Sukses

Bumi Manusia: Potret Puitis Perlawanan, Keberanian dan Ketidakadilan

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu mahakarya yang diperebutkan lebih dari setengah lusin produser itu bernama Bumi Manusia. Terakhir, produser yang beroleh hak Bumi Manusia adalah Frederica, dari Falcon Pictures. Versi layar lebar, Bumi Manusia dipercayakan kepada Hanung Bramantyo.

Sebelumnya bersama Falcon Pictures, Hanung Bramantyo melahirkan Jomblo dan Benyamin Biang Kerok. Ditilik dari barisan pemain, Bumi Manusia menjanjikan. Posisi ujung tombak diisi Iqbaal Ramadhan dan Mawar De Jongh. Garis kedua diperkuat Donny Damara, Dewi Irawan, Ine Febriyanti, hingga Giorgino Abraham.

Hanung Bramantyo sadar, Bumi Manusia bagi sebagian generasi, khususnya milenial, terasa berat. Isu pribumi yang dipersamakan dengan hewan, sehingga tak boleh masuk ke rumah makan tertentu, bangsa yang jadi babu di tanah sendiri, kawin campur, perempuan Indies diperistri bule tanpa payung hukum yang jelas, hingga Eropa sebagai kiblat sosial budaya namun hukumnya berat sebelah.

Menengahi tumpukan isu yang terlalu serius ini, Hanung Bramantyo mengemas Bumi Manusia dengan lebih nge-pop. Maka jangan kaget jika bahasa Jawa yang digunakan dalam naskah terdengar sama dengan masyarakat Jawa Tengah dan Timur saat ini. Pun rayuan Minke (Iqbaal) di menit awal terasa seperti Dilan di era jadul.

Tak mau terlalu membuai, Hanung segera menggulirkan cerita Bumi Manusia dari sudut pandang tokoh utama. Minke terjaga dari tidur saat matahari telah meninggi dan pintu rumah singgahnya diketuk berkali-kali. Sang sahabat, Suurhof (Jerome), mengajak Minke berkunjung ke rumah Robert Mellema (Giorgino). Awalnya, Minke ogah-ogahan.

Saat kereta Suurhof menjemput, pendirian Minke luluh jua. Apalagi setelah tiba di kediaman Robert dan bertemu adiknya, Annelies (Mawar). “Tamumu sekarang menjadi tamuku, ayo masuk Minke,” ujar Annelies kepada Robert seraya mempersilakan Minke.

Terkesima dengan kecantikan Annelies, Minke menyimpulkan ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia memuji kecantikan Annelies, bahkan menciumnya. Gelagat cinta ini dicium Nyai Ontosoroh (Ine Febriyanti), ibunda Annelies dan Robert. Ontosoroh adalah wanita pribumi yang dijual ayahnya kepada seorang Belanda, Herman Mellema (Peter), demi kekuasaan.

Menikah tanpa cinta, Ontosoroh menyerap banyak ilmu bisnis hingga mampu mendirikan perkebunan dan peternakan yang amat luas. Ontosoroh merestui kedekatan Minke dan putrinya. Kedekatan Minke dan Ontosoroh sampai ke telinga ayah (Donny) dan ibu Minke (Ayu). Masalah memanas setelah Herman ditemukan tewas di rumah pelacuran milik Babah Ah Tjong (Chew). Tragedi ini menguak kusutnya rumah tangga Ontosoroh yang berdampak pada hubungan Minke-Annelies.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tiga Poros

Bumi Manusia adalah perputaran cinta, nasib, adat, hukum, dan terbukanya pemikiran oleh tajamnya senjata bernama pendidikan. Referensi buku, kecerdasan, dan lingkungan sekolah membuat Minke merasa menjadi bupati atau apa pun itu bukan panggilan hidupnya.

Ia ingin jadi manusia bebas, yang tidak diupah dan tak pula mengupah. Cita-cita aneh di mata kakak dan ayahnya, tapi diaminkan sang ibu. Lalu kita melihat Annelies yang menjadikan ibu kandungnya pedoman hidup. Juga Ontosoroh, tiang terkuat film ini.

Minke, Annelies, dan Ontosoroh adalah tiga poros yang menggerakkan Bumi Manusia. Di tangan Hanung, ketiganya bergerak maju di jalan masing-masing. Minke dengan kemampuan mencermati fakta dan data mampu menulis. Ontosoroh memperlihatkan perlawanan, meski modalnya lemah di mata hukum. Annelies yang naif memberi kejutan di babak akhir. Ketiga tokoh ini dihidupkan para pemain dengan performa ciamik.

Iqbaal Ramadhan bagi kami seperti mesin diesel. Panasnya agak lama, nyaris tanpa kesan di paruh pertama, tapi umpan akting dari Ine Febrianti membuatnya penuh emosi dan gejolak di paruh kedua hingga akhir.

Ine Febrianti sejak awal konsisten dan mencuri perhatian kami. Kali pertama muncul di layar, aura Ontosoroh bertebaran di udara. Cara menatap tamu yang baru kali pertama berkunjung, senyum, cara berbusana, cara berjalan, termasuk saat makan hingga marahnya mengesankan. Ini semua dieksekusi Ine dengan brilian. Ontosoroh seolah memang ditakdirkan buat Ine. Bukan aktris lain.

Yang menggemaskan sebenarnya Mawar. Nyaris di 80 persen film seperti tanpa daya dan terlampau menerima keadaan. Namun yang sebenarnya dilakukannya adalah menelaah, menyerap keping-keping kekuatan dari orang-orang yang paling dicintainya.

Akhir film adalah momen ia untuk bersinar. Yang paling lemah akhirnya jadi yang terkuat dan memberi kekuatan. Sementara yang kuat kehabisan tenaga seraya menyadari, “Dengan melawan, kita tidak sepenuhnya kalah.”

3 dari 3 halaman

Puitis nan Dramatis

Bagi yang sregep mengikuti perkembangan film nasional dan tangan dingin Hanung, Bumi Manusia jelas sebuah langkah maju. Hanung sejak dulu dikenal mampu mengarahkan pemain. Bahkan pemain anyar pun bisa ia upgrade.

Reza Rahadian kali pertama meraih Piala Citra di Perempuan Berkalung Surban, berkat polesan Hanung. Dalam kasus Bumi Manusia, Ine dan Donny tampil amat gemilang. Donny bahkan mengubah warna vokal hingga bikin pangling. Iqbaal pun tampil melampaui ekspektasi kami.

Departemen lain yang tampak unggul dan akan dilirik juri festival bisa jadi tata artistik, kostum, riasan wajah, efek visual, dan penyutradaraan. Bumi Manusia film dengan akhir dramatis sekaligus mengharukan.

Kami tak kan lupa momen suara Iwan Fals melantun “Ibu Pertiwi” mengiringi adegan yang merefleksikan perlawanan, keberanian membuat pilihan, dan ketidakikhlasan atas menangnya ketidakadilan. Terlihat puitis dan terasa dramatis.

Karena ini film Hanung dari buah pemikiran Pram, tentu ada sejumlah dialog yang ajaibnya relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Misalnya, “Ini bukan soal Islam atau kafir.” Anda yang sedang memperjuangkan nasib, mungkin tersentil dengan dialog, “Hidup bisa memberi segala kepada mereka yang mencari tahu dan pandai menerima.”

Bagi yang dimabuk kepayang, ingatlah, “Cinta itu indah, juga kebinasaan yang membuntutinya.” Bumi Manusia sekali lagi memperlihatkan standar Hanung dalam menyutradarai film sebagai karya yang mempertemukan kualitas dengan aspek komersial. Selamat menonton dan meresapi. (Wayan Diananto)

 

Film Bumi Manusia

Pemain: Iqbaal Ramadhan, Mawar De Jongh, Sha Ine Febriyanti, Donny Damara, Ayu Laksmi, Giorgino Abraham, Jerome Kurnia, Peter Sterk, Chew Kin Wah

Produser: Frederica

Sutradara: Hanung Bramantyo

Penulis: Salman Aristo

Produksi: Falcon Pictures

Durasi: 181 menit

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.