Sukses

Asal Usul Sisingaan, Kesenian Khas Simbol Perlawanan Rakyat Subang Terhadap Penjajah

Wilayah Subang dulunya memang tergabung dengan Purwakarta, pada era sebelum merdeka berada di bawah kekuasaan Ratu Wihelmina.

Liputan6.com, Bandung - Indonesia memiliki ragam seni dan budayanya yang unik dan khas. Beberapa di antaranya bahkan sangat identik dengan kondisi demografis dan sejarah di wilayah asalnya. Salah satunya adalah tradisi sisingaan dari Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Tak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan kesenian ini. Menurut Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, kesenian ini diperkirakan sudah mulai muncul ketika masa penjajahan Belanda di Indonesia pada abad ke-19.

Saat itu, meskipun secara politis wilayah Subang dalam kekuasaan Belanda namun secara ekonomi Subang dikuasai oleh Inggris melalui perusahaan perkebunan P&T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden) yang menguasai hampir seluruh wilayah Subang.

Wilayah Subang dulunya memang tergabung dengan Purwakarta, di era sebelum merdeka berada di bawah kekuasaan Ratu Wihelmina, yang tak lain adalah pemimpin kerajaan Belanda dari tahun 1890-1948.

Meski berada di bawah jajahan Belanda, konon yang mengelola tanah-tanah perkebunan di Subang adalah perusahaan-perusaahan Inggris. Dari situlah, seolah Subang berada di bawah kekuasaan dua negara. Adapun Inggris dan Belanda ternyata mempunyai simbol yang sama, yaitu singa.

Menariknya, sisingaan mengandung nilai sejarah yang tergambar sebagai bentuk perlawanan dari para masyarakat di Kabupaten Subang, terhadap kekejaman penjajahan dari negara Belanda ratusan tahun silam dan Inggris yang menguasai perekonomian rakyat.

Pada seni sisingaan, seekor boneka singa digotong oleh empat orang seniman yang atraktif. Kesenian ini disebut juga seni gotong singa. Di atas boneka singa yang digotong itu, biasanya seorang anak duduk dan digotong berkeliling kampung atau desa layaknya seorang raja. Sepintas mungkin biasa saja, tapi di sinilah simbol istimewanya.

Ketika sisingaan digotong dengan seorang anak duduk di atasnya memberi arti bahwa, “Biarlah kami (orang tua) dijajah oleh singa-singa penjajah ini. Kami berada di bawahnya, tapi kelak anak cucu kami harus berada di atas para penjajah ini”.

Memang ketika singa-singa itu digotong di atas pundak para seniman, sisingaan memberi gambaran pikulan jajahan yang dihadapi orang tua kita. Mereka dijadikan budak, cukong, buruh kasar, babu, dan lain sebagainya oleh para penjajah. Namun, ketika ada anak yang duduk di atas singa-singa tersebut, memberi isyarat bahwa generasi Indonesia selanjutnya harus mampu berada di atas para penjajah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kademangan Ciherang

Ada pendapat lain mengenai asal usul kesenian sisingaan asal Subang. Edih AS, seorang pakar kesenian sisingaan, menyimpulkan bahwa kesenian sisingaan mulai berdiri pada 1857 dan pendirinya adalah Demang Mas Tanudireja. Pendapatnya ini didasarkan pada penelaahan berdirinya Kademangan Ciherang, di mana Ciherang oleh beberapa ahli kesenian ini dianggap sebagai asal daerah kesenian sisingaan.

Adapun sebelum 1860, Ciherang telah berdiri sebagai sebuah kademangan. Demangnya adalah Mas Tanudireja yang diangkat dengan besluit pada 1857.

Bahan lainnya yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan oleh pakar ini adalah hasil penelitian yang telah dilakukannya dari 1981 sampai dengan 1985. Dari hasil penelitian itu, diperoleh keterangan mengenai orang-orang atau para pejabat setempat yang pernah menggelarkan kesenian ini, serta keterangan mengenai waktunya.

Dari sumber-sumber itulah pakar tersebut sampai pada kesimpulan bahwa kesenian sisingaan sudah ada sebelum 1910 dan dari telaahan sejarahnya mengenai Kademangan Ciherang dan diangkatnya Demang Mas Tanudireja (1857), ia menyatakan bahwa kesenian ini mulai ada pada 1857, dan penciptanya adalah Demang Mas Tanudireja.

3 dari 3 halaman

Sebagai Ritual Pertanian

Selain dijadikan sebagai sarana perlawanan, tradisi sisingaan juga disebut sebagai odong-odong oleh sebagian masyarakat di wilayah Subang. Mereka menggunakan odong-odong tersebut sebagai sarana ritual pertanian.

Menurut Nanu Munajar, seorang seniman dan akademisi asal Subang mengungkapkan dalam keterangan tertulisnya bahwa ketika agama besar belum masuk di kehidupan mereka, masyarakat di sana memiliki sebuah tradisi ritual yang identik dengan aktivitas pertanian.

Aktivitas yang dimaksud adalah memuja dan mengagungkan padi dan para leluhur melalui kekuatan-kekuatan supranatural yang dilakukan. Odong-odong dilangsungkan dengan mengarak sebuah benda yang diserupakan dengan bentuk binatang tertentu.

Saat ini, tradisi sisingaan masih dilakukan di beberapa wilayah Kabupaten Subang dan sebagian Jawa Barat sebagai sarana dalam memeriahkan anak-anak yang akan dikhitan agar merasa terhibur.

Mereka akan diarak keliling desa atau kampung pada satu hari sebelum mereka disunat, dengan dimandikan air kembang yang dipersiapkan oleh dukun rias sebelum dijadikan sebagai pengantin sunat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.