Sukses

ITS Ajak Masyarakat Genjot Kualitas Manusia di Era IoT

Konferensi Big Data Indonesia (KBI) 2019 juga menekankan pentingnya pengembangan big data untuk kehidupan sehari-hari.

Liputan6.com, Surabaya - Melalui konferensi internasional Computer Engineering, Network, and Intelligent Multimedia (CENIM) 2019, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ajak masyarakat meningkatkan kualitas manusia di era Internet of Things (IoT).

Dengan merangkul komunitas Big Data Indonesia (idbigdata), CENIM 2019 yang digelar Selasa (19/11/2019), bersama Konferensi Big Data Indonesia (KBI) 2019 juga menekankan pentingnya pengembangan big data untuk kehidupan sehari-hari.

Ketua CENIM 2019 Prof Yoyon Kusnendar Suprapto menyatakan, CENIM bersama KBI hendak menggagas tren teknologi masa depan dalam era IoT pada 2019.

Dalam hal ini, menurut Yoyon, pada penerapannya juga melibatkan big data (data tentang banyak hal yang terkumpul dalam volume besar dan kecepatan yang cepat).

"Nantinya dari kedua hal tersebut kami harapkan mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia,” terang dosen Departemen Teknik Elektro ITS ini. 

Sementara itu, Head of Committee idbigdata Sigit Prasetyo mengapresiasi, sebab hingga saat ini idbigdata telah berbagi ilmu mengenai big data di lebih dari 24 pertemuan dalam 15 kota dan 22 universitas.

Melalui konferensi ini, idbigdata berharap mampu membuktikan Indonesia juga memiliki ahli mumpuni dalam bidang big data. “Sehingga Indonesia akan semakin dekat menjadi negara yang menerapkan Revolusi Industri 4.0,” ujar Sigit. 

Sementara itu, Dekan Fakultas Teknologi Elektro ITS Dr Tri Arief Sardjono menceritakan keresahannya, Indonesia sebenarnya telah memiliki big data. Namun kenyataannya, dosen yang kerap disapa Arief ini berpendapat, big data ini belum digunakan dengan maksimal, sehingga yang ada akan menjadi tidak berguna. “Lantaran big data ini tidak dianalisa dalam sistem yang terintegrasi," ungkap dosen Departemen Teknik Biomedik ini prihatin.

Arief mencontohkan penerapan big data dan IoT di Indonesia dalam bidang kesehatan yang masih belum berjalan. Di Indonesia, seseorang yang sakit dan telah diperiksa di puskesmas masih akan periksa ulang di rumah sakit rujukannya. Sehingga menurut dia, pemanfaatan big data di Indonesia masih jauh dari kata berhasil.

Padahal, menurut Arief lagi, ketika ia tinggal di Belanda, dirinya tidak perlu risau jika menderita sakit. Ia hanya perlu pergi ke sejenis puskesmas untuk diperiksa dan jika perlu penanganan lebih lanjut, ia dapat langsung pergi ke rumah sakit tanpa perlu membawa dokumen hasil pemeriksaan kesehatannya.

"Jadi di rumah sakit tinggal menyebutkan nama (saya), lalu hasil analisa kesehatan dapat diakses oleh dokter dengan mudah,” ungkapnya antusias.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Di sisi lain, pembicara utama dalam konferensi ini, Prof Dr Vanessa Evers, menegaskan manusia sejatinya perlu meningkatkan kualitasnya agar mampu beradaptasi di era teknologi ini. Namun, Vanessa menekankan, manusia sebenarnya dapat beradaptasi agar tidak kaget ketika hidup berdampingan dengan robot.

Saat ini, peneliti University of Twente, Belanda tersebut sedang meneliti dan mengembangkan beberapa inovasi yang mampu merintis kehidupan robot dan manusia yang hidup berdampingan.

Tidak hanya hidup berdampingan, menurut perempuan berdarah campuran Indonesia - Belanda ini, seharusnya sebuah robot harus sanggup menyesuaikan terhadap respon interaksi dengan manusia. Lantaran, dalam penelitiannya, manusia memiliki batasan tertentu dalam berinteraksi. Yang mana apabila batasan tersebut dilewati, maka akan mengakibatkan interaksi menjadi tidak nyaman. 

Oleh karena itu, penelitian Vanessa berputar pada robot interaktif juga adaptif. Di antaranya ialah FROG (robot sosial yang mampu memahami emosi manusia), SPENCER (robot pembantu navigasi sosial), SQUIRREL (robot bermain sebagai teman merapikan mainan anak), TERESA (robot asisten lansia untuk sosialisasi), dan DE-ENIGMA (Robot pendamping belajar anak pengidap autisme). 

Kehadiran robot semacam ini, diyakini Vanessa dan tim, mampu memudahkan berkembangnya kehidupan manusia. "Sebab seiring berkembangnya zaman, manusia akan butuh peran robot untuk pengembangan kualitas hidup mereka," pungkasnya optimistis.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.