Sukses

Tak Ingin Kecolongan, Facebook Tangguhkan Aksi Firma Analisis

Menurut Facebook, perusahaan tidak ingin platform-nya dijadikan sarana memata-matai pengguna yang dilakukan pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Belum usai kasus Cambridge Analytica, Facebook kembali menangguhkan kegiatan salah satu firma analisis media sosial bernama Crimson Hexagon. Langkah itu diambil karena ada dugaan pelanggaran kebijakan perusahaan.

Sekadar informasi, Crimson Hexagon merupakan firma analisis yang bertugas memantau media sosial untuk mengetahui sentimen publik terhadap suatu merek. Selain Facebook, firma ini juga memantau Instagram, Tumblr, maupun Twitter.

Dikutip dari The Guardian, Senin (23/7/2018), penangguhan ini dilakukan setelah diketahui sejumlah klien Crimson Hexagon merupakan badan pemerintah.

Wall Street Journal menyebut kontrak kerja sama telah dijalin dengan Pemerintah Amerika Serikat, organisasi nirlaba Rusia yang dekat dengan pemerintah, dan pemerintah Turki. 

"Kami tidak mengizinkan pengembang membuat alat pengintai dari informasi Facebook atau Instagram. Karenanya, kami telah menangguhkan aplikasi ini sambil melakukan penyelidikan," tutur juru bicara Facebook.

Namun setelah dilakukan penyelidikan, Facebook menyebut tidak ada kejanggalan. Crimson Hexagon dipastikan tidak melakukan penyalahgunaan informasi yang diperoleh dari Facebook maupun Instagram.

Facebook sendiri sudah mulai menerapkan aturan larangan memata-matai pengguna sejak Maret 2017. Ketika itu, mereka mengetahui bahwa polisi memanfaatkan perusahaan Geofeedia untuk memonitor pengunjuk rasa.

Dari laporan, organisasi nirlaba menggunakan piranti Crimson Hexagon untuk mengetahui sentimen terhadap Vladimir Putin, Presiden Rusia saat ini. Sementara pemerintah Turki ingin mengetahui pandangan publik terhadap keputusan memblokir Twitter pada 2014. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Lagi, Aplikasi Kuis Facebook Berisiko Bocorkan Data Pengguna

Di sisi lain, Facebook sendiri masih berurusan dengan masalah keamanan data pengguna. Alasannya, bulan lalu seorang peneliti menemukan adanya aplikasi pihak ketiga bernama NameTest yang ditengarai bisa membuat 120 juta data pengguna Facebook terekspos.

Karenanya, agar kasus Cambridge Analytica tidak terulang kembali, Facebook membuat beberapa perubahan terkait privasi data penggunanya.

Salah satunya adalah melakukan proses audit berbagai aplikasi pihak ketiga. Hasilnya, sekitar 200 aplikasi ditangguhkan aksesnya dari Facebook.

Namun, baru-baru ini seorang hacker 'putih' Inti De Ceukelaire menemukan celah keamanan pada aplikasi kuis NameTest.

De Ceukelaire memaparkan, kasus NameTest telah tercatat dalam pelaporan pada program Data Abuse Bounty.

Mengutip laman Gizmodo, De Ceukelaire yang tak pernah memakai kuis tersebut mulai melihat aplikasi ini di Facebook milik sejumlah temannya. Dia pun menjajal kuis lewat aplikasi NameTest.

De Ceukelaire juga mulai mencari tahu bagaimana data pengguna ditangani oleh aplikasi pihak ketiga ini.

Akhirnya, dia menyadari situs web NameTest mengambil informasi pribadinya melalui http://nametests.com/appconfig_user.

Data pribadinya ternyata disimpan dalam file JavaScript yang bisa diminta dengan mudah oleh situs web manapun.

De Ceukelaire memberikan contoh, seorang pengguna Facebook bisa mengunjungi situs porno, dan situs porno itu bisa bertanya ke NameTest apakah pengunjung memiliki profil.

Kemudian, jika ternyata pengunjung punya profil, situs porno yang dimaksud bisa mengunduh sejumlah data tentang pengguna.

3 dari 3 halaman

Siapapun Bisa Akses Data dari NameTest

Parahnya, NameTest juga akan menyediakan token akses yang memungkinkan situs apapun mengakses informasi terkait unggahan, foto, serta daftar teman selama dua bulan terakhir.

Bukan hanya itu, De Ceukelaire dalam blog-nya menuliskan, "javascript bisa membocorkan akun Facebook, nama depan, nama belakang, bahasa yang digunakan, jenis kelamin, tanggal lahir, foto profil, mata uang, perangkat yang digunakan, serta unggahan yang dipos ke Facebook, sampai ke daftar teman."

Kerentanan NameTest mungkin suatu bentuk kesalahan sederhana, tetapi ini jelas menunjukkan minimnya pengawasan Facebook terhadap data pengguna di tangan ribuan aplikasi pihak ketiga.

Terkait pelaporan yang dilakukannya, De Cekelaire mengatakan, delapan hari setelah dilaporkan, Facebook akhirnya merespon. Facebook menyebut akan meneliti NameTest.

Pada 14 Mei 2018, dia mengecek apakah Facebook sudah menghubungi pengembang NameTest.

Delapan hari kemudian, Facebook mengaku butuh waktu tiga hingga enam bulan untuk menginvestigasi masalah ini.

Pada rentang waktu sepanjang itu, tentu NameTests bisa memperbaiki celah keamanan, masalahpun tak akan tuntas.

Benar saja, pada 25 Juni 2018, De Cekelaire mengetahui NameTest telah memperbaiki celah keamanan.

Namun yang digaris bawahi oleh De Cekelaire, Facebook butuh waktu setidaknya sebulan untuk memperbaiki masalah ini. 

Pihak NameTest melalui perusahaan induknya, Social Sweethearts, menyatakan telah melakukan investigasi terkait kebocoran data tersebut.

"Berdasarkan investigasi yang kami lakukan tidak ada bukti bahwa data pribadi pengguna telah bocor ke pihak lain yang tidak berkepentingan. Tidak ada bukti juga bahwa ada penyalahgunaan," demikian pernyataan dari NameTest.

Pihak NameTest juga berkilah, menurut mereka keamanan data pengguna ditangani dengan sangat serius.

(Dam/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.