Sukses

Webinar Festival Film Wartawan Indonesia XII Bahas Tema Nasionalisme dan Film

Dahulu, nasionalisme dianggap berat dan sulit diterjemahkan dalam cerita dan gambar.

Liputan6.com, Jakarta - Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) ke XII menggelar webinar bertajuk Nasionalisme dan Film pada 16 September 2022. 

Dalam acara itu, FFWI membahas keberhasilan film Sayap Sayap Patah dalam meraih dua juta penonton. Film Sayap Sayap Patah mengangkat kisah drama fiksi, berdasarkan peristiwa kerusuhan di Mako Brimob pada 2018, dan menewaskan 5 anggota Densus 88.

Denny Siregar yang duduk sebagai eksekutif produser film yang dibintangi Nicholas Saputra dan Ariel Tatum sama sekali tak menyangka film bertema nasionalisme garapannya bisa mendulang banyak penonton.

"Orang berpikir film ini akan flop di awal," kata Denny Siregar saat membahas film garapannya di webinar FFWI XII. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kasus Ferdy Sambo

Denny Siregar juga menghadapi jadwal tayang film garapannya di tengah heboh kasus Ferdy Sambo. "Mendadak kasus itu (Ferdy Sambo) meledak," dia menambahkan.

Perkiraan banyak orang, kata Denny Siregar, terkait jumlah penonton filmnya dirasa itu hampir betul. “Karena di hari pertama ditayangkan Sayap-Sayap Patah hanya ditonton 14.000 orang, kemudian naik secara perlahan ke angka 46.000 dan selanjutnya bergerak sampai 2 juta lebih,” ungkap Denny Siregar.

 

3 dari 4 halaman

Drama yang Sangat Menghibur

Sayap-Sayap Patah adalah film drama yang sangat entertaint, tapi tidak meninggalkan sisi cinta pada negara.

“Ada kisah polisi yang kalah, bahkan ada korban di Mako Brimob," kata Denny Siergar yang muncul sebagai pembicara dalam Webinar FFWI ini bersama Zinggara Hidayat, penulis buku Jejak Usmar Ismail, dengan moderator wartawan senior, Rita Sri Hastuti

 

4 dari 4 halaman

Nasionalisme Sulit Diterjemahkan

Edi Suwardi Ketua Tim Pokja Alif Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM) Kemendikbud Ristek RI yang mendukung acara ini, dalam sambutannya menyebut, di zaman dulu, kata nasionalisme dianggap berat dan sulit diterjemahkan dalam cerita dan gambar.

“Ada kesan, kata itu akan memunculkan karya serius, cenderung kaku dan tidak bakalan laku untuk dinikmati penonton,” ujar Edi. Sebagai sebuah seni, lanjut Edi, kita tahu film tidak hanya digunakan sebagai tontonan.

“Fungsi dan esensi film telah berkembang menjadi media seni yang mampu mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan, religi, pendidikan, hingga tentang nasionalisme yang bisa menjadi tuntunan, sekaligus menjadi tontonan yang laku untuk dinikmati penonton," dia mengulas.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.