Sukses

Wayang Potehi, Akulturasi Budaya di Indonesia

Dosen Arsitektur dan Interior Fakultas Industri Kreatif, Universitas Ciputra Surabaya, Freddy Istanto menuturkan, pertunjukan wayang potehi di Surabaya, Jawa Timur, dimainkan oleh masyarakat Jawa mulai dari dalang hingga pemain musiknya.

Liputan6.com, Jakarta - Perayaan capgomeh dirayakan pada 8 Februari 2020, tepatnya pada hari ke-15 setelah Imlek. Saat perayaan capgomeh ini juga menampilkan sejumlah kesenian, termasuk salah satunya wayang potehi.

Wayang potehi ini juga ditampilkan di kelenteng. Wayang potehi termasuk salah satu kesenian berasal dari Tionghoa. Meski berasal dari Tionghoa, wayang potehi juga alami akulturasi budaya di Indonesia. Dosen Arsitektur dan Interior Fakultas Industri Kreatif, Universitas Ciputra Surabaya, Freddy Istanto menuturkan, pertunjukan wayang potehi di Surabaya, Jawa Timur, dimainkan oleh masyarakat Jawa mulai dari dalang hingga pemain musiknya.

“Salah satu acara di Kelenteng Dukuh, wayang potehi dimainkan oleh orang-orang Jawa. Mulai dalangnya hingga pemain musiknya orang Jawa,” kata Freddy saat dihubungi Liputan6.com, Senin, 10 Februari 2020.

Freddy menuturkan, cerita yang disajikan dalam wayang potehi biasanya menceritakan kerajaan-kerajaan di China dengan pesan-pesan kebajikan. Biasanya pertunjukan wayang potehi ini juga ditemui empat hingga lima pemain musik. Alat musik yang dimainkan pada pertunjukan wayang potehi ini ada suling china, alat musik pukul seperti drum, gembreng dan lempengan besi yang biasanya juga dipakai saat pertunjukan barongsai. Wayang potehi ini pun dimainkan sekitar 30 menit.

”Sekitar tahun 60-an, wayang potehi ini hiburan pada saat imlek dan capgomeh. Panggung boneka dibuat, dan pertunjukan dibuat seperti berperang ada memakai tombang, ada musiknya jadi dibuat seperti suasana tempo dulu,” ujar Freddy.

Freddy mengatakan, wayang potehi ini berasal dari kesenian Tionghoa yang bermula dari cerita tahanan di China masuk penjara. Kemudian karena tidak ada aktivitas dan menghitung waktu dibuat kain perca menjadi sebuah boneka dan dimainkan sebagai wayang. Freddy mengatakan, generasi muda Tionghoa jarang mau mewarisi budaya ini. Hal itu akibat situasi politik yang terjadi sekitar 1965-1966-an sehingga menghentikan pengembangan budaya Tionghoa di Indonesia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pesan Harmonisasi dalam Lontong Capgomeh

Sebelumnya, perayaan Capgomeh kini dirayakan meriah. Perayaan dilakukan setelah Imlek, atau tepatnya pada hari ke-15 atau hari terakhir bulan pertama menurut kalender China.

Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa Jawa Timur, Gatot S.Santoso menuturkan, perayaan capgomeh kini dirayakan komunitas-komunitas tidak hanya oleh masyarakat Tionghoa saja.   Perayaan capgomeh juga meriah, seperti halnya dengan Imlek. Adapun perayaan capgomeh ini menutup serangkaian acara Imlek. 

"Di Tionghoa, jadi petani kembali kerja di sawah karena musim semi cocok untuk kerja. Capgomeh ini sebagai penutup rangkaian acara Imlek. Perayaan Imlek sendiri dimulai seminggu sebelum Imlek,” ujar Gatot saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu, 8 Februari 2020.

Nah, perayaan capgomeh ini juga tak lengkap dengan lontong capgomeh. Lontong capgomeh termasuk salah satu akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia. Gatot mengatakan, lontong capgomeh merupakan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Lontong capgomeh terdiri dari menu lontong, ayam, rebung, bumbu kare, dan lainnya. Hal ini menujukkan pesan mengenai keragaman membuat harmonisasi dalam kehidupan.

"Banyak ragam bumbu menunjukkan berbeda-beda tetapi bisa jadi satu dalam kuliner. (Perbedaan-red) malah memperat dan harmonisasi dalam kultur. Demikian kehidupan memang seperti itu. Meski berbagai aliran, golongan, bisa harmonis. Itu paling indah dan enak rasanya,” ujar Gatot.

Dosen Arsitektur dan Interior Fakultas Industri Kreatif, Universitas Ciputra Surabaya, Freddy Istanto mengatakan, lontong capgomeh mengekspresikan kekayaan budaya peranakan di Indonesia. Perpaduan dua budaya Tionghoa dan Jawa melahirkan budaya peranakan. "Di China tidak ada kuliner lontong, di Indonesia tidak ada capgomeh. Perpaduan dua budaya China dan Jawa/lokal melahirkan budaya yang anggun dan keren," ujar dia.

Selain lontong capgomeh, ada juga makanan yang identik dengan perayaan capgomeh yaitu ronde. Gatot mengatakan, ronde ini juga disajikan untuk persembahan sembahyang. Ronde menunjukkan kehidupan yang manis. “Orang Tionghoa ingin hidup yang manis, banyak rezeki, dan kesehatan,” kata Gatot.

Saat perayaan capgomeh ini, Gatot pun mengharapkan akulturasi kebudayaan yang terjadi terus mempererat persaudaraan Bangsa Indonesia.

 

3 dari 3 halaman

Perayaan Capgomeh Simbol Kekayaan Budaya Peranakan

Sementara itu,  Freddy menuturkan, perayaan Capgomeh sebagai simbol kekayaan budaya peranakan. Budaya peranakan lebih ke arah budaya ketimbang genetik.

Lintas budaya ini melahirkan sub-kultur budaya baru yang melahirkan kekayaan dan keragaman dalam budaya nusantara. Ini terlihat dari arsitektur, perabotan, keramik, batik, busana, musik, film, sastra, lukisan, kuliner, sistem ekonomi dan lainnya.

"Kecap manis itu tidak ada di China, aslinya mereka membawa kecap asin. Mereka membawa jaoto, lalu jadi soto. Bakmi, bakwan, lumpia, siomay, bakpia, bakwan, lumpia, siomay, bektim, kacang kua, roden, sup merah, bloeder ketika ketemu Belanda. Kalau mau disebut satu-satu banyak ragamnya. Termasuk motif batik yang banyak diwarnai pengaruh China," ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.