Sukses

Romo Catur Bangun Musala Sebagai Wujud Toleransi Beragama di Banyuwangi

Selama mata memadang, pepohonan yang hijau, tempat yang bersih, serta udara yang segar menghiasi Gria Ekologi Kelir ini.

Liputan6.com, Banyuwangi - Sabtu Pagi 25 Juni 2022, kondisi cuaca di wialayah Banyuwangi, sangat cerah. Matahari bersinar cukup terang menyinari perjalanan saya menuju Gria Ekologi Kelir milik SMA Katolik Hikmah Mandala, yang lokasinya kurang lebih 10 kilometer dari pusat kota Banyuwangi.

Setiba di lokasi yang mempunyai luas 2 hekatare, di Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro itu, saya langsung disambut oleh seorang pastur dari Gereja Maria Ratu Damai, Banyuwangi, yaitu Romo Tribyrtius Catur Wibawa. Di tempat ini saya sempat tertegun beberapa menit, seolah pikiran ini hanyut melihat keindahan tempat tersebut.

Selama mata memadang, pepohonan yang hijau, tempat yang bersih, serta udara yang segar menghiasi Gria Ekologi Kelir ini. Ditambah lagi dengan suguhan bangunan di sekeliling yang semuanya berarsitektur rumah adat Osing, rumah asli Suku Using Banyuwangi.

Setelah mengamati bangunan yang indah itu, akhirnya saya diajak Romo Catur, panggilan akrab Tiburtius Catur Wibawa untuk berkeliling melihat sejumlah bangunan di Gria Ekologi Kelir. Dengan penuh semangat Romo Catur menjelaskan satu persatu fungsi dari tempat dan bangunan yang ada.

Di tengah-tengah perbincangan, saya menghentikan langkah kaki persis di depan bangunan berukuran 3 kail 4 meter persegi yang menyerupai bangunan musala, namun tetap berarsitektur rumah adat Oseng. Dengan spontan saya langsung bertanya dengan Romo Catur apakah bangunan itu musala?

Lalu Romo Catur langsung membenarkan pertanyaan saya itu. Saya sempat berpikir kenapa di tempat ini ada bangunan musala. Karena Gria Ekologi Kelir ini pengelolanya di bawah naungan Yayasan Karamel Keuskupan Malang, yang merupakan yayasan umat Katolik.

Romo Catur menjelaskan alasan dia memutuskan untuk membangunan sebuah musala di tempat. Kata dia, karena banyak orang yang berkunjung ke Gria Ekologi Kelir menanyakan tempat untuk salat.

“Karena melihat hal itu dan kebutuhan untuk salat maka saya punya ide untuk menyediakan tempat bagi mereka yang ingin salat supaya salat lebih nyaman dan tenang. Kemudian untuk di situ juga tersedia Gria Maria. Karena tamu yang datang di tempat ini selain orang katolik banyak juga orang muslim,” ujur Romo Catur.

Bangunan musala itu juga sebagai wujud rasa toleransi beragama yang harus diciptakan di manapun berada. Karena meski Gria Ekologi Kelir dibangun untuk kegiatan umat Katolik di Banyuwangi. Akan tetapi banyak juga masyarat yang beragama Islam menggunakan tempat itu untuk berbagai kegiatan.

“Tempat ini memang kita bangun untuk bertolenasi antar umat beragama. Karena toleransi itu sangat indah. Sehingga wujud toleransi di tempat ini salah satunya membangun musalah ini,” kata Romo Catur.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Konsep Rumah Ramah Lingkungan

Selain membangun musala, pihaknya juka akan membangun tempat ibadah untuk agama lainya. Seperti Pura tempat ibadah untuk agama Hindu, Wihara untuk agama Budha, dan tempat ibadah agama lainya yang ada di Indonesia.

“Dari kami sendiri misalkan ada orang Hindu yang membangun pura kami silahkan pura kecil. Tempat kami siapkan biarlah mereka yang membangun. Kemudian  tetap dalam konsep rumah budaya rumah Oseng. Karena kami juga menginkan di sini sebagai tempat rumah edukasi tapi juga edukasi kita bertoleransi,” tambah Romo Catur.

Setelah menjelaskan keberadaan musala itu, Romo Catur juga menunjukan sejumlah tempat lainya di Gria Ekologi Kelir. Diantaranya deretan rumah yang bernuansa rumah adat using. Rumah tersebut difungsikan untuk tempat bermalam bagi masyarakat yang mengadakan kegiatan di Gria Ekologi Kelir.

Di tempat ini pihak pengelola, menerapkan konsep ramah lingkungan. Sehingga setiap masyarakat yang mengadakan kegiatan, tidak boleh menggunakan tempat makanan dan minuman dari plastik yang sekali pakai. Hal ini untuk mengurangi sampah palstik di Banyuwangi.

“Kalau berakitan dengan ekologi kami minimalkan menggunakan sampah palstik, menggunkan palstik sekali pakai untuk mengurangi sampah plastik, sehingga tidak ada botol atau gelas plastik yang kami sediakan. Kadang-kadang tamu mereka dari luar membawa silahkan, tapi kami tidak menyediakan gelas plastik, atau botol plastik tapi kami sediakan  gelas yang bisa dicuci kembali,” tambah Romo Catur.

