Sukses

Strategi Investasi di Tengah Risiko Perang Dagang AS-China

Kekhawatiran perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China menekan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Kekhawatiran perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China menekan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan lalu. Diperkirakan volatilitas bursa saham masih tinggi ke depan.

Lalu bagaimana strategi investasi di pasar modal dengan ada isu perang dagang tersebut?

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan mengenakan tarif impor barang dari China hingga USD 60 miliar. Penerapan tarif impor tersebut masih menunggu rilis daftar barang China yang dikenakan tarif dan tinjauan publik.

Sebelumnya Donald Trump telah mengenakan tarif impor baja dan aluminium dari China. Selain itu mesin cuci dan panel surya. China pun merespons langkah Trump dengan akan mengenakan lebih dari120 impor barang dari AS.Langkah Trump tersebut pun mengguncang pasar keuangan global pada pekan lalu. Hal itu termasuk IHSG.

Pada Jumat 23 Maret 2018, IHSG melemah 43,37 poin atau 0,69 persen ke posisi 6.210,69. Tekanan itu mendorong IHSG alami koreksi 2,28 persen secara year to date (Ytd).

Head of Sales and Marketing PT Ashmore Assets Management Indonesia, Steven Satya Yudha menuturkan, pelaku pasar menanggapi negatif dari langkah Trump mengenakan tarif impor lebih tinggi kepada barang China. Hal ini didorong China merespons langkah AS. Akan tetapi, menurut Steven, China cenderung membalas lebih lembut.

Oleh karena itu, pasar relatif lebih tenang.Steven menilai, langkah Trump mengenakan tarif impor lebih tinggi, dampaknya kecil terhadap pertumbuhan ekonomi China.

Hal itu termasuk jika AS mengenakan tarif impor ke seluruh komoditas China. Steven melihat, China cenderung berhati-hati untuk membalas langkah AS. Mengingat China juga akan menjaga hubungan dengan mitra dagang strategisnya.

“Dampak pertumbuhan ekonomi China dari langkah Trump tersebut kecil. Kami melihat dampak 0,12-0,14 persen. Kalau AS distrech dari komoditas China yang diimpor kami lihat dampaknya 0,2-0,3 persen, China membalas dari skala besar. Kami melihat tindakan China akan ajukan complent ke WTO dan mungkin kita akan melihat China respons fights dari suatu negara terganggu,” ujar Steven.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

RI Bakal Mampu Bertahan

Steven menuturkan, kekhawatiran perang dagang juga berimbas ke IHSG. Ini ditunjukkan dari koreksi IHSG mencapai 2,2 persen secara ytd. Akan tetapi, Steven apresiasi langkah BI menjaga nilai tukar rupiah stabil di kisaran 13.700. Ini membuat dampak sentimen global terhadap fundamental ekonomi Indonesia tidak terlalu besar.

Steven melihat, tekanan terjadi di bursa saham Indonesia tidak mencerminkan kondisi fundamental Indonesia. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih kuat dari tahun-tahun sebelumnya bahkan dibandingkan 2008.

"BI acungi jempol, menjaga rupiah sangat terlihat. BI lakukan intervensi dengan agresif jaga stabilitas rupiah, stock market bukan refleksi fundamental ekonomi Indonesia. Kalau lihat Indonesia dibandingkan Indonesia 2015, 2013, 2012, dan 2008 kita sudah jauh improve,” kata Steven.

Steven menjelaskan faktor-faktor menunjukkan ekonomi Indonesia mampu bertahan dari sentimen global antara lain, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi keuntungan sendiri. Lantaran daya saing ekspor seharusnya relatif baik.

“Tingkat defisit transaksi berjalan telah membaik 50 persen dibandingkan 2013.Neraca pembayaran relatif positif,” kata dia, saat dihubungi Liputan6.com.

Selain itu, posisi cadangan devisa cukup tinggi. Tercatat cadangan devisa Indonesia sebesar USD 128,05 miliar per 28 Februari 2018.Steven menambahkan, inflasi Indonesia juga relatif terkendali.Inflasi mencapai 3,18 persen hingga Februari 2018 atau secara YoY. Inflasi tersebut diharapkan terkendali hingga akhir tahun mengingat pemerintah mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik hingga tahun depan. Inflasi diperkirakan 3-3,5 persen hingga 2019.

Bank Indonesia dinilai masih memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan suku bunga rendah.Ia prediksi, kinerja keuangan emiten pada kuartal I 2018 juga tidak terganggu dengan sentimen eksternal tersebut.

Ini terlihat dari penjualan semen tumbuh delapan persen, ritel tumbuh lima persen, properti tumbuh tujuh persen dan otomotif yang peningkatannya cukup baik dibandingkan periode sebelumnya.

 

3 dari 3 halaman

Strategi Investasi

Dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih terjaga, Steven menilai, saham dan obligasi memiliki tingkat valuasi relatif menarik untuk mulai diakumulasi investor. Ini ditunjukkan dari price earning (PE) IHSG berada di bawah level rata-rata lima tahun terakhir.

Saat ini 15,7 kali dibandingkan rata-rata 16 kali. Ini dengan proyeksi pendapatan emiten masih relatif solid. Steven menilai saat ini peluang untuk memburu saham-saham murah saat terjadi tekanan di bursa saham.

Akan tetapi, ia mengingatkan volatilitas bursa saham masih relatif tinggi. Meski demikian, bursa saham Indonesia akan ditopang oleh kondisi likuiditas investor lokal yang masih relatif tinggi.

"Valuasi sekarang premium, buy on weakness strategi sangat baik. Market dipengaruhi emotional dibandingkan rasional menurut kami kesempatan investor profit justru lebih besar. Tak kesampingkan risiko cash management klien sangat penting. Cash holding 20-25 persen level ukup untuk bisa antisispasi volatilitas ke depan jangan cash minded, opportunity. Menunggu momen ini 5-6 bulan,” ujar dia.

Sementara itu, Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto menuturkan, volatilitas masih terjadi dalam jangka pendek. Dengan kondisi ini juga dapat dimanfaatkan pelaku pasar untuk akumulasi beli saham.

“Saham masih tidak terlalu murah. Valuasi berdasarkan PE Ratio Bloomberg pada 23 Maret 2018 adalah di 22,08 kali. Dikatakan agak murah di 15-20 kali secara historis,” ujar dia.

Sedangkan untuk reksa dana, pihaknya memilih reksa dana pendapatan tetap bisa menjadi pilihan menarik sebagai bentuk diversifikasi.Imbal hasil yang wajar pada 2018 adalah 6-6,25 persen. Per 23 Maret 2018 seesar 7,02 persen.

Rudiyanto menuturkan,, angka itu termasuk angka yang nyaman bagi investor asing untuk masuk. "Meski tidak menjamin tidak akan turun tapi penurunan sudah terbatas. Untuk itu, reksa dana pendapatan tetap bisa menjadi pilihan menarik," ujar dia.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.