Sukses

Waspada, Hacker Bisa Buka Kunci Layar Android dengan Sistem Sonar

Metode peretasan ini dimanfaatkan dengan menggunakan komponen speaker dan mikrofon di perangkat, sehingga sistem sonar mudah mengambil setiap gerakkan jari yang mengarah layar.

Liputan6.com, Jakarta - Semakin canggih, teknologi justru kian mendorong sejumlah orang untuk melakukan tindakan kejahatan seperti peretasan. Pada kenyataanya, tindakan semacam ini sepatutnya diwaspadai.

Menurut penelitian baru oleh para peneliti Swedia dan Inggris, salah satu metode peretasan baru yang kini marak terjadi adalah cara membuka kunci layar smartphone Android dengan sistem sonar.

Metode peretasan ini dimanfaatkan dengan menggunakan komponen speaker dan mikrofon di perangkat, sehingga sistem sonar mudah mengambil setiap gerakkan jari yang mengarah layar, dan menentukan pola saat membuka kunci smartphone.

Dilansir BGR, Kamis (6/9/2018), modus peretasan diberi nama Sonar Snoop. Ia mengadopsi jenis teknologi sonar yang ada di smartwatch FingerIO.

FingerIO yang dirilis pada Maret 2016 ini mengusung penggunaan sistem sonar dalam mengambil gerakkan tangan serta menterjemahkannya melalui layar.

Kamu sebagai pengguna perangkat Android sebetulnya bisa meminimalisir kemungkinan diretas dengan metode sonar hingga 70 persen.

Ketimbang menggunakan metode pattern (pola) saat membuka layar, kamu justru bisa memakai metode sidik jari karena lebih aman daripada menggunakan pola untuk membukanya.

Selain itu, kamu juga dapat menerapkan password yang kuat. Gunakan kombinasi password yang rumit sehingga gerakan tangan tidak mudah dideteksi.

Dan yang terakhir, apabila ingin menggunakan smartphone Android lama yang tidak memiliki sensor sidik jari, pastikan tidak menginstal aplikasi Android dari sumber yang tak dikenali. Tapi, kamu harus menginstalnya tetap dari Google Play Store.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Waduh, Drone Ternyata Juga Rentan Diserang Hacker

Metode peretasan ternyata juga menyasar perangkat drone. Orang tidak perlu repot-repot menjatuhkan drone secara manual, karena ada saja pihak tak bertanggung jawab bisa melakukan serangan pembajakan secara digital (digital hijacking).

"Tak ada yang namanya keamanan drone. Tidak ada yang bahkan bisa mengerjakan untuk mengamankannya. Hal tersebut memang tidak dipikirkan," ucap Robert Nickel, peneliti firma keamanan mobile Lookout.

Hal ini bisa disikapi secara positif maupun negatif. Negatifnya adalah drone milik seseorang bisa terancam dibajak orang tak bertanggung jawab, sedangkan sisi positifnya adalah dapat menangkal drone yang dikendalikan orang berniat jahat, seperti memakai drone untuk mata-mata.

Pada sekarang ini, semakin banyak banyak perusahaan yang membangun sistem untuk menangkal drone, seperti Selex dan ApolloShield.

"Drone dapat menyebabkan masalah pada tempat-tempat yang diamankan, baik itu diakibatkan tindakan orang tidak bertanggung jawab atau adanya operator jahat," tukas Nimo Shkedy, CEO ApolloShield.

Beberapa kejahatan yang dapat menggunakan drone adalah mengambil foto secara rahasia, penyelundupan barang, sampai menjatuhkan bahan peledak.

3 dari 3 halaman

Hacker Merajalela, AS dan Inggris Peringatkan Serangan Siber Global

Amerika Serikat (AS) dan Inggris memeringatkan potensi serangan siber global yang menargetkan router, pemancar, dan perlengkapan jaringan lainnya. Peringatan ini dikeluarkan demi  membantu target hacker untuk melindungi diri.

"Kami tak punya pandangan secara mendalam terhadap cakupan serangan itu," kata pejabat keamanan siber Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS, Jeanette Manfra.

Kedua negara adidaya ini menyalahkan dukungan pemerintah Rusia kepada hacker yang bekerja untuk agen pemerintah, pebisnis, dan operator infrastruktur penting. 

Peringatan juga diklaim tidak berhubungan dengan dugaan serangan senjata kimia di Suriah.

Diwartakan Gulf News, Kremlin tak merespons tuduhan serangan siber itu. Sementara itu, Moskow membantah tuduhan telah melakukan serangan siber ke AS dan negara lainnya.

Meski begitu, peringatan yang dikeluarkan Senin 16 April 2017 itu tetap menuai kritik. Beberapa pakar keamanan siber swasta mengkritik pemerintah AS yang terkesan lamban merilis informasi.

Seorang pejabat senior AS, yang enggan disebut namanya, mengatakan bahwa serangan siber Rusia dalam beberapa tahun terakhir memiliki keunikan. "Serangan ini lebih sulit dilacak dan dideteksi," kata pejabat itu.

Washington dan Inggris yang menerbitkan peringatan bersama ini juga mengatakan, serangan siber global tersebut telah dilakukan sejak 2015 dan dapat meningkat seiring serangan yang terjadi.

(Vivi Hartini/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.