Sukses

Ups, Pengguna Internet Indonesia Mudah Terhasut Berita Bohong

Merujuk data CIGI IPSOS 2017, Indonesia menduduki peringkat ke-7 dengan pengguna internet yang mudah terhasut berita bohong.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengungkap Indonesia termasuk salah satu negara di mana masyarakatnya paling mudah percaya dengan konten yang tersebar di dunia maya.

Disampaikan Dirjen Aptika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan, hal ini otomatis menjadi tantangan utama bagi Kemkominfo untuk meningkatkan kesadaran pengguna internet akan banyaknya konten yang marak di internet.

"Bayangkan, Indonesia itu jumlah penduduknya 262 juta jiwa, di mana 132 juta adalah pengguna internet. Sebanyak 62 persen pengguna smartphone mengakses media sosial rata-rata 2,35 jam per hari. Bayangkan konten-konten yang diakses, mereka belum bisa pastikan konten yang diserap itu kredibel atau tidak," kata pria yang akrab disapa Semmy ini, Senin (18/12/2017).

Semmy juga merujuk pada data riset Centre for International Governance Innovation (CIGI) IPSOS 2017 yang mengungkap Indonesia menduduki peringkat ke-7 dengan pengguna internet yang paling mudah 'terhasut' dengan berita bohong. Jika dikaji, tingkatnya bisa mencapai 65 persen.

"Jadi informasi yang diakses itu ditelan mentah-mentah (sama pengguna internet Indonesia). Jika dipecah, Indonesia itu 15 persen penggunanya sangat percaya dengan konten yang mereka akses. Sementara, 50 persen percaya yang ada di internet benar. Totalnya 65 persen dikali 132 juta, coba deh hitung sendiri," jelasnya.

Semmy juga membandingkan data tersebut dengan pengguna internet di Amerika Serikat (AS). Yang mengagetkan, ternyata tingkat kepercayaan pengguna internet di Negeri Paman Sam tersebut sama dengan yang ada di Inddonesia.

"Kalau di Amerika Serikat sendiri, pengguna internet 53 persen percaya dengan internet. Nggak jauh dengan Indonesia lah, bedanya cuma 12 persen. Kalau dibanding dengan Jepang dan Perancis, AS sama Indonesia kalah jauh. Di Jepang dan Perancis lebih rendah, cuma 43 persen yang percaya, kalau di Jepang 32 persen percaya," tukasnya.

Artinya, lanjut Semmy, semakin tinggi tingkat literasi digital sebuah negara, semakin besar pula potensi pengguna tidak percaya mentah-mentah dengan konten yang diakses. "Mereka harus memverifikasi sumber informasi siapa yang menyebar dan sumbernya, harus kredibel jangan percaya dimuat di media abal-abal dan jangan sampai ditelan mentah-mentah," tutur Semmy.

"Intinya, setiap orang harus memiliki pemikiran kritis dalam mengakses konten supaya bisa mencari referensi yang benar dan akurat," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Edukasi Literasi Digital

Untuk bisa menjembatani 'celah' tersebut, Kemkominfo pun menggagas program edukasi literasi digital kepada masyarakat agar tidak mudah terhasut dengan konten negatif yang ada di internet, mulai dari hoax, perundungan, radikalisme, pornografi, hingga pelanggaran privasi.

Gerakan Nasional Literasi Digital lewat program Siber Kreasi ini merupakan kerja sama dari beberapa pihak dengan Kemkominfo yang menaruh perhatian pada upaya melawan penyebaran konten negatif di internet. Adapun yang menjadi fokus gerakan ini adalah upaya literasi digital, terutama untuk generasi muda.

Semmy mengungkap, program ini sendiri merupakan salah satu fokus utama Dirjen Aptika dalam beberapa tahun ke depan. Ia menyebut Siber Kreasi akan memakan waktu tiga tahun dan tahap edukasi literasi digital kepada masyarakat diyakini bakal rampung pada 2020.

(Jek/Cas)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.