Sukses

Ilmuwan Besut Baterai dari Botol Kaca Bekas

Liputan6.com, Jakarta - Ilmuwan University California Riverside, mengembangkan terobosan terbaru dalam menciptakan baterai dari material yang tidak biasa, yakni botol kaca bekas. 

Dilansir Inhabitat, Kamis (4/4/2019), baterai berbentuk koin transparan tersebut diklaim kuat dan mampu bertahan lama setidaknya empat kali lipat ketimbang baterai konvensional yang dijual di pasaran saat ini.

Dengan demikian, bisa dikatakan baterai itu bisa mengisi daya laptop, smartphone, hingga mobil elektrik sekalipun. 

Cengiz Ozkan, pimpinan ilmuwan University California Riverside, mengakui kaca botol bekas mengandung material silikon dioksida, mampu menyediakan partikel nano silikon murni yang bisa digunakan untuk baterai lithium-ion. 

Adapun proses pembuatan baterai tersebut menghabiskan tiga tahap. Pertama, ilmuwan memproduksi anoda dengan menghancurkan botol kaca dan memprosesnya menjadi bubuk putih.

Tahap berikutnya, bubuk putih tersebut dipilah dan diambil kandungan silikon dioksidanya untuk dikonversi ke silikon berstruktur nano.

Setelahnya, silikon tersebut dilapisi material karbon dan dibentuk dalam kepingan koin-koin transparan kecil.

Menurut pengujian laboratorium, baterai ini mampu mendemonstrasikan pengisian daya yang optimal.

Meski ilmuwan belum mencoba baterai tersebut untuk mengisi kendaraan elektronik, mereka percaya setidaknya baterai ini dapat mengisi daya perangkat portabel seperti laptop, smartphone, dan gadget lainnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Lebih Ramah Lingkungan, Baterai Berbahan Air Bakal Gantikan Lithium Ion?

Kabar soal baterai lithium ion yang bakal diganti dengan teknologi lebih baru memang sudah beredar cukup lama.

Nyatanya, sudah ada beberapa jenis baterai alternatif pengganti. Terbaru, baterai dengan kandungan air dan karbon disebut-sebut menjadi kandidat terkuat.

Peneliti dari RMIT University of Melbourne, Australia, belum lama ini menciptakan prototype baterai proton berbasis bahan dasar karbon dan air. Diklaim, baterai buatan mereka ini lebih ramah lingkungan dan hemat biaya.

"Saat ini kita semua disibukkan mencari sumber energi terbarukan (renewable energy). Dampaknya, banyak permintaan yang signifikan terhadap teknologi untuk memanfaatkan bahan yang lebih murah, tetapi tersedia banyak di pasaran," ujar pimpinan penelitian Profesor, John Andrews.

Andrews juga menjamin baterai buatannya bisa diisi ulang. Lantas, seperti apa proses di balik pembuatan baterai berbasis bahan dasar karbon dan air ini?

"Kami menggunakan karbon untuk menyimpan proton yang diciptakan oleh kandungan air. Jadi, baik karbon dan air memang sudah tersedia banyak di Bumi. Ini tentu akan kita manfaatkan," ujarnya sebagaimana dilansir The Guardian, Kamis (15/3/2018).

Mesi demikian, Andrews mengungkap baterai tersebut masih dalam bentuk prototype dan butuh waktu lama untuk bisa menggantikan lithium ion. "Mungkin butuh sekitar lima hingga sepuluh tahun lagi," jelas Andrews menambahkan.

3 dari 3 halaman

Penemu Lithium-Ion Siapkan Baterai dengan Kemampuan Lebih Baik

Untuk diketahui, salah satu penemu baterai lithium-ion, John Goodenough, dilaporkan tengah mengembangkan teknologi baterai terbaru. Baterai tersebut digadang-gadang akan memiliki kemampuan tiga kali lebih baik dari teknologi baterai saat ini.

Dikutip dari Fortune, Selasa (7/3/2017), Goodenough bersama timnya berencana menggantikan cairan elektrolit dengan kaca. Komponen itu dipilih karena memungkinkan baterai diisi lebih cepat, tak bisa meledak, dan tetap bisa berfungsi di suhu rendah.

Kendati masih dapat tahap awal pengembangan, ide yang sudah dituangkan di jurnal Energy & Envrionmental Science ini berhasil menarik perhatian.

Alasannya, sejumlah ide untuk baterai baru dalam beberapa tahun terakhir, dianggap sulit direalisasikan atau tak mungkin diproduksi.

Lambat laun, baterai lithium-ion menjadi tulang punggung revolusi perangkat mobile, bahkan beberapa di antaranya menyebut temuan ini memberi dampak sebesar temuan transistor.

Faktor penting menarik lainnya dari rencana pengembangan pria berumur 94 tahun tersebut adalah mengganti lithium dengan sodium sebagai material utama.

Meskipun lithium bukan material langka, sodium menawarkan kemudahan lebih baik karena dapat diekstraksi dari air laut. Karena itu, sejumlah analis memprediksi biaya dari baterai baru yang dikembangkan Goodenough akan lebih murah ketimbang lithium-ion saat ini.

Namun hampir dapat dipastikan butuh waktu lama sebelum baterai ini dapat dikembangkan untuk kebutuhan praktis. Sebagai perbandingan, teknologi lithium-ion baru digunakan secara komersial lebih dari satu dekade setelah Goodenough ikut mengembangkannya.

Bukan tidak mungkin, baterai tersebut bakal menyaingi Power Plant milik Tesla yang notabene menjadi 'baterai' raksasa dengan energi sebanyak 100 megawatt.

Untuk diketahui secara mekanisme, baterai Power Plant akan menjadi pembangkit tenaga listrik yang bisa memberikan daya untuk 8.000 rumah 24 jam non-stop.

Baterai bisa juga menjadi 'generator' dengan memberikan tenaga ke lebih dari 30.000 rumah, dengan syarat dalam kondisi pemadaman listrik selama satu jam.

(Jek/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.