Sukses

Menakar Nilai Tambah 'Restorative Justice' dalam Penyelesaian Kasus Pidana

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara berupaya menyelesaikan 13 kasus hukum melalui jalur restorative justice sebagai upaya memberikan keadilan hukum bagi para pencari keadilan.

Liputan6.com, Kendari - Penyelesaian kasus keadilan restoratif atau restorative justice di Indonesia, mulai dilakukan pada beberapa jenis kasus hukum. Cara penyelesaian kasus ini, berdasarkan prinsip keadilan restoratif yang merupakan jalur alternatif penyelesaian perkara tindak pidana.

Penyelesaian kasus hukum, sebelumnya melalui mekanisme peradilan pidana. Kemudian, melalui restorative justice, fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Sehingga, melalui kedua cara ini, kedua belah pihak bermasalah bisa menemukan solusi damai tanpa melalui jalur pengadilan.

Kepala kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Raimel Jesaja menyatakan, di Sultra, sudah ada penyelesaikan kasus restorative justice sebanyak 13 kasus hukum.

"Kasus yang diselesaikan ini, terdiri pencurian, penganiayaan dan KDRT," ujar Raimel Jesaja.

Dia menyebut, bahkan Kejati dan Aspidum Kejati serta jajaran baru menyelesaikan satu kasus restorative justice soal KDRT di Konawe, Rabu (20/7/2022). Kasusnya, sang suaminya menampar istri, kemudian sang istri melapor ke polisi. Setelah melapor dan Kejati memediasi, sang istri menyesal dengan sadar bahwa kasus bakal berdampak pada keluarga. Mereka berdua kemudian menyesal dan sama-sama meminta maaf.

Kata dia, pihak kejaksaan, juga tak semata-mata setiap pengajuan kasus hukum ke restoirative justice, langsung disetujui. Namun, tapi ada mekanisme yang mesti dilalui.

Menurut Raimel, pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara berharap, sebagai lembaga penuntutan di Indonesia bisa menggunakan hak sebagai penuntut umum dengan memperhatikan hak masyatrakat untuk memperoleh keadilan. Hukum selain berfungsi menegakan keadilan, juga berfungsi memberikan manfaat bagi warga.

Dia melanjutkan, pihak kejaksaan juga seharusnya bisa melihat, manfaat hukum di sini apakah sebuah perkara harus berujung ke pengadilan atau diselesaikan melalui komunikasi terhadap pihak-pihak yang bermasalah. "Menurut hemat kami, tidak semua kasus harus ke pengadilan," ujarnya.

Dia memaparkan, penegak hukum seharusnya bisa melihat kasusnya. Misalnya, ketika ada kasus KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat 1 dan Ayat 4 UU 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT.

"Di mana suami menganiaya istri, ketika korban sudah memaafkan maka dengan mengedepankan restorative justice, kita tak perlu selesaikan dengan panjang lebar kasus hukumnya. Karena nanti dampaknya juga kepada keluarga, istrinya, dan anaknya yang terlantar," paparnya.

Dia menjelaskan, penyelesaian melalui kasus hukum, menjadi perhatian di Kejaksaan Agung. Menurutnya, Kejati Sulawesi Tenggara dan Kejagung sangat selektif memilah kasus yang akan masuk restorative justice. Sah atau tidaknya kasus ini masuk RJ, yang memutuskan bukan Kejati, melainkan jaksa agung muda Kejagung. Bagaimana prosesnya, diseleksi mulai dari Kejari, kemudian Kejati lalu diserahkan kepada Kejagung atau tidak.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menyatukan Pemahaman Soal Restorative Justice

Selama ini, pemahaman soal restorative justice, dimaknai secara berbeda oleh lembaga penegak hukum. Kepolisian, pengadilan dan kejaksaan, memiliki cara berbeda dan pemahaman berbeda dalam menyelesaikan kasus hukum via restorative justice.

Hal ini dikemukakan Dekan Fakultas Hukum Herman. Dia menyatakan, seharusnya semua jajaran penegak hukum mencoba buka wawasan, agar melihat dari sisi ekonomis ketika memilih menyelesaikan kasus restorative justice atau melalui jalur hukum pidana.

"Kita lihat sekarang, kita ini negara hukum yang menghukum seseorang ketika melakukan pidana, tapi masa beban hukuman ditanggung oleh penegak hukum sendiri," ujarnya.

Dalam sebuah penelitiannya di Lapas Kendari, Herman menemukan, ada selisih jumlah pembayaran makanan Rp700 juta bagi tahanan.

"Masak kita hukum orang, kemudian beban sama kita yang tanggung," ujarnya.

Dia berharap, proses restorative justice bisa terintegrasi antara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Hal penting lainnya, bagaimana polisi, jaksa dan pengadilan punya pemahaman yang sama soal inii.

"Sekarang belum ada pemahaman yang sama," katanya.

Soal peradilan pidana, termasuk di Kementerian Hukum dan HAM mesti ada koordinasi. Dia mencontohkan, misalnya, orang dihukum dan dapat remisi karena memiliki kelakuan baik.

Padahal, harusnya mendapat remisi karena melalui RJ. Ketika dia menyadari bahwa tindakannya merugikan, kemudian meminta maaf dan ada kompensasi maka itu bisa masuk dalam restorative justice.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.