Sukses

Ekonomi China Tumbuh 8,1 Persen pada 2021, Bursa Saham Asia Bervariasi

Ekonomi China tercatat tumbuh 8,1 persen pada 2021. Didukung dari produksi industri.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi China tumbuh 8,1 persen selama 2021 seiring produksi industri terus mengalami tren positif hingga akhir tahun 2021. Sayangnya hal ini dipangkas akibat penurunan penjualan ritel China, menurut laporan dari China's National Bureau of Statistics yang dirilis pada Senin (17/1/2022)

Dalam laporan tertulis PDB kuartal IV China melonjak 4 persen YoY. Pencapaian itu lebih cepat dari proyeksi analis sebesar 3,6 persen yang merupakan hasil jajak pendapat Reuters. Untuk setahun penuh, ekonom China memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi 8,4 persen pada 2021, menurut penyedia data keuangan Wind Information.

Produksi industri juga bertambah 4,3 persen pada Desember dari tahun lalu. Torehan tersebut melampaui perkiraan Reuters. Namun, penjualan ritel meleset dari ekspektasi dan tumbuh hanya 1,7 persen pada Desember dari tahun lalu. Padahal analis yang disurvei oleh Reuters telah memperkirakan kenaikan 3,7 persen.

"Kita harus menyadari lingkungan eksternal lebih rumit dan tidak pasti. Alhasil ekonomi domestik berada di bawah tekanan tiga kali lipat dari kontraksi permintaan, kejutan pasokan, dan ekspektasi yang melemah,” kata biro itu dalam sebuah pernyataan.

Investasi aset tetap untuk 2021 tumbuh sebesar 4,9 persen melampaui ekspektasi untuk pertumbuhan 4,8 persen.

Tingkat pengangguran perkotaan per Desember sesuai dengan rata-rata untuk tahun ini sebesar 5,1 persen. Tingkat pengangguran dengan rentang usia 16-24 16 jauh lebih tinggi di angka 14,3 persen.

 

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kebijakan Nol COVID-19

Kebijakan nol-Covid China yang bertujuan mengendalikan pandemi mendorong pembatasan perjalanan baru di dalam negeri. Termasuk lockdwon kota Xi’an di China tengah pada akhir Desember. Pada Januari, kota-kota lain juga melakukan pembatasan secara penuh atau sebagian.

Hal ini guna mengendalikan cluster wabah yang terkait dengan varian omicron yang sangat menular. A nalis mulai mempertanyakan apakah manfaat dari strategi nol-Covid China lebih besar daripada biayanya. Pasalnya seberapa menular dan berpotensi kurang fatalnya varian omicron.

Goldman Sachs memangkas perkiraan pertumbuhan PDB China 2022. Keputusan ini diambil berdasarkan ekspektasi kebijakan nol-Covid akan menyebabkan peningkatan pembatasan aktivitas bisnis. Namun, para analis mengatakan dampak terbesar adalah pada belanja konsumen.

Penjualan ritel turun pada 2020 meskipun ekonomi China secara keseluruhan tumbuh di tengah pandemi. Belanja konsumen sejak itu tetap lamban, sebagian karena pembatasan perjalanan telah menghambat pariwisata.

Pendapatan karyawan bisnis umumnya naik antara 2020-2021. Khusunya industri padat karya seperti katering dan manufaktur. Hal ini diutarakan kepala sektor konsumen China Raya di UBS Christine Peng.

Namun dia mencatat meningkatnya ketidakpastian mengakibatkan konsumen menunda pembelian barang-barang pilihan, seperti AC baru. Peng mengatakan konsumen juga berpikir jangka panjang, kebutuhan rumah tangga, konsumen wanita lebih bersedia untuk membeli asuransi atau produk manajemen keuangan lainnya.

PDB China tumbuh sebesar 2,2 persen pada 2020 dari tahun sebelumnya. Itu menurut angka terbaru dari Biro Statistik Nasional. Dimana pada Desember merilis revisi data tahunan yang mengurangi pertumbuhan PDB 2020 sebesar 0,1 poin persentase.

Dibandingkan dengan rilis awal pada awal 2021, real estate, industri transportasi dan akomodasi dan restoran mengalami revisi penurunan terbesar. Aktivitas persewaan, persewaan, dan layanan bisnis mengalami peningkatan terbesar, diikuti oleh manufaktur.

 

3 dari 4 halaman

Bursa Saham China Menguat

Bursa saham Asia-Pasifik bervariasi pada Senin, 17 Januari 2021. Sementara itu, bursa saham China menguat pada awal pekan ini seiring data ekonomi menunjukkan pertumbuhan lebih cepat pada Oktober-Desember 2021.

Indeks Shanghai Composite bertambah 0,32 persen. Sementara itu, indeks Shenzhen Component menguat 0,89 persen.

Angka dari China's National Bureau of Statistics menunjukkan ekonomi China tumbuh sebesar 8,1 persen pada 2021. Sedikit di bawah ekspektasi pasar dengan pertumbuhan sekitar 8,4 persen. Pada kuartal IV, PDB China melonjak 4 persen dari tahun lalu, melampaui jajak pendapat Reuters yang memperkirakan kenaikan hanya 3,6 persen saja.

Produksi industri juga tersengat tren kenaikan. Bahkan mengalahkan ekspektasi tetapi penjualan ritel memiliki pertumbuhan yang lebih rendah.

Para ekonom memperkirakan data Senin akan menggarisbawahi perlambatan pertumbuhan, sebagian karena faktor-faktor seperti langkah-langkah ketat China untuk menahan varian omicron Covid serta masalah di sektor properti dan konsumsi yang lamban.

Pekan lalu, bank investasi AS Goldman Sachs memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China 2022  dari 4,8 persen menjadi 4,3 persen.

Sementara itu, Head of Asia Economics and Strategy Citi Global Markets, Johanna Chua menyebutkan, penjualan ritel adalah kerugian besar.

"Ini adalah satu area di mana saya pikir itu benar-benar membutuhkan sedikit lebih banyak dukungan kebijakan,” ujar dia.

4 dari 4 halaman

Bursa Saham Asia Bervariasi

Bursa Asia-Pasifik lainnya diperdagangkan bervariasi. Di Jepang, indeks Nikkei 225 beranjak naik 0,74 persen ke posisi 28.333,52. Saham indeks Topix juga menghijau dengan bertambah 0,46 persen ke posisi 1.986,71.

Bursa saham Australia menguat. Indeks ASX 200 naik 0,32 persen ke posisi 7.417,30. Sektor saham keuangan dan energi masing-masing menguat 0,55 persen dan 1,39 persen.

Di sisi lain, indeks Kospi tergelincir 1,19 persen, dan indeks Kosdaq melemah 1,36 persen. Indeks Hong Kong Hang Seng merosot 0,91 persen.

"Pasar bereaksi defensif terhadap data ekonomi AS yang mengecewakan untuk Desember. Hal ini karena penjualan ritel turun tajam dan produksi manufaktur menurun.Ini merupakan imbas dilanda tiga kali lipat inflasi tinggi, kekurangan pasokan yang sedang berlangsung dan Omicron," tulis analis ANZ Research dalam catatan, dilansir dari laman CNBC, Senin, 17 Januari 2022.

Analis ANZ Research pun berharap The Fed segera merevisi perkiraan inflasi dan panduan suku bunga untuk bulan-bulan mendatang pada pertemuan minggu depan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.