Sukses

BAKTI Alami Defisit Dana hingga 50 Persen

Untuk bisa merealisasikan berbagai program termasuk membangun konektivitas, BAKTI mengalami defisit hingga 50 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Anang Latif, mengungkapkan dana untuk pembangunan konektivitas di seluruh wilayah Indonesia tidak akan cukup hingga setidaknya 15 tahun ke depan. Dana yang dibutuhkan lebih dari Rp 170 triliun, sedangkan proyeksi pendapatan BAKTI jauh di bawah itu.

Dana BAKTI berasal dari kontribusi Universal Service Obligation/Kewajiban Pelayanan Universal (KPU/USO) penyelenggara telekomunkasi sebesar 1,25 persen dari pendapatan tahunan.

Program BAKTI antara lain Palapa Ring yang sudah selesai tetapi belum sepenuhnya terutilisasi, pembangunan BTS, penyediaan akses internet, dan penyiapan satelit multifungsi bernama Satelit Republik Indonesia (Satria).

Namun, mulai tahun ini BAKTI mengalami defisit dana untuk bisa merealisasikan berbagai program. Defisit ini diperkirakan akan terjadi hingga 2034.

"Total selama 15 tahun dibutuhkan sekitar Rp 170 triliun untuk semua program konektivitas. Tapi, masalahnya ada defisit lebih dari 50 persen," ujar Anang saat ditemui usai Raker Kemkominfo dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Rabu (5/2/2020).

Berdasarkan pemaparan Menkominfo, Johnny G. Plate, BAKTI pada tahun ini saja diperkirakan mendapatkan pemasukan sekira Rp 3 triliun dengan proyeksi pengeluaran sekira Rp 7 triliun. Pengeluaran pada tahun-tahun mendatang diprediksi terus meningkat, sedangkan pendapatan hanya tumbuh 5 persen setiap tahun.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sumber Dana Tambahan

Anang berharap pemerintah bisa mendapatkan sumber dana baru untuk pembangunan infrastruktur oleh BAKTI. Salah satu yang diharapkan adalah dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

"Kita mulai (mengalami) defisit tahun ini. Saat ini sedang cari penambahan lain (di luar USO) dan sudah dibicarakan dengan Kemenkeu, tapi belum ada keputusan," ujarnya.

Tambahan dana ini salah satunya dibutuhkan untuk pembiayaan investasi satelit Satria, yang direncanakan mengorbit pada 2022. Proyek Satria menggunakan skema pembayaran ketersediaan layanan (Availability Payment/AP) selama 15 tahun masa konsesi.

Proyek ini didukung dan dipantau oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kemenkeu, serta Kemkominfo yang berperan sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK). Proses pengadaan Badan Usaha Pelaksana (BUP) proyek ini dikelola oleh BAKTI, dengan penjamin PT PII didukung konsorsium PSN.

"Pendanaanya (menggunakan) konsep KPBU, membuat investasi pemerintah belum diperlukan di awal sampai satelitnya meluncur, hingga satelitnya siap beroperasi. Baru pada tahun 2023 pas layanannya sudah siap, kita membayar investasi selama 15 tahun dengan masa konsesi mulai 2023 sampai 2038," kata Anang.

Lebih lanjut, Johnny mengungkapkan untuk saat ini tidak bisa meminta penambahan USO dari para penyelenggara telekomunikasi. Namun, memang ada usulan supaya dana USO dinaikkan menjadi 2,5 persen.

"Saya sudah bertemu dengan Kemenkeu dan pimpinan terkait di Kemkominfo, juga sounding ke operator. Tapi melihat kondisi (industri telekomunikasi) seluler saat ini, operator belum bisa mengiyakan," tutur Johnny.

"Kalau dilihat dari keseluruhan program, USO tidak akan cukup. Perlu didiskusikan dengan Kemenkeu untuk tambahan dananya, apakah dari APBN atau lainnya," tutur Johnny.

(Din/Why)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini