5.000 oleh operator, orangtua dan dosen butuh setidaknya Rp 180 ribu untuk paket internet.

Sebagai dosen, Ridwan menepis anggapan beberapa pihak yang mengatakan kuota gratis yang diberikan kepada siswa dan guru tidak bermanfaat dan mubazir karena mayoritas kuota internet yang diberikan hanya dipakai untuk mendukung Program PJJ.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pembagian kuota umum dan belajar sudah tepat

Dosen teknik ITB itu mengatakan, pembagian antara kuota belajar dan kuota umum yang diberlakukan pemerintah sudah tepat.

"Tujuannya agar kuota yang diberikan melalui dana APBN dapat dipakai untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Bukan untuk menonton drakor atau TikTok. Kalau dipergunakan untuk nonton drakor kan juga tidak benar," tuturnya.

Ridwan yang pernah berdiskusi dengan dosen dan siswa menyebut, kuota khusus belajar yang diberikan pemerintah habis dipergunakan untuk Zoom dan mengakses aplikasi lainnya yang sudah masuk whitelist khusus belajar.

Ia berpendapat, untuk menjamin kualitas serta kesinambungan layanan industri telekomunikasi nasional, harga jual dari kuota gratis Kemendikbud ini lebih kompetitif dari harga umum, namun tidak sampai di bawah harga pokok produksi operator.

3 dari 3 halaman

Jangan bebani operator

Ridwan memahami kesulitan yang tengah dialami pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Namun menurutnya, pemerintah jangan sampai membuat operator telekomunikasi merugi akibat menjual harga layanan di bawah harga pokok produksi.

Apalagi menurutnya, operator telekomunikasi tidak mendapatkan bantuan atau subsidi dari pemerintah di saat pandemi Covid-19.

"Pemerintah hanya memberikan dispensasi pembayaran BHP Frekuensi beberapa bulan saja. Namun ironisnya surat pemberian dispensasi pembayaran BHP Frekuensi itu keluar setelah operator telekomunikasi membayarkan BHP Frekuensi ke kas negara, sehingga praktis operator telekomunikasi tak mendapatkan bantuan dari pemerintah," katanya.

Ia berkata, operator yang tergabung dalam APJII dan ATSI membutuhkan bantuan penundaan pembayaran BHP Frekuensi atau penundaan pembayaran dana USO.

"Anggota ATSI dan APJII pada saat itu tidak meminta pengurangan BHP Frekuensi ataupun dana USO," katanya.

(Tin/Ysl)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.