Sukses

Menelusuri Perjalanan Pendidikan Bung Tomo, Pernah Kuliah di FE UI

Bung Tomo, salah satu pahlawan nasional yang dikenal dengan semangat dan mampu menggalang rakyat dengan orasinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Bung Tomo, salah satu pahlawan nasional yang dikenal dengan semangat dan mampu menggalang rakyat dengan orasinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pria kelahiran 3 Oktober 1920 ini menunjukkan bakat sebagai orator andal sejak aktif di berbagai kegiatan perjuangan melawan penjajah dan berorganisasi.

Selain itu, Bung Tomo bernama asli Sutomo ini dikenal mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk berjuang mengusir penjajah. Hal itu juga membuat dirinya nyaris lupa untuk agenda dan kepentingan pribadinya termasuk pendidikan.

Bung Tomo meski tercatat sebagai seorang sarjana tetapi ia juga mencurahkan waktunya yang banyak untuk memikirkan perjuangan kemerdekaan. Meski Bung Tomo berhasil merasakan pendidikan tinggi, tetapi, karismanya tidak dikenal dari karier pendidikannya. Akan tetapi, suami dari Sulistina ini dikenal dengan kegigihan mengusir penjajah.

Berikut ulasan pendidikan Bung Tomo terbengkalai seperti dikutip dari buku Bung Tomo, Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November karya Abdul Waid:

1.Masuk Sekolah Rakyat

Bung Tomo pertama kali mengeyam pendidikan di bangku sekolah rakyat (SR) di Surabaya, Jawa Timur. Sekolah ini juga dikenal dengan istilah Hollandsch Inlandsche School (HIS). Sekolah ini berbahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.

Sekolah ini untuk golongan penduduk keturunan Indonesia asli sehingga disebut juga dengan Sekolah Bumiputera Belanda. Namun, pada umumnya, sekolah ini dibangun untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan pegawai negeri.

Akan tetapi, akibat perkembangan politik dan gejolak sosial yang terjadi pada masa-masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, sekolah ini akhirnya dapat dirasakan oleh semua golongan.

Sekolah Rakyat yang ditempati Bung Tomo adalah lembaga pendidikan dasar pada zaman penjajahan Belanda yang pertama kali didirikan di Indonesia pada 1914.

Setiap hari, Bung Tomo berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Ia bergaul dengan semua anak di sekolahnya. Beberapa anak-anak keturunan bangsawan dan pegawai negeri di Surabaya. Selain itu, Bung Tomo juga banyak mengakrabkan diri dengan anak-anak keturunan orang-orang miskin.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

2. Masuk Sekolah Mulo

2.Masuk Sekolah Mulo (Setingkat SLTP)

Bung Tomo pun melanjutkan pendidikan ke sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) usai lulus dari Sekolah Rakyat. Sekolah Mulo merupakan sekolah yang didirikan pada masa kolonialisme Belanda.

Lembaga pendidikan formal ini adalah sekolah lanjutan tingkat pertama yang setingkat SMP. Sekolah ini didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1914 yang tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia golongan atas, tetapi juga orang China di Indonesia dan orang-orang Eropa yang telah selesaikan sekolah dasarnya masing-masing.

Di sekolah Mulo, Bung Tomo belajar berbagai macam mata pelajaran dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Bung Tomo belajar matematika, ilmu sosial, sejarah, Bahasa Jerman, Prancis, Inggris dan beberapa pelajaran lainnya.

Di Sekolah Mulo, kedewasaan dan keberanian Bung Tomo semakin bertambah. Nalar kritisnya juga mulai meningkat seiring pertambahan usia dan interaksi dengan lingkungan sekitar.

Bung Tomo pun lebih menyukai pelajaran ilmu sosial dan sejarah. Ini karena berkaitan dengan perjuangan dan keberadaan masyarakat orang-orang pribumi. Ia kurang begitu suka dengan pelajaran matematika, Bahasa Jerman, Prancis, Inggris meski ia tercatat sebagai tokoh yang juga mampu berkomunikasi dengan Bahasa Inggris.

Adapun Bung Tomo bisa sekolah di Mulo karena status ayahnya cukup terpandang. Pada masa Belanda, jabatan ayahnya cukup tinggi yaitu seorang polisi kotapraja dan anggota Sarekat Islam. Oleh karena itu, ia dapat sekolah di Mulo. Akan tetapi, Bung Tomo tetap tidak setuju kebijakan kolonial Belanda.

