Sukses

Sambut Libur Panjang, Laju IHSG Mendatar Selama Sepekan

Investor asing masih jual saham dan saham kapitalisasi besar tertekan belum mampu angkat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan.

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung mendatar selama sepekan. Hal itu lantaran emiten saham kapitalisasi besar terutama masuk indeks saham LQ45 tergelincir.

Mengutip laporan PT Ashmore Asset Management Indonesia, Sabtu (9/6/2018), IHSG hanya naik 0,17 persen dari posisi 5.983 pada 31 Mei 2018 menjadi 5.993 pada 8 Juni 2018. Emiten saham kapitalisasi besar turun 0,3 persen selama sepekan sehingga belum mampu angkat IHSG naik signifikan. Sedangkan saham kapitalisasi kecil bergerak positif dengan naik 1,4 persen.

Investor asing pun jual saham mencapai USD 223 juta atau sekitar Rp 3,11 triliun (asumsi kurs Rp 13.969 per dolar Amerika Serikat).

Di pasar surat utang atau obligasi, indeks saham BINDO melemah 0,46 persen selama sepekan. Obligasi bertenor 10 tahun menguat 7,3 persen. Nilai tukar rupiah berada di posisi 13.930 per dolar Amerika Serikat (AS). Investor asing beli obligasi mencapai USD 613 juta atau sekitar Rp 8,56 triliun.

Ada sejumlah faktor pengaruhi pergerakan pasar keuangan global sehingga berdampak ke IHSG. Dari eksternal, Amerika Serikat (AS) mencatatkan data ekonomi yang solid. Hal itu terutama dari data tenaga kerja AS. Pengusaha dan perusahaan rekrut pegawai sekitar 223 ribu.

Kemudian rata-rata pendapatan per jam naik 2,7 persen. Angka ini melebihi dari proyeksi. Selain itu, tingkat pengangguran turun menjadi 3,8 persen dari posisi April sekitar 3,9 persen. Tingkat pengangguran itu terendah sejak 1969.

Dengan data ekonomi itu, investor berharap bank sentral AS akan meningkatkan suku bunga acuan pada pertemuan bank sentral AS atau the Federal Reserve pada 12-13 Juni. Diperkirakan bank sentral AS akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada 2018, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang netral. Diharapkan ketidakpastian politik di Italia dan Brazil hingga sengketa perdagangan AS menjadi pertimbangan bank sentral AS.

Negara berkembang pun turut mengikuti AS untuk perketat kebijakan moneter. Turki memutuskan menaikkan tingkat bunga repo sekitar 125 basis poin menjadi 17,75 persen. Keputusan tersebut muncul usai laporan inflasi menunjukkan angka 12,15 persen pada Mei.

Pasar negara berkembang lainnya juga telah menaikkan suku bunga lebih cepat untuk mengantisipasi dolar AS yang mengaut dan arus modal keluar ketika bank sentral AS mengetatkan kebijakan moneter. Bank sentral India telah menaikkan suku bunga untuk pertama kali sejak 2014. Langkah tersebut mengikuti bank sentral Indonesia, Meksiko, dan Argentina.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sentimen Potensi Perang Dagang

Sentimen lainnya pengaruhi pasar keuangan yaitu potensi perang dagang. Apalagi setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baja dan aluminium dari Uni Eropa, Meksiko dan Kanada.

Uni Eropa pun mengambil langkah-langkah untuk melas. Sedangkan Meksiko akan berlakukan bea masuk mulai dari baja hingga keju. Pemerintah Kanada umumkan akan berlakukan tarif sebanyak USD 12,8 miliar dari baja, aluminium, dan produk lainnya.

Prancis pun bergabung dengan Jerman untuk tidak menandatangani pernyataan bersama dari kelompok G7 di Quebec, Kanada. Sebaliknya China kembali menegaskan ingin perluas impor dari AS jika dua ekonomi terbesar di dunia tersebut hanya setengah jalan dalam negosiasi perdagangan.

Sentimen politik dari Eropa pun bayangi pasar keuangan. Dua pemimpin Eropa yang baru dilantik mengakhiri kekacauan politik pada pekan sebelumnya. Di Italia, Giuseppe Conte seorang professor tanpa pengalaman politik dilantik sebagai Perdana Menteri Italia. Sedangkan Pedro Sanchez mengambilalih pimpinan di Spanyol.

Dari pasar komoditas, harga minyak juga jadi perhatian. Harga minyak acuan turun pada pekan ini seiring OPEC membahas untuk meningkatkan produksi pada pertemuan akhir pekan lalu di Kuwait.

Pada bulan lalu, Aranb Saudi dan Rusia mengusulkan peningkatan produksi secara bertahap, meski anggota lain belum setuju. Di sisi lain, pemerintah AS diam-diam meminta Arab Saudi dan beberapa produsen minyak lainnya yang tergabung dalam OPEC untuk meningkatkan produksi minyak sekitar 1 juta barel per hari.

Hal itu dipicu dari permintaan langkah usai harga bensin AS melonjak ke level tertinggi dalam tiga tahun. Presiden AS Donald Trump pun secara terbuka mengeluh kebijakan OPEC dan naiknya harga minyak.

Dari Indonesia, tingkat inflasi tahunan Indonesia melambat pada Mei seiring harga makanan naik secara moderat meski permintaan meningkat selama bulan Ramadan. Inflasi naik menjadi 3,23 persen hingga Mei. Tingkat inflasi rendah menjadi kabar baik bagi pemerintah untuk tetap menjaga inflasi terkendali.

Bank Indonesia (BI) pun tetap berhati-hati untuk memutuskan kebijakan moneternya. Termasuk soal menetapkan suku bunga acuan. Sebelumnya BI menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,75 persen pada 30 Mei 2018. Langkah tersebut dilakukan untuk mencegah ketidakpastian langkah bank sentral AS atau the Federal Reserve. Selain itu juga dampak dari defisit fiskal AS dan meningkatnya risiko global.

 

 

3 dari 4 halaman

Sentimen Bayangi Pasar Keuangan dari Eksternal

Lalu apa yang akan dicermati usai libur Lebaran? Hal itu mengingat pasar keuangan Indonesia libur untuk menyambut Lebaran 2018.

Dari eksternal, Ashmore menyebutkan, pertemuan bank sentral AS atau the Federal Reserve pada 12-13 Juni 2018 akan jadi perhatian pelaku pasar. Bank sentral AS diperkirakan menaikkan suku bunga pada pertemuan Juni.

Dolar AS menguat juga dapat membatasi langkah the Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga pada 2018. Diperkirakan kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali pada 2018 merupakan skenario yang paling mungkin.

Selain itu, pertemuan bank sentral Eropa pada 14 Juni juga menjadi sorotan. Pelaku pasar mencari sinyal kapan bank sentral Eropa dapat mengakhiri program pelonggaran kuantatif bank sentral. Selanjutnya, perang dagang dan geopolitik. Ketidakkonsistenan kebijakan AS tetap sebagai faktor risiko. Pertemuan G7, negosiasi dagang dengan China dan perjanjian perdamaian Korea Utara dan Selatan jadi sorotan pelaku pasar.

 

4 dari 4 halaman

Dari Internal

Sedangkan dari internal, Indonesia akan mulai pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 27 Juni 2018 yang melibatkan 17 provinsi dan 70 persen penduduk Indonesia. Anggaran dari KPU dan kandidat diperkirakan sekitar Rp 15 triliun dapat jadi dorongan daya beli dalam negeri.

Sentimen lainnya datang dari Bank Indonesia (BI) dan rupiah. BI sudah menaikkan suku bunga acuan akan berdampak terbatas terhadap kinerja keuangan emiten.

Ashmore memperkirakan, kenaikan suku bunga acuan lagi sekitar 25 basis poin (bps) pada semester II 2018. Akan tetapi, rupiah yang stabil dapat memengaruhi saham dan aliran dana ke obligasi. Nilai tukar rupiah mengaut lebih dari dua persen terhadap dolar Amerika Serikat sejak Perry Warjiyo menjabat sebagai Gubernur BI pada 24 Mei. Kenaikan rupiah termasuk terbaik di Asia.

Ashmore juga menyoroti apakah aliran dana investor asing akan kembali masuk pada semester II 2018? Dalam lima tahun terakhir, selama semester II 2018, kemungkinan 60 persen tingkat imbal hasil investasi positif.

Saat ini, saham di Indonesia memiliki valuasi rendah, kepemilikan investor asing turun, dan volatilitas nilai tukar rupiah yang menurun. Diharapkan juga data ekonomi positif pada semester II 2018 sehingga jadi sentimen positif di pasar.

Selama Mei 2018, investor asing melakukan aksi jual mencapai Rp 6 triliun pada Mei 2018. Hal itu didorong rebalancing MSCI, namun IHSG tetap tangguh.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.