Menurut Romo Catur, beribadah untuk mencari pahala dari Tuhan, tidak hanya di dalam gereja atau salat di dalam musala saja. Akan tetapi ikut menjaga dan melestarikan lingkungan dengan cara mengurangi pemakaian bahan sekali pakai yang terbuat dari plastik juga bagian dari ibadah. Sehingga lingkungan bisa menjadi lebih sehat.

“Berbiadah itu tidah harus kita datang ke greja atau datang ke masjid bagi umat muslim. Tapi dengan cara lain juga bisa. Salah satunya melestarikan lingkungan seperti ini,” cetus Romo Catur.

Romo Catur menekankan siapa saja bisa menggunakan Gria Ekologi Kelir untuk kegiatan yang positif. Baik dari umat Islam, Hindu, Budha, Kristen , Konghucu, dan Katolik karena pihaknya ingin terus menjaga toleransi  beragama yang telah tercipta.

“Gria Ekologi Kelir ini bebas digunakan untuk siapa saja asalkan itu kegaiatan yang positif. entah itu dari saudara kita yang muslim, kristen, hindu maupun budha silahkan. Tapi tetap menjaga kebersihan lingkungan,” pungkas Romo Catur.

Langkah Romo Catur membangun musala itu disambut baik dan diapresiasi dari berbagai kalangan. Baik dari kalangan masyarakat umum, organisasi keagamaan, maupun dari forum kerukunan umat beragama (FKUB) Banyuwangi

3 dari 4 halaman

Masyarakat Banyuwangi Kagum Musala Dibangun Seorang Romo

Salah seorang masyarakat Kelurahan Mojopangung Banyuwangi, Faros Alfarizi mengaku takjub dengan  adanya musala di Gria Ekologi Kelir itu. Sebab  sepengetahuan dia tempat itu milik umat Katolik.

“Saya kagum sekali karena ternyata ditempat ini  sudah berdiri sebuah musala. Dan ternyata musala itu yang membangun seorang pastur,” kata Fariz panggilan akrabnya.

Hal yang sama juga diutarakan oleh warga Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Nurdiyana. kata dia , musalah  yang berada di Gria Ekologi Kelir tersebut sebagai wujd toleransi beragama di Banyuwangi.

“Ini salah satu wujud dari rasa toleransi beragama yang harus dipertahankan di Kabupaten Banyuwangi. Dengan toleransi daerah saya akan lebih aman,” cetus Nina.

Kata Nina, toleransi beragama di Gria Ekologi Kelir ini, bisa terus dipertahankan. Sehingga menjadi contoh kerukunan umat beragama di tengah banyaknya perlakukan intoleran yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

4 dari 4 halaman

Pandangan NU Banyuwangi

Sementara itu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Kabupaten Banyuwangi, memandang keberadaaan musala yang dibangun oleh seseoarang pastur ini menunjukkan Banyuwangi sangat toleran antarumat beragama.

Ketua Tanfizia PC NU Banyuwangi KH Ali Makki Zaini mengatakan, siappun  yang membangun musala atau masjid asal memenuhi persyaratan yang ditentukan tidak ada permasalahan. Karena dalam rukun syarat membangun musala tidak pernah disebutkan yang membangun harus orang muslim.

“Kalau dibangun dengan transaksi yang halal itu tidak ada masalah. Bukan berarti itu dibangun oleh non muslim dibongkar dulu lalu dibangun lagi tidak karena memang yang dihitung itu transaksinya. Kalau misalnya ada orang non muslim bangun musala, membangun tempat ibadah untuk kita. Sama saja dengan non muslim yang rata- rata masjid menerima sumbangan seperti itu, saya rasa tidak ada persoalan,” kata KH Ali Maki Zaini.

Kata Gus Maki, panggilan akrab KH Ali Maki Zaini, dari ilmu fiqih tidak ada permasalahan jika pembangunan musala dan masjid dilakukan oleh orang non muslim. Sebab di daerah lain banyak contohnya masjid dibangun oleh orang non muslim.

“Seperti di Negara Palestina hampir seluruh masjid yang ada di negara tersebut awalnya dibanguna oleh orang Yahudi,” tambah KH Ali Maki Zaini.

Sementara itu Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banyuwangi, KH Muhammad Yamin memandang pembangunan musala di Gria Ekologi Kelir itu hanya sebatas fasilitas tempat usaha. Karena ditempat itu tidak hanya umat Katolik saja yang mengunakan tapi  agama lain juga bisa mengunakanya.

“Salat dimana saja bisa asalkan suci, jika di tempat itu ada musala wajar karena itu bagian dari fasilitas usaha. Di hotel dan restoran juga ada musala,” kata Muhammad Yamin.

KH Muhammad Yamin, tidak  mempermasalahkan jika nantinya musala yang ada di Gria Ekologi kelir tersebut juga berdampingan dengan  tempat ibadah pemeluk agama lainya.

“Tdak masala musala berdampingan dengan tempat ibadah lainya. Ditempat lain juga banyak masjid yang berdampingan dengan greja dan tempat ibadah lainya,” ujur Muhammad Yamin.

FKUB berharap wujud toleransi beragama yang ada di Banyuwangi ini tetap terjaga. Sehingga kerukunan beragama tetap ada. Dan diharapkan  hal itu akan selalu terjaga untuk selamanya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.