Sukses

Botol Air Mineral Dominasi Sampah Plastik yang Paling Banyak Ditemui di Bali

Lokasi yang mereka pilih untuk "pesta kecil" jelang sore itu sudah bercerita banyak: sebuah gudang sampah, tempat mereka sehari-harinya memilah beratus-ratus jenis sampah plastik dari banyak sungai dan selokan di Bali.

Liputan6.com, Balikpapan - Lokasi yang mereka pilih untuk "pesta kecil" jelang sore itu sudah bercerita banyak: sebuah gudang sampah, tempat mereka sehari-harinya memilah beratus-ratus jenis sampah plastik dari banyak sungai dan selokan di Bali.

Namun, dengan sedikit kerja ekstra di awal hari, gudang tak berdinding itu seketika terasa lapang.

Keranjang-keranjang penuh saset dan botol plastik kotor di pelataran tak lagi terlihat mata. Sebagai gantinya, yang tersaji adalah seperangkat alat band yang serba licin, termasuk sebuah bas betot yang tertidur di lantai dengan sebuah stiker Madonna.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Simak video menarik ini :

The Hyndrant, band rockabilly lagendaris Bali, yang penyanyinya mudah mengingatkan orang pada Elvis Presley, sebentar lagi tampil dengan latar alami rerimbunan pohon pandan di belakang gudang.

Tuan rumah pesta adalah Gary Bencheghib. Dia anak muda berdarah Perancis yang sudah lama menetap di Bali bersama orangtuanya. Di sini, banyak yang mengenalnya sebagai film-maker, aktivis sekaligus "selebritas" lingkungan. Pada 2018 silam, dia pernah diundang untuk bertemu langsung Presiden Joko Widodo lepas memviralkan video gunungan sampah plastik di Sungai Citarum, salah satu sungai terkotor di dunia.

Bersepatu kets putih dan kemeja Hawai biru laut penuh corak, dia membaur di antara tetamu. Tak berapa lama, dia maju ke tengah ruangan, menyapa hadirin. Dengan sebuah mikrofon di tangan, dia memanggil rekan-rekannya relawan Sungai Watch, sore itu tampil kompak berseragam kaos biru laut, untuk tampil bersama di depan.

Ini pesta bersama mereka. Sebuah selebrasi kecil untuk perjuangan organisasi membersihkan perairan sungai di Bali. Ini sekaligus pesta ulang tahun Bencheghib. Hari itu usianya 27 tahun.

Tepat satu tahun sebelumnya, Bencheghib menginisiasi Sungai Watch. Dia mengajak rekan, kenalan, dan sahabat dari berbagai latar dan usia untuk sudi berkotor-kotor, jadi relawan pembersih sungai. Target utama mereka adalah sampah plastik. Ini sebuah prakarsa yang meski sekilas remeh, dengan cepat menjelma menjadi sebuah gerakan lingkungan yang membahana di seantero pulau.

3 dari 5 halaman

Kegiatan Bersih-Bersih Sungai

Sebagai gambaran, awalnya hanya ada 22 orang relawan yang ikut kegiatan bersih-bersih sungai itu. Namun berganti tahun, tercatat ada 525 orang relawan yang aktif mengumpulkan sampah plastik dari sungai, jaringan irigasi, dan pengairan lainnya di Bali.

Dalam sekali kegiatan, biasanya setiap Jumat, kerap hingga 200 orang relawan yang ikut berburu sampah plastik di sungai. Sampah plastik yang mereka kumpulkan kadang mencapai 200 kilogram. Bila banjir, angkanya bisa mencapai satu ton.

Sungai Watch sejatinya berawal dari sebuah persoalan nyata yang seperti tak ada pihak manapun yang punya jalan keluarnya: membanjirnya sampah plastik di perairan Bali. Bila mau jujur, ini sebenarnya cermin persoalan yang lebih besar di level nasional: Indonesia adalah penghasilan sampah plastik terbesar kedua di dunia, setelah China.

Dalam catatan Bank Dunia, sekitar 187 juta orang Indonesia yang tinggal dalam radius 50 kilometer dari pesisir menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik setiap tahunnya. Hampir separuh dari sampah plastik itu berakhir di perairan laut.

Namun di Bali, urusan jadi lebih pelik. Turisme. Botol plastik, saset kemasan, sikat gigi, pempers bayi, dan tak terhitung jenis dan ragam produk lainnya, utamanya yang berbahan plastik, kerap terlihat mengapung di perairan laut, mengayun bersama ombak sebelum akhirnya tersapu ke pantai-pantai ikonik.

Dari penyelidikan sederhana, Bencheghib dan sejumlah rekannya menemukan bahwa 90 persen dari sampah plastik yang berakhir di laut Bali berasal dari sampah yang hanyut dari sungai. Lantaran itulah, Sungai Watch memulai prakarsa sederhana memasang jaring sampah (trash barrier). Selain menahan sampah plastik agar tak hanyut ke laut, jejaring sampah itu memberi waktu bagi relawan untuk menarik sampah yang terlanjur hanyut ke sungai.

Per September silam, Sungai Watch tercatat telah memasang 100 unit jaring sampah di berbagai lokasi aliran air di Bali. Lembaga menargetkan memasang 1.000 unit baru untuk setahun ke depan.

4 dari 5 halaman

Audit Merek Pencemar Sungai

Inisiatif lingkungan Sungai Watch belakangan menggema ke luar Bali. Di Jawa Timur, misalnya, organisasi lingkungan Ecological Observation and Wetlands Conservation bahkan sampai tergerak membuat sebuah Museum Plastik. Museum itu antara lain memajang sebuah karya seni yang tersusun dari 3.500 lebih jenis sampah botol plastik yang mencemari banyak sungai di Jawa Timur.

Namun dibanding Ecoton atau inisitif sejenis dari lembaga lain di Indonesia, Sungai Watch punya keunggulan tersendiri. Ini lantaran alih-alih sekadar menarik sampah dari sungai dan memajangnya, relawan organisasi melangkah lebih jauh: mereka menyortir semua sampah plastik yang terkumpul, mendatanya berdasarkan jenis plastik, kategori produk, merek, dan kondisinya.

Pendek kata, ini brand audit atas sampah perusahaan. Separuh cerita lainnya adalah organisasi mempublikasikan semua temuannya itu secara terbuka.

Laporan bertajuk "River Plastic Report 001" memuat hasil pemeriksaan atas 5,2 juta ton sampah plastik yang terkumpul kurung dua bulan (Agustus-September 2020) bersih-bersih sampah plastik di delapan lokasi, termasuk di seputaran Nyanyi, salah satu sungai paling kotor di Bali.

5 dari 5 halaman

Sampah Plastik yang Ditemukan

Detail laporan penuh data menarik. Laporan misalnya menyebutkan ada 400 merek plastik, terafiliasi pada 100 perusahaan, yang produknya mengotori sungai di Bali. Bentuk sampah korporasi itu disebutkan antara lain berupa botol plastik, sedotan, kantong kresek, kemasan saset, gelas plastik, ban, sendal, kertas dan kartus, styrofoam, dan plastik keras jenis HDPE.

Dari laporan itu setidaknya ada lima perusahaan besar dengan kemasan plastik yang paling banyak mencemari sungai di Bali. Terbanyak, adalah botol air mineral dan gelas plastik minuman kemasan.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.