Sukses

Mengapa Manusia Merasa Kesepian? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Para ilmuwan di Amerika Serikat untuk pertama kalinya telah mengidentifikasi wilayah otak yang menggambarkan perasaan kesepian.

Liputan6.com, Jakarta - Manusia merupakan makhluk sosial. Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana jadinya jika kita hidup tanpa bersosialisasi?

Sehubungan dengan hal ini, para ilmuwan di Amerika Serikat untuk pertama kalinya telah mengidentifikasi wilayah otak yang menggambarkan perasaan kesepian.

Dalam sebuah penelitian terhadap tikus, para ahli saraf, sebagaimana dikutip dari Science Alert, Selasa (16/2/2016), tertuju pada sekelompok sel di bagian belakang otak, di daerah yang disebut dorsal raphe nucleus (DRN).

Menurut para peneliti, sirkuit saraf ini adalah bagian yang memotivasi makhluk sosial untuk menjalin hubungan dengan orang lain setelah periode isolasi (pengucilan, menyendiri).

"Berdasarkan pengetahuan kita, ini adalah pertama kalinya seseorang telah menyingkap secara utuh kondisi kesepian terhadap sebuah substrat seluler," ujar ahli saraf Kay Tye dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).

"Sekarang kami memiliki titik awal untuk benar-benar mulai mempelajarinya," lanjutnya. 

Penelitian yang ini penting karena sementara banyak penelitian telah berusaha mengungkap bagaimana otak mencari dan merespons interaksi sosial, kita menjadi sedikit tahu tentang bagaimana isolasi dan kesepian memotivasi perilaku sosial kita.

"Ada banyak penelitian psikologi manusia yang menggambarkan bagaimana kita memiliki kebutuhan ini untuk hubungan sosial yang sangat kuat pada orang yang merasa kesepian," kata salah satu peneliti, Gillian Matthews.

"Tapi pemahaman kita mengenai mekanisme saraf yang mendasari kondisi tersebut sedikit sekali saat ini," tambahnya.

Para peneliti pertama kali melihat perubahan DRN pada otak tikus dalam percobaan terpisah yang melibatkan pengujian obat, yang diperlukan hewan yang akan diisolasi. Mereka menemukan bahwa setelah periode isolasi, ada penguatan koneksi di DRN tersebut.

Percobaan berikutnya menunjukkan neuron DRN tidak sangat aktif ketika hewan-hewan itu ditempatkan bersama-sama, tetapi aktivitas mereka melonjak setelah mereka berkumpul kembali dengan satu sama lain.

Ketika tim menekan neuron DRN itu menggunakan cahaya, mereka menemukan bahwa hewan yang diisolasi tidak menunjukkan tingkat rebound yang sama dalam hal sosialisasi ketika bertemu kembali dengan rekan-rekan mereka.

"Itu menunjukkan bahwa neuron ini penting untuk rebound isolasi-diinduksi dalam sosialisasi," kata Tye.

Ketika orang terisolasi untuk waktu lama dan kemudian mereka sedang berkumpul kembali dengan orang lain, lanjut Tye, mereka sedang sangat bersemangat, dan terdapat lonjakan interaksi sosial.

Menurutnya, sifat adaptif dan evolusioner ini merupakan apa yang tengah disusun pemodelannya pada tikus, dan neuron tersebut dapat berperan untuk meningkatkan motivasi bersosialisasi.

Menariknya, lebih dominan seekor hewan dalam hal kelompok hierarki sosial, hewan itu tampak lebih responsif terhadap perubahan aktivitas DRN. Dalam kata lain, secara sosial tikus dominan mungkin lebih rentan terhadap kesepian yang berasal dari isolasi.

"Pengalaman sosial setiap binatang tidak sama dalam kelompok. Jika Anda merupakan tikus dominan, mungkin Anda mencintai lingkungan sosial Anda. Dan jika Anda tikus tidak dominan, mungkin itu tidak begitu menyenangkan. Mungkin Anda pernah merasa sosial dikecualikan," tutup Tye.

(Why/Isk)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini