Sukses

Tarif Interkoneksi Tak Boleh Bebani Pelanggan di Daerah

Akademisi dan praktisi telekomunikasi menilai tarif interkoneksi sudah tidak relevan lagi menjadi beban dari pelanggan.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah akademisi dan praktisi telekomunikasi menilai tarif interkoneksi sudah tidak relevan menjadi beban dari pelanggan. Oleh sebab itu, penurunan tarif interkoneksi menjadi tren yang tak bisa dihindari.

"Dengan beralihnya sistem komunikasi dari switching base ke internet protocol (IP) base, tarif interkoneksi sudah tidak relevan menjadi beban terhadap pelanggan. Penurunan tarif interkoneksi itu sudah sejalan dengan perkembangan telekomunikasi dewasa ini," ujar Ketua Forum Telematika Kawasan Timur Indonesia (KTI) Hidayat Nahwi Rasul dalam keterangannya, Selasa (21/3/2017).

Dengan kondisi demikian, menurutnya, sudah bukan lagi zamannya operator mengandalkan pendapatan pada tarif interkoneksi. Seharusnya pendapatan operator terfokus pada data atau kuota. Ia menekankan, infrastruktur jaringan bandwith, serta kecepatan upload dan download akan menjadi magnet persaingan antar operator seluler di Indonesia.

Perlu disadari, pada 2016 penetrasi pengguna smartphone mencapai 100 juta orang, sehingga pola komunikasi sudah berubah seiring dengan kemajuan teknologi informasi seperti kehadiran aplikasi WhatAapp yang saat ini juga menawarkan video call selain voice call.

"Jangan sampai tarif interkoneksi diterapkan tidak sesuai dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, serta menjadi beban terhadap pengguna," tutur pria yang juga pernah menjabat sebagai wakil Ketua Komisi Pengawas Informasi Daerah (KPID) Sulsel periode 2013-2015 ini.

Selain itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) daerah juga mendesak pemerintah untuk segera mewujudkan rencana penurunan tarif interkoneksi secara signifikan. Penurunan tarif interkoneksi dinilai menjadi kebutuhan konsumen di daerah agar biaya telekomunikasi menjadi lebih terjangkau.

Sekretaris YLKI Sulawesi Selatan Judi Raharjo menilai penurunan tarif interkoneksi sudah menjadi kebutuhan. Hal ini mesti sejalan dengan tarif yang makin terjangkau bagi konsumen. “Harus ada kajian lebih mendalam agar pelaksanaannya menguntungkan konsumen,” papar Judi.

Berbagai laporan terbaru, menurutnya, menggambarkan bahwa penggunaan smartphone di Indonesia saat ini tumbuh pesat. “Karena itu, kebutuhan telekomunikasi menjadi hal mendasar seiring maraknya aplikasi yang dibutuhkan konsumen. Jadi tarif-tarif telekomunikasi harusnya dievaluasi agar makin terjangkau,” kata Judi.

Kebijakan penurunan tarif interkoneksi, selain meringankan beban pelanggan, merupakan salah satu upaya mendukung persaingan sehat di industri telekomunikasi di Indonesia. Maka dari itu, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna mengungkapkan pihaknya berkomitmen mendukung industri telekomunikasi sehat.

"Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat," kata Ketut dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini.

Sementara itu, Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Garuda Sugardo menegaskan penting bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan di industri telekomunikasi yang sesuai perkembangan zaman. "Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (penurunan tarif interkoneksi, red.) menjadi keniscayaan. Ini sikap modern dan prorakyat," kata pria yang yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Telkom tersebut kepada awak media beberapa waktu lalu.

(Why/Isk)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini