Sukses

Kisah Julianti, Anak Petani Asal Konawe Utara Peraih 3 Medali Emas Dayung PON Papua

Meskipun latar belakang anak petani yang bekerja di sawah Konawe Utara, Julianti bisa merebut 3 medali emas cabor dayung di PON Papua.

Liputan6.com, Kendari - Pedayung asal Sulawesi Tenggara Julianti (28), menjadi inspirasi bagi 97 atlet Sulawesi Tenggara berlaga di PON Papua 2021. Wanita kelahiran tahun 1993 silam, berhasil menyabet 3 medali emas pada nomor rowing cabang olahraga dayung.

Tak banyak yang tahu, atlet dengan tinggi 179 sentimeter itu, pertama kali ditemukan pelatihnya sekitar 15 tahun lalu. Saat itu, Julianti masih duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Sang pelatih, diketahui bernama M Hadris. Orang yang pertama kali menyeleksi Julianti di sebuah sekolah di pelosok desa di Konawe Utara. Lokasinya, berjarak 140 kilometer dari Kota Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara.

Saat itu, menurut sang pelatih, jalur menuju tempat tinggal Julianti, sangat sukar dilalui kendaraan roda dua. M Hadris, saat dikonfirmasi Liputan6.com menceritakan, pernah nyaris putus asa saat pertama kali disuruh mencari bibit atlet dayung di wilayah Desa Landawe, tempat kelahiran Julianti.

"Kami mencari atlet di desa-desa di Konawe Utara, kami naik motor, bertiga dengan dua rekan lain dari Kendari," kenang M Hadris.

Namun, karena sudah mendapat tugas dari seorang pimpinan bernama Arifin Godo, dia nekat menembus jalur jalan yang rusak dan terjal. Tidak hanya itu, dia mesti melewati hutan berpuluh-puluh kilometer.

"Waktu itu, saya rasakan jalanan rusak sekali, saya sempat janji dalam hati, saya tak mau masuk lagi di wilayah kampung itu kalau jalanan masih begitu modelnya," ujar M Hadris sambil tertawa.

Karena jalur jalan jelek, seorang rekannya sempat mengalami kecelakaan. Karena luka yang dialaminya, rekan M Hadris, memilih menginap di sebuah desa berjarak puluhan kilometer dari tujuan mereka. Tersisa seorang rekannya, M Hadris melanjutkan perjalanan ke Desa Landawe.

Saat mereka mulai di salah satu sekolah untuk menyeleksi, dia kemudian bertemu Julianti. Remaja itu, dianggap layak setelah berdiri paling tinggi diantara seluruh rekan-rekannya di sekolah.

"Kami lalu meminta izin guru, kepala sekolah dan orang tua untuk memboyongnya latihan di Kota Kendari," ujar M Hadris.

Namun, orang tuanya tidak langsung setuju. Ibu Julianti, sempat mengira M Hadris dan seorang rekannya yang berasal dari Dinas Pemuda dan Olahraga Sulawesi Tenggara, sebagai pagere-gere. Sebutan warga lokal kepada orang yang dipercaya berkeliaran sebagai tukang potong kepala.

Istilah ini, kadang digunakan untuk menakut-nakuti anak-anak kecil. Hal ini sempat diutarakan sang Ibu kepada Julianti.

Setelah melalui proses administrasi, Julianti kemudian resmi berlatih di Pusat Pendidikan dan latihan Latihan Pelajar (PPLP) Sulawesi Tenggara. Sejak saat itu, dia memiliki beberapa partner asal Sulawesi tenggara yang mengantarkan dia merebut gelar di level nasional dan internasional.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perjalanan Julianti Menuju Pelatnas

Julianti, merupakan anak petani di Desa Landawe, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara. Dari tujuh bersaudara, hanya dia yang berkiprah di dunia olahraga.

Pertama kali masuk di PPLP, anak keenam dari tujuh bersaudara ini, berusia sekitar umur 13 tahun. Dia masuk melalui tes singkat di kampungnya, lalu berangkat menuju Kota Kendari.

Saat Liputan6.com melakukan wawancara, dia mengaku sebelumnya tidak pernah bercita-cita menjadi pedayung profesional. Saat itu, dia hanya mau belajar dan lulus dengan nilai baik, kemudian membahagiakan orang tuanya.

"Belum pernah berpikir mau kerja apa, masih SMP, sampai saya ditemukan pelatih M hadris dan pak Ahmad, mereka yang datangi saya di sekolah," ujar atlet kelahiran 1993 ini.

Seperti remaja-remaja di kampung lain, dia masih bermain kengkeng dan enggo. Dua jenis permainan tradisional, melompat dalam kotak-kotak yang digambar di tanah dan bersembunyi di semak-semak dari kejaran anak-anak lain.

"Saya hanya bersyukur saat itu, orang tua, apalagi ibu tak menolak. Hanya mereka sempat khawatir, kan saya anak perempuan," kenang Julianti.

Saat sudah berada di PPLP Sulawesi Tenggara, dia mulai aktif ikut kejuaraan lokal dan nasional. Sampai suatu saat, dia mengikuti seleksi pada saat kejuaraan nasional.

Saat itu, pelatih melihatnya potensial dan dia kemudian dipanggil latihan di Pelatnas Dayung, Jatiluhur Jawa Barat.

"Saya masuk pelatnas, dikasih uang sama orang tua sekitar Rp 700 ribu. itu jumlahnya besar untuk orang tua saya," ujarnya.

Saat berangkat di Pelatnas pertama kali tahun 2011, dia juga masih dia pakai uang hasil menabung dari beberapa kejuaraan sebelumnya. Jumlahnya juga tak banyak setelah ditambah uang saku dari orang tua, sekitar Rp1,2 juta.

Beruntung, biaya tiket pesawat menuju pelatnas, ditanggung PB PODSI. Sehingga, dia tak perlu menghabiskan uang pemberian kedua orang tua selama di jalan.

"Itu uang beberapa lama saya tabung di celengan, hahaha," ujarnya.

Rekan Julianti, Nevy Lasmin, mengatakan, Julianti menjadi sosok paling berpengaruh di tim. Meskipun demikian, prestasi mereka tak bisa lepas dari peran keseluruhan anggota lainnya.

"Dia disiplin, bagus bagi kami. Suka mengingatkan kami, namun kami saling mengisi kekurangan dan kelebihan masing-masing selama latihan," ujar Nevy.

Nevy yang pernah turun di PON XIX Jawa Barat menceritakan, sempat takut dengan tim Jawa Barat dan DKI Jakarta. Mereka merupakan, atlet pelatnas yang juga beberapa kali merebut medali emas. Namun, karena ketekunan dan disiplin, mereka bisa unggul dan membalikkan keadaan.

3 dari 3 halaman

Prestasi Julianti di PON dan Asia Tenggara

Julianti, merebut 3 medali emas pada cabor dayung nomor rowing PON Papua 2021. Dia berhasil meraih posisi pertama pada nomor single scull, single skul, 2 min dan 4 min.

pada nomor single scull, Julianti yang turun solo menyingkirkan single skul, Sulawesi sSelatan dan Sumatera Selatan pada posisi kedua dan ketiga.

Medali emas kedua, rowing nomor 2 min, Julianti yang berpasangan dengan Aulia Galib, mengalahkan Jawa barat dan DKI Jakarta di posisi kedua dan ketiga. Aulia Galib, diketahui juga merupakan sepupu Julianti.

Medali emas ketiga, rowing nomor 4 Min, Julianti mengalahkan DKI Jakarta dan Jawa Barat di posisi kedua dan ketiga. Dia berpasangan dengan Aulia Galib, Nevy Lasmin dan Ambarani. Keempatnya, merupakan pedayung lokal Sultra asal Konawe dan Konawe Utara yang pernah ikut mewakili Sulawesi Tenggara di beberapa event nasional.

Dari keseluruhan nomor dayung, Sultra mengikuti belasan nomor rowing, canoeing dan dragon boat. Perolehan emas Sulawesi Tenggara secara keseluruhan yakni sebanyak 5 medali emas, 4 perak dan 4 perunggu.

Kelima medali emas diperoleh dari, 3 emas dari nomor rowing, dua emas dari nomor canoeing putra atas nama Burhan dan putri atas nama Dayumin. Empat medali perak lainnya, diperoleh dari cabor dayung.

Empat medali perunggu, hanya menyisakan 2 cabor lain yang berhasil meraih 2 medali perunggu. Selain itu, semua didapat dari nomor dayung. Kedua cabor yang meraih perunggu yakni, silat dan sepaktakraw.

Sebelum PON Papua, Julianti pernah merebut 1 medali emas dan 1 perak d PON XIX Jawa Barat. Pada PON XVIII Riau, dia merebut 3 Medali emas.

Untuk event asia, pada Asian games 2018 Julianti 2 perunggu. Lalu, merebut medali emas pada SEA Games Filipina 2019. Dia juga bersama rekannya, pernah merebut 1 medali emas dan 1 perak pada Asian Championship Thailand 2019.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.