Sukses

Survei ITB: 48 Persen Komuter di Jabodetabek Gunakan Transportasi Online

48 persen komuter menggunakan layanan ride-hailing (transportasi online) sebagai salah satu moda transportasi dalam perjalanan multimoda harian.

Liputan6.com, Jakarta - Sistem transportasi massal Jabodetabek yang belum sepenuhnya terintegrasi membuat masyarakat harus pintar memilih angkutan yang efisien dari segi biaya dan waktu.

Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) dalam penelitian bertajuk "Peran Transportasi Daring dalam Penggunaan Transportasi Massal: Gagasan Integrasi Antar Moda dalam Periode Adaptasi Kebiasaan Baru" mengeksplorasi pengalaman transportasi multimoda harian dan opini dari 5.064 komuter pada Desember 2019 - Maret 2020.

Penelitian yang dipimpin Associate Professor SBM ITB Yos Sunitiyoso ini menemukan 48 persen komuter menggunakan layanan ride-hailing (transportasi online) sebagai salah satu moda transportasi dalam perjalanan multimoda harian.

Ride-hailing menjadi moda transportasi first-mile (mil pertama, artinya dari rumah ke titik transportasi publik) dan last-mile (mil terakhir, dari titik terakhir ke rumah).

Kemudahan dan kenyamanan ini telah mendorong semakin banyak anggota masyarakat memiliki transportasi publik.

Hasil penelitian itu dipaparkan dalam diskusi publik dengan Kementerian Perhubungan RI, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dan TransJakarta, belum lama ini.

Diskusi itu juga mengundang Grab Indonesia sebagai penyedia ride-hailing, atau yang lebih populer disebut transportasi online.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Semua Pihak Harus Berkolaborasi

Hasil penelitian itu ditanggapi oleh Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Ia menggarisbawahi kata ekosistem sebagai kata kunci dalam pengembangan transportasi publik ke depan.

Karena itu, diperlukan semua pihak komitmen untuk menciptakan ekosistem transportasi publik terintegrasi.

"Semua pihak harus terus berdialog terbuka. Pengambil kebijakan, operator transportasi publik, dan operator penyedia ride-hailing harus berkolaborasi menghadapi situasi adaptasi kebiasaan baru ini,” kata Heru, dikutip Selasa (1/9/2020).

Lebih jauh, Heru menjelaskan bahwa pembangunan ekosistem itu telah dapat difasilitasi oleh teknologi digital. Inilah yang membuat peran ride-hailing semakin penting dalam ekosistem transportasi publik.

Heru melihat besarnya kontribusi Grab dalam pembangunan ekosistem transportasi publik terintegrasi di DKI Jakarta.

 

3 dari 3 halaman

73 Persen Komuter Memilih Grab

Beberapa contoh yang diambil Heru meliputi Grab Pick Up Point, GrabShelter, dan GrabProtect. Itu semua merupakan solusi yang relevan dalam periode adaptasi kebiasaan baru di DKI Jakarta.

"Kita lihat, 73 persen komuter yang menggunakan ride-hailing memilih Grab. Ini tentu karena Grab bisa menyediakan solusi baik bagi konsumen maupun pemerintah. Solusi itu dapat berupa kenyamanan pemesanan karena teknologi yang lebih baik dan fitur keamanan dan keselamatan yang unggul” ujarnya.

Agung Wicaksono dari Center for Policy and Public Management SBM ITB yang bertindak sebagai moderator menyimpulkan, dari penelitian tim SBM ITB terlihat nyata bahwa transportasi publik bukanlah soal kompetisi, melainkan soal kolaborasi.

"Kolaborasi yang bukan hanya mengedepankan aspek bisnis, namun juga pelayanan kepada masyarakat karena kebijakan transportasi memiliki aspek sosial ekonomi,” ucap Agung.

(Isk/Why)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.