Sukses

Menimbang Perspektif Budaya dalam Revisi UU Narkotika

Revisi UU Narkotika dianggap harus turut merangkum kearifan tradisi-tradisi lokal.

Liputan6.com, Bandung - Perspektif antropologi dinilai penting untuk turut dijadikan dasar pertimbangan dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika. Anasir kultural yang hidup dalam tradisi lokal dipandang layak jadi bahan pembentuk regulasi tersebut, tidak cuma dirancang secara dingin dengan pendekatan hukum apalagi hal ihwal pemidanaan semata.

Pandangan itu disampaikan Inang Winarso, Koordinator Wilayah Jawa-Bali Asosiasi Antropologi Indonesia, dalam diskusi publik yang digelar oleh Kanal Indonesia tanpa Stigma, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, dan Asosiasi Antropologi Indonesia, diikuti Liputan6.com beberapa waktu lalu di Kota Bandung.

Inang yang juga aktif di Yayasan Sativa Nusantara itu mempercayai bahwa nilai tradisi sejatinya berkembang dari kebijaksanaan masyarakatnya, lahir atas pertimbangan ukuran-ukuran tertentu, maka kearifan-kearifan baheula bisa saja dipugar secara adil guna memperkaya undang-undang narkotika kini.

"Harusnya revisi undang-undang narkotika itu memperhatikan keragaman dari karakter budaya, mengakomodasi nilai-nilai masyarakat," kata Inang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kembali ke Tradisi

Inang memberikan contoh bagaimana tanaman ganja, yang kini digolongkan sebagai narkotika golongan 1, memiliki akar tradisi di kelompok-kelompok tertentu masyarakat Indonesia. Tanaman itu, aku Inang, pada mulanya dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual, bahan baku obat, bahan kuliner hingga tanaman industri pertanian, dan bukan untuk rekreasional.

Menurut sejumlah literatur, sebagaimana disampaikan Inang, tanaman yang lazimnya berdaun lima jari ini masuk dari India sebelum massa Islam.

"Masuk ke Indonesia itu dalam konteks ritual keagamaan pada masa itu, lalu berkembang jadi tanaman untuk bahan baku obat ditulis dalam kitab-kitab berisi resep, lalu berkembang lagi jadi tanaman pangan atau kuliner dan tanaman untuk pertanian," katanya.

Inang menyebut, akar tradisi tanaman ganja misalnya berkembang di wilayah Sumatera bagian utara atau juga di Ternate, Maluku. "Secara budaya itu ada di naskah-naskah kuno," kata dia.

 

Jika menulusur tradisi itu, katanya, dari peradaban spiritual lalu masuk ke peradaban kesehatan, tanaman ganja tidak digunakan untuk kepentingan rekreasional. Penggunaan rekreasional tersebut dianggap di luar tradisi budaya yang tercatat dokumen-dokumen naskah kuno.

“Layaknya daun koka, kemudian diolah jadi kokain itu di luar tradisi masyarakat Amerika Latin karena daun koka itu (oleh masyarajat tradisi) dikonsumsi langsung, dikunyah seperti sirih atau diseduh seperti teh. Ketika diolah menjadi kokain atau zat lain itulah yang tidak dikenal dalam tradisi kuno,” katanya.

Menurut Inang, revisi undang-undang narkotika harus mempertimbangkan penggunaan sesuai tradisi dengan tujuan membuat regulasi yang berkeadilan dan benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.

“Kita kembalikan pengaturan berbasis tradisi, tapi juga melarang kegiatan yang keluar dari tradisi. Jadi, kalau tradisi ganja itu untuk kepentingan spiritual, kesehatan, industri pertanian, ya, sudah itu saja yang kita atur,” katanya.

3 dari 3 halaman

Prinsip Kemanfaatan dan Keadilan

Inang menilai, regulasi narkotika di Indonesia harus mengedepankan prinsip kemanfaatan dan keadilan. Ia misalnya menyoroti soal penggolongan zat-zat narkotika. Menurutnya, zat-zat tersebut pada dasarnya adalah netral, baik-buruknya dapat bergantung pada perilaku pihak yang memanfaatkannya.

“Itu adalah varian bebas, variabel independen, seperti pisau, ya, bisa dipakai iris roti, juga bisa dipakai merampok. kita tidak bisa melarang pisau. Itu barang netral, kita tinggal mengategorisasi secara ilmiah zat-zat itu, tidak dilihat apakah dilarang atau tidak dilarang, tapi dilihat berdasarkan jenisnya saja,” katanya.

Inang berpendapat, daripada melarang zat alangkah baiknya adalah berupaya mengatur pemanfaatan zat tersebut agar sesuai peruntukannya dan mempertimbangkan perspektif antropologi atau kultural.

“Ketika utilisasinya keluar tradisi dan budaya itu yang harus kita beri sanksi karena tidak ada rujukan dalam literatur naskah-naskah kita. Kalau ada literatur atau kitab-kitab pemanfaatan sebuah zat untuk spritual, kesehatan dan pertanian itu pasti bermanfaat,” katanya. "Kalau berdasarkan tradisi dan budaya tidak usah dilarang kalau di luar tradisi dan budaya itu pasti berbahaya bagi manusia," imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.