Sukses

IRFI Sorot Putusan PN Makale Terkait Infrastruktur Telekomunikasi

Keputusan PN Makale menghukum Negara, menurut IRFI, tak sesuai dengan Pasal 33 UUD 45.

Liputan6.com, Jakarta - Infrastruktur Research For Indonesia (IRFI) menyoroti serius Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makale, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Putusan yang menjadi sorotan IRFI terkait tanah yang di atasnya berdiri infrastruktur alat vital milik para tergugat, yakni Negara.

Adapun infrakstruktur tersebut berupa Sentral Telepon yang terintegrasi jaringan kabel fiber optic (FO) Trans Sulawesi, Base Transceiver Station (BTS), dan kantor dinas Pemerintahan Daerah (Pemda) di wilayah Makale.

Menurut Ketua Umum IRFI, Rafli A. Hakim, tanah yang di atasnya terdapat infrastruktur vital negara, seperti sentra telepon yang terintegrasi FO difungsikan untuk kepentingan masyarakat umum.

"Infrastruktur itu juga digunakan untuk keperluan Pemda, TNI, POLRI, dan rakyat sehingga harus dikuasai Negara dan di atas kepentingan golongan, sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 45," tuturnya dalam keterangan resmi yang diterima Jumat, (23/2/2018).

Karena itu, putusan hakim PN Makale yang memutuskan untuk menghukum Negara dianggap telah mencederai rasa keadilan dan masyarakat umum.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Amar Putusan PN Makale

Dalam amar putusannya, Negara diminta untuk membayar kerugian imaterial sebesar Rp 500 miliar dan kerugian material sebesar Rp 150 miliar. Selain itu, Negara juga diminta untuk mengosongkan tanah tersebut.

Rafli memerkirakan, proses tersebut akan memakan waktu setahun. Proses itu juga akan membuat sambungan telepon dan internet akan terputus.

Lebih lanjut, Forum Masyarakat Peduli Telekomunikasi Indonesia (FMPTI) juga meminta rekan-rekan lembaga swadaya masyarakat lain ikut mengawal putusan. Tak hanya itu, harus dilakukan pula upaya hukum banding oleh Negara.

Pengadilan Tinggi Makasar sebagai kawal depan Mahkamah Agung Republik Indonesia juga diminta untuk memeriksa ulang bukti-bukti penggugat. Sebab, ditengarai bukti tersebut hanya berupa fotokopi saja.

Ada pula kejanggalan lain dari proses perolehan tanah oleh penggungat yang terjadi di 1930. Sebab, masih memakai mata uang 'roepiah', bukannya 'rupiah' yang digunakan setelah Indonesia merdeka pada 1945.

"Ini bukan hanya kerugian Negara yang harus membayar Rp 650 miliar, tapi juga kerugian akibat komunikasi yang terputus sehingga menghasilkan kerugian yang tak terhingga," ujar Plt. Ketua FMPTI, Rhama R.V.

(Dam/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.