Sukses

Pasar Saham Indonesia Masih Menarik di Tengah Sentimen Inflasi AS

Setelah pertemuan the Federal Reserve atau bank sentral AS yang menunjukkan bunga tidak akan dinaikkan hingga 2023 dan inflasi akan naik. Lalu bagaimana dampaknya ke pasar saham?

Liputan6.com, Jakarta - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) telah memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0-0,25 persen setelah gelar rapat pada 16-17 Maret 2021. Lalu bagaimana prospek pasar saham Indonesia?

Hasil rapat the Federal Reserve (the Fed) juga menunjukkan tidak akan menaikkan suku bunga hingga 2023. Pembuat kebijakan melihat indikator aktivitas ekonomi dan tenaga kerja telah naik baru-baru ini, meski sektor usaha masih melemah akibat pandemi COVID-19.

Selain itu, bank sentral AS juga menaikkan pertumbuhan ekonomi pada 2021 dan 2022 seiring persetujuan paket stimulus USD 1,9 triliun yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Pertumbuhan ekonomi AS diharapkan tumbuh 6,5 persen pada 2021 dan 3,3 persen pada 2022.

Lalu apakah pernyataan the Federal Reserve menjadi hal positif dan negatif?

Mengutip laporan Ashmore Asset Manajement, setelah pertemuan the Federal Reserve, satu pertanyaan mengenai pandangan the Federal Reserve (the Fed) mengenai inflasi sementara ini? Kemudian bagaimana mengalokasikan aset selama sisa tahun 2021?

Hal ini mengingat skenario lonjakan inflasi pada kuartal II 2021 seiring prospek pertumbuhan ekonomi AS dari 6,5 persen, 3,3 persen dan 2,2 persen dalam kurun waktu 2021-2023. Sedangkan inflasi inti diprediksi 2,2 persen pada 2021, 2 persen pada 2022 dan 2,1 persen pada 2023.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pasar Saham Indonesia Masih Menarik

Jadi kelas aset mana yang menjadi fokus dalam waktu dekat?

Inflasi sementara mungkin tidak mempengaruhi saham dan kebalikannya dengan obligasi. Ini sebabnya setelah pernyataan the Federal Reserve yang begitu dovish, imbal hasil obligasi AS naik ke 1,7 persen mendekati level tertinggi pada 2020 sebesar 1,76 persen. Menurut ketua The Federal Reserve Jerome Powell, begitulah adanya cerminan baik tentang bagaimana pasar melihat peningkatan ekonomi.

Namun, pasar dalam jangka waktu lama juga mendasarkan harapan pada pertumbuhan ekonomi dan selalu ada batas atas untuk patokan imbal hasil obligasi untuk skenario dari yang akan disampaikan.

Ashmore Aset Manajement melihat pasar saham memiliki lebih banyak dukungan dalam waktu dekat.”Indonesia pada khususnya memiliki berbagai katalis di luar potensi pemulihan dari COVID-19. Selain stimulus, potensi investasi asing langsung ke sektor riil seperti manufaktur dan sovereign wealth fund dapat menstabilkan mata uang Indonesia,” demikian mengutip dari laporan tersebut, Minggu (21/3/2021).

Selain itu, Ashmore juga melihat dari siklus komoditas dan relaksasi di sektor properti yang besar-besaran juga mendukung pasar. Apalagi potensi teknologi Indonesia yang sedang berkembang terutama berdampak terhadap saham teknologi. Dengan saham teknologi diperdagangkan di pasar saham Indonesia dapat menambah daya tarik pasar saham Indonesia.

"Pasar saham Indonesia masih relatif menarik dengan price earning ratio dalam 12 bulan mendekati rata-rata 16,4 kali dengan earning yield enam persen,” demikian mengutip laporan Ashmore.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.