Sukses

Pengapalan Smartphone Huawei Tembus 200 Juta Unit

Huawei berhasil mengapalkan lebih dari 200 juta unit smartphone pada tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta - Huawei berhasil mengapalkan lebih dari 200 juta unit smartphone pada tahun ini.

Pencapaian tersebut terutama didorong oleh kesuksesan sejumlah produknya, seperti P20, Honor 10, dan Mate 20.

Dikutip dari CNET, Rabu (26/12/2018), pengapalan smartphone Huawei terus mengalami pertumbuhan.

Berdasarkan catatan Huawei, pengapalan smartphone perusahaan mengalami pertumbuhan dari 3 juta unit pada 2010.

Pada tahun lalu, perusahaan asal Tiongkok itu berhasil menjual 153 juta unit. Menurut riset Canalys, Huawei berhasil menggeser Apple pada kuartal II 2018, dan menjadi vendor ponsel kedua terbesar di dunia.

"Pada pasar smartphone global, Huawei telah bebas dari yang dianggap sebagai statistik 'lainnya' menjadi pemain tiga besar di dunia," tulis Huawei dalam keterangan resminya.

Di sisi lain, kesuksesan Huawei tidak berjalan tanpa hambatan.

Perusahaan masih menghadapi beberapa tantangan, terutama dari pemerintah Amerika Serikat (AS).

Pada Februari 2018, pemerintah AS menyarankan warganya untuk tidak membeli berbagai produk Huawei karena dikhawatirkan digunakan sebagai alat mata-mata oleh pemerintah Tiongkok.

Sebelumnya, operator AS yakni AT&T membatalkan kesepakatan untuk menjual Huawei Mate 10 Pro. Verizon dilaporkan juga mengikutinya.

Kendati demikian, Huawei masih menjadi vendor populer di Tiongkok dan Eropa. Perusahaan mengklaim, lebih dari 500 juta orang di lebih dari 170 negara menggunakan ponsel Huawei.

Adapun target pengapalan smartphone pada tahun ini sebelumnya ditambah oleh Huawei.

Perusahaan menaikkan prediksi pengapalan dari 180 juta unit pada tahun ini menjadi 200 juta ini. Selain itu, Huawei pun berambisi menjadi vendor ponsel terbesar di dunia pada akhir 2019.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gurita Bisnis Huawei Jadi Ancaman Bagi Amerika Serikat

Huawei sendiri merupakan salah satu perusahaan Tiongkok yang terjebak di dalam perselisihan AS dan Tiongkok.

Sepak terjang perusahaan pun di pasar global tidak bisa berjalan mulus karena adanya "hambatan" untuk berbisnis di AS, termasuk untuk penjualan smartphone dan peralatan infrastruktur telekomunikasi.

Lantas apa itu Huawei dan bagaimana perannya yang dinilai dapat mengancam AS? 

Wall Street Journal (WSJ) pada Jumat (7/12/2018), mempublikasikan video untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Dalam video berdurasi 2 menit 28 detik itu, jurnalis WSJ, Shelby Holliday, menjelaskan secara singkat mengenai hal tersebut. Mengutip data yang disampaikan WSJ, bisnis Huawei kian menggurita, tidak hanya dari sisi peralatan telekomunikasi, tapi juga untuk produk konsumen.

Huawei merupakan perusahaan peralatan telekomunikasi dan produk konsumen multinasional yang berasal dari Tiongkok. Perusahaan tercatat telah mengapalkan 52 juta smartphone pada kuartal lalu, tujuh juta unit lebih banyak daripada Apple.

Dari sisi karyawan, Huawei memiliki lebih banyak daripada Intel. Perusahaan yang bermarkas di Shenzhen, Guangdong, itu memiliki sekira 180 ribu karyawan.

Kemudian, Huawei membukukan pendapatan sebesar US$ 92,5 miliar pada 2017. Jumlahnya dua kali lipat dibandingkan Facebook.

Bisnis peralatan telekomunikasinya pun memberikan porsi besar untuk pendapatannya. Huawei saat ini merupakan perusahaan peralatan telekomunikasi terbesar dengan berbagai macam produk, termasuk swtiches, router, dan peralatan cell tower.

"Perusahaan juga menjual PC dan perangkat wearable seperti smartwatch. Selain itu, Huawei juga merupakan vendor smartphone terbesar kedua setelah Samsung," ungkap Holliday.

3 dari 3 halaman

Kompetisi dan Ancaman Siber

AS menunjukkan antipati terhadap Huawei secara terang-terangan. Selain menghambat penjualan smartphone Huawei di AS, penangkapan putri pendiri yang sekaligus salah satu petinggi perusahaan tersebut, Meng Wanzhou, di Kanada untuk diekstradisi ke AS, kian menunjukkan hal tersebut.

Holliday dalam laporannya menyoroti dua alasan yang menyebabkan hal tersebut, yakni kompetisi dan masalah ancaman keamanan siber.

Dari sisi kompetisi, Holliday secara khusus menyoroti soal pengembangan teknologi 5G. Huawei yang melakukan riset mengenai 5G sejak 2009 dinilai lebih unggul dalam pengembangan teknologi tersebut dibandingkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi AS.

"Teknologi wireless super cepat tersebut akan segera terhubung dengan apa pun. Dan itu bagus untuk Tiongkok, tapi buruk bagi AS," tuturnya.

Pemerintah AS diduga khawatir jika Huawei memenangkan kompetisi pengembangan teknologi 5G, negara tersebut suatu hari terpaksa harus membeli segala kebutuhan dari perusahaan itu. Terlebih lagi, saat ini tidak ada perusahaan besar AS yang tampak unggul di area tersebut.

Kompetitor terbesar Huawei sejauh ini adalah Ericsoon dari Swedia dan Nokia dari Finlandia.

Dari sisi keamanan siber, Negeri Paman Sam melihat Huawei sebagai sebuah ancaman. AS melihat Huawei dapat menjadi jalur bagi Tiongkok untuk memata-matai dan melakukan serangan siber.

"Karena perusahaan yang begitu besar dan teknologinya digunakan di seluruh dunia, AS khawatir Beijing akan memaksa perusahaan melakukan berbagai aktivitas, seperti mengontrol peralatan telekomunikasi dari jarak jauh, bahkan memata-matai AS dan sekutunya," ungkap Holliday.

Terlepas dari berbagai tudingan, Huawei berkali-kali menegaskan bisnisnya bebas dari intevensi pemerintah Tiongkok. Selain itu, perusahaan pun meyakinkan seluruh produknya sangat aman.

(Din/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.