Bung Tomo di usianya yang masih muda juga gelisah dan sering memikirkan nasib bangsanya meski belum ada tindakan nyata dari Bung Tomo untuk bangsanya.

Pendidikannya di sekolah Mulo menjadi terbengkalai. Ia tidak terlalu banyak mencurahkan waktu untuk belajar matematika, Bahasa Jerman, Prancis, Inggris dan lainnya. Terbengkalainya pendidikan Bung Tomo di sekolah Mulo tampak jelas ketika menginjak usia 12 tahun. Di usia itu, ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di Mulo. Padahal, ia sudah menjalaninya dalam waktu cukup lama.

Keluarnya Bung Tomo dari Sekolah Mulo karena sejumlah faktor. Pertama, ia merasa jenuh dengan sistem pendidikan di Mulo. Kedua, faktor krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu juga turut mempengaruhi.

Ketika itu, dunia dihantam krisis ekonomi cukup besar. Krisis ekonomi yang terjadi menghambat aspek pembangunan termasuk pendidikan. Bung Tomo pun sibuk bekerja mencari uang setelah berhenti dari Sekolah Mulo untuk membantu orangtuanya.

3 dari 4 halaman

3. Masuk Sekolah HBS

3.Masuk Sekolah HBS (Hogere Burger School)

Bung Tomo lahir dari keluarga yang sangat peduli pendidikan. Pendidikan dianggap unsur sangat penting dalam proses kehidupan anak-anaknya. Bagi keluarganya, Bung Tomo harus tetap sekolah dan melanjutkan pendidikan hingga tingkat tinggi bagaimana pun keadaannya.

Bung Tomo pun dimasukkan ke HBS. Sekolah ini lanjutan tingkat menengah pada zaman kolonial Belanda untuk Orang Belanda, Eropa dan elite pribumi. Sekolah ini juga menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pelajarannya.

Sekolah ini setingkat dengan sekolah Mulo ditambah AMS (Algemeen Metddelbare School). Namun, jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan sekarang, HBS setara dengan SMP dan SMA. Waktu pendidikan di HBS selama lima tahun.

Hanya sedikit sekali dari orang-orang pribumi yang bisa bersekolah di HBS. Salah satunya Bung Tomo. Hal ini disebabkan pengaruh ayah Bung Tomo yang memegang jabatan cukup berpengaruh sehingga keluarganya juga dipandang sebagai golongan elite.

Ketika bersekolah di HBS, kesadaran Bung Tomo mengenai sistem pendidikan kolonial Belanda yang sangat diskriminatif semakin meningkat. Seiring pertambahan usia, ia semakin menyadari kalau penjajahan Belanda bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga sistem pendidikan yang beda-bedakan kelas.

Meski Sekolah HBS dipandang sebagai sekolah bergensi pada saat itu, tetapi hati Bung Tomo sebenarnya tidak merasa demikian. Di sekolah tersebut, Bung Tomo belajar dengan dasar kurikulum yang sama sekali tidak berbeda dengan kurikulum HBS yang ada di negeri Belanda.

Dari sisi tenaga pengajar, Bung Tomo diajar dan dibimbing oleh para guru profesional. Tidak sedikit guru yang mengajar di HBS telah bergelar doktor. Di sekolah ini, ia belajar dari 19 mata pelajaran yang diberikan selama lima tahun yaitu dari kelas satu sampai kelas lima.

Meski hanya 19 mata pelajaran yang diberikan selama bersekolah di HBS, tetapi Bung Tomo dan teman-temannya masih merasa sangat berat untuk menyelesaikan semua pelajaran itu. Apalagi 19 mata pelajaran itu disajikan sangat serius dengan target dan penekanan sangat ketat.

Beban pelajaran yang banyak dan dianggap berat oleh Bung Tomo dan hampir semua murid HBS, menyebabkan mereka sulit menyelesaikan studinya dengan tepat waktu sesuai dengan ketentuan berlaku, yaitu selama lima tahun.

Selain faktor pelajaran berat, biaya sekolah cukup mahal juga membuat orang pribumi tidak kuat membayar uang sekolah terpaksa harus berhenti di tengah jalan.

Hal ini juga dirasakan oleh Bung Tomo. Faktor-faktor tersebut membuat kegiatan belajar di HBS menjadi terbengkalai. Bahkan ia juga tercatat sebagai murid HBS yang tidak lulus secara resmi.  Akan tetapi, kedua orangtua Bung Tomo beserta seluruh anggota keluarganya tetap ingin Bung Tomo lulus dari HBS, bagaimana pun caranya.

Mengetahui kedua orangtuanya mendesak agar menyelesaikan pendidikan di HBS, Bung Tomo pun akhirnya berusaha. Setelah berunding cukup lama antara Bung Tomo, keluarga dan pihak sekolah, keputusan yang muncul adalah Bung Tomo harus menyelesaikan pendidikan di HBS dengan cara korespondensi.

Dengan cara ini, ia bisa dianggap lulus dari HBS. Meski cara itu dianggap tidak resmi di HBS, karena tidak ada ketentuan secara resmi sehingga Bung Tomo sebenarnya dipandang lulus dari HBS secara tidak resmi, tetapi masih bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

4 dari 4 halaman

4. Masuk Perguruan Tinggi

4. Masuk Perguruan Tinggi

Usai menamatkan pendidikan di HBS, Bung Tomo sebenarnya ingin berkonsentrasi dalam gerakan sosial kemasyarakatan, kepemudaan, dan perjuangan membela bangsa dan negara.

Akan tetapi, sang ayah justru memaksanya masuk perguruan tinggi. Menurut ayahnya, masuk ke perguruan tinggi tidak akan hambat cita-citanya sebagai aktivis kepemudaan, pejuang pembela bangsa, dan tidak akan hambat nalar kritisnya terhadap kebijakan pemerintahan Belanda.

Ayahnya pun memberi contoh sosok pejuang yang berpengaruh pada saat itu, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta yang tidak perlu diragunkan semangat juang tetapi masih tetap menempuh studi di perguruan tinggi.

Ketika sudah capai kata sepakat Bung Tomo harus masuk perguruan tinggi, perdebatan masih kembali terjadi. Di perguruan tinggi mana ia akan menempuh studinya. Awalnya, ia akan memilih studi di Surabaya saja atau di Malang dengan alasan biar lebih dekat dengan keluarga, kampung halaman dan komunitas pergerakan sosial yang telah digeluti selama ini.

Akan tetapi, diputuskan untuk kuliah di Jakarta. Bung Tomo memilih kuliah di Universitas Indonesia (UI). Fakultas yang dipilih yaitu Fakultas Ekonomi. Namun, fakultas ini bukan karena keinginan pribadi Bung Tomo. Ia kurang senang dengan studi ekonomi. Ia lebih menyukai studi berkaitan dengan sosial kemasyarakatan.

Fakultas ekonomi dipilih lantaran usulan keluarga. Harapan keluarganya, Bung Tomo kelak menjadi ahli ekonomi. Akhirnya, ia ikut saran keluarganya, dan tercatat sebagai mahasiswa fakultas ekonomi sejak 1959.

Sejak saat itu, ia dituntut bergelut dengan pemikiran ekonomi serta dituntut membaca berbagai macam literatur tentang ekonomi.

Bung Tomo masuk ke perguruan tinggi bukan untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi didesak keluarga dan semata-mata membangun bangsa dari berbagai keterpurukan. Ia memberi contoh kepada teman-teman di kampus dengan berbagai aktivitas perjuangan kebangsaan.

Ia nyaris tidak pernah masuk kuliah, jarang bertemu dosen. Bahkan dalam satu bulan, ia sama sekali tidak pernah masuk kuliah. Kampus hanya tempat persinggahan.

Karena pada saat kuliah Bung Tomo sempat berhenti beberapa kali akibat intensitas dan keterlibatannya dalam gerakan perjuangan kemerdekaan sehingga membuat kuliahnya terlambat.

Bung Tomo baru menyelesaikan kuliah pada 1968. Pada 1968, ia menempuh prayudisium, yaitu menyusun skripsi. Ia menyusun skripsi cukup lama karena kesulitan bahan dan data, sehingga baru bisa menyelesaikan kuliahnya dan dinyatakan lulus pada 1969.

Skripsi yang disusun Bung Tomo berjudul Pengaruh Agama pada Pembangunan Ekonomi di Daerah Pedesaan Indonesia. Dosen pembimbing Bung Tomo yaitu Prof Dr Selo Sumardjan.

 

Bersambung

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.