Sukses

Semangat Paguyuban Sunda Hejo Ciptakan Petani Milenial Melalui Sekolah Alam Reforestasi

Pembentukan sekolah reforestasi berangkat dari keprihatinan komunitas paguyuban Sunda Hejo, seiring semakin berkurangnya generasi petani domestik, terutama di kawasan desa hutan saat ini.

Liputan6.com, Garut - Jika pemerintah pusat tengah menggalakkan petani milenial, maka Paguyuban Sunda Hejo, Garut, Jawa Barat, sudah lebih dulu mulai menghasilkan petani milenial melalui sekolah reforetasi yang selama ini mereka kelola.

"Lusa akan ada wisuda gelombang kedua sekolah reforestasi yang kami kelola," ujar Ketua Paguyuban Sunda Hejo Hamzah Fauzi Nur Amin atau Robet, Senin (27/9/2021).

Menurut Robet, pembentukan sekolah reforestasi berangkat dari keprihatinan komunitas paguyuban Sunda Hejo, seiring semakin berkurangnya generasi petani domestik, terutama di kawasan desa hutan saat ini.

"Kalau regenerasi petani holtikultura agak mendingan (ada, meskipun sedikit), tetapi (regenerasi) petani desa hutan terancam sekali," kata dia.

Selain itu, keberadaan petani muda atau petani milenial penting dalam upaya melestarikan alam sekitar, dari pengelolaan hutan yang serampangan pihak tidak bertanggung jawab.

"Intinya bagaimana mereka memiliki tekad yang kuat memajukan daerahnya, namun tetap melestarikan alam sekitar," kata dia.

Saat ini, para petani di kawan desa hutan, atau kawasan yang memiliki hutan pakuan di bawah naungan Perhutani, terbilang rendah dengan rataan usia di atas 55 tahun.

"Bahkan, tak jarang di usia 60 tahun masih banyak yang ke hutan, sementara generasi mudanya ke mana? Itu hasil observasi kami 2017 lalu," kata dia meradang.

Jika kondisi itu dibiarkan ujar eksportir kopi koperasi Classic Beans itu, pengelolaan hutan termasuk regenerasi petani hutan yang akan melanjutkan, dikhawatirkan semakin berkurang.

"Pengelolaan hutan kita itu tidak selesai dengan Perhutani, dinas kehutanan, atau lembaga negara lainnya, tapi mungkin ada keterlibatan desa masyarakat hutan sekitar," papar dia.

Berangkat dari kekhwatiran itu, Robet kemudian menginisiasi pembentukan sekolah reforestasi dengan merekrut anak dari petani kopi binaannya di beberapa kecamatan di Garut. "Minimal anak-anak ini tidak pergi ke kota dan tetap kelola hutan," kata dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kