Sukses

BPK Waspadai Kerugian Negara dari Penurunan Interkoneksi

Pro dan kontra tentang rencana penurunan biaya interkoneksi 26% untuk 18 skema panggilan telepon tetap dan seluler, mengusik perhatian BPK.

Liputan6.com, Jakarta - Pro dan kontra tentang rencana penurunan biaya interkoneksi 26% untuk 18 skema panggilan telepon tetap dan seluler, mengusik perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya, ada potensi kerugian negara hingga ratusan triliun jika kebijakan ini mulai diberlakukan.

Menurut hasil analisa dan pengamatan dari Achsanul Qosasi, salah satu pimpinan di BPK, kebijakan interkoneksi yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dinilai bisa sangat membahayakan penerimaan negara dari sektor telekomunikasi dalam lima tahun ke depan.

Mulai dari potensi penurunan pendapatan hingga Rp 100 triliun, setoran dividen, dan pajak ke pemerintah berkurang Rp 43 triliun hingga investasi belanja modal di daerah rural berkurang Rp 12 triliun.

Semua itu merupakan potensi kerugian Telkomsel yang dimiliki Telkom Group sebagai BUMN telekomunikasi. Sementara dari catatan yang dimiliki BPK, Telkom Group hingga saat ini masih merupakan BUMN terbesar kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar kepada negara.

Sumbangsih Telkom kepada pendapatan negara, disebut BPK, mencapai Rp 7 triliun setiap bulannya.

"Telkom Group memiliki market capitalization terbesar kedua setelah BRI yang mencapai Rp 4.000 triliun. Karena Telkom merupakan salah satu blue chip yang dimiliki bangsa ini selain Pertamina, BRI, dan PLN. Maka ini sudah menjadi tanggung jawab kami di BPK untuk menjaganya, terutama dari isu-isu negatif yang berpotensi merugikan negara," kata Achsanul melalui keterangan tertulis, Rabu (31/8/2016) di Jakarta.

Jika penurunan biaya interkoneksi ini memberikan manfaat yang baik pada negara, menurut Achsanul, silahkan untuk dijalankan. Namun, jangan sampai turunnya biaya interkoneksi ini justru malah berpotensi menggerus penerimaan negara. Jika itu sampai terjadi, maka bukan masyarakat dan negara yang mendapatkan manfaatnya.

"Jelas ini disampaikan Pak Presiden kepada kami. Kalau ada satu keputusan menteri terkait dengan BUMN atau kementerian lain, harus ditanyakan kepada kementerian lain kalau saya mengeluarkan begini, kira-kira dampaknya apa," ujarnya.

Begitu juga dengan industri, tambah Achsanul, ketika satu menteri melakukan policy, tanyakan dulu ke industri terkait apakah ada yang dirugikan. Kalau manfaatnya lebih banyak dari mudhoratnya, silakan jalankan. Tapi jangan sampai yang diisukan adalah turunnya tarif, sementara penerimaan negara triliunan terabaikan

"Kalau misalnya, kemampuan Telkomsel anak usaha Telkom berkurang, jadinya kan masyarakat juga yang akan dirugikan. Siapa lagi yang akan membangun di daerah pinggiran selain Telkomsel? Sedangkan operator yang lain tidak membangun," imbuhnya.

Menkominfo Rudiantara dalam beberapa kesempatan selalu mengatakan, penurunan biaya intrkoneksi dilakukan agar tarif off-net (lintas operator) bisa mendekati tarif on-net (satu jaringan operator). Harapannya, agar trafik panggilan lintas jaringan bisa tumbuh untuk semua operator.

"Justru dengan adanya penurunan biaya interkoneksi, masyarakat akan semakin banyak untuk melakukan panggilan telepon,” terang Rudiantara di depan anggota Komisi I DPR RI, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), pekan lalu.

Namun, pertumbuhan itu disangsikan bisa terjadi jika penurunan biaya interkoneksi itu tidak berdampak banyak terhadap tarif retail. Karena, komponen biaya interkoneksi itu hanya 15% dari total tarif retail, atau hanya 3,7% dari total komponen tarif seperti dikatakan Menkominfo di Komisi I DPR.
RDP Komisi I DPR RI bersama operator mengenai isu penurunan biaya interkoneksi, Kamis (25/8/2016)
"Saya tidak dapat berandai-andai, tapi saya ingin lihat benar apa tidak penurunan ini arahnya adalah untuk betul-betul membantu rakyat. Tapi, seberapa besar turunnya? Karena bagaimana pun Telkom dan Telkomsel ini milik negara. Mereka membayar PNBP, deviden, bayar pajak,” terang Achsanul.

BPK sendiri, menurut pengakuan Achsanul, selalu memeriksa laporan keuangan Telkomsel dan Telkom Group setiap tahunnya. Jika mereka saat ini bisa menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, itu bukannya tanpa usaha dan pengorbanan besar dalam berinvestasi.

"Telkomsel itu rugi saat membangun infrastruktur. Walaupun hitungannya rugi, tapi ini bicara untuk 5-10 tahun ke depan. Investasi yang dilakukan benar-benar untuk menjalankan kepentingan negara dan rakyat, sesuai Nawa Cita. Buktinya, masyarakat di desa sudah bisa menikmati internet gara-gara Telkomsel," paparnya.

Ia pun mempersilakan kepada operator telekomunikasi lainnya seperti Indosat Ooredoo, XL Axiata, Hutchison 3 Indonesia, dan Smartfren Telecom, untuk ikut membangun di daerah pedesaan dan pinggiran di luar Pulau Jawa, agar seluruh masyarakat bisa ikut terlayani.

"Ini kan masalah supply and demand terhadap services. Kalau punya services terbaik, demand pasti terbanyak. Siapa yang bisa memberikan supply yang terkuat, dialah yang menang. Hukum bisnis seperti itu karena Telkomsel sudah membangun seluruh jaringan duluan, wajar kalau menikmati keuntungan," tambah Achsanul.

Sembari menunggu kebijakan baru interkoneksi ini dilaksanakan, BPK mengaku akan terus mengawasi. Meskipun diakui Achsanul pihaknya tidak akan mengintervensi, namun setiap gerak-gerik pelaksana negara yang mencurigakan--apalagi sampai merugikan penerimaan negara--wajib untuk diberi peringatan dan diluruskan.

(Isk/Cas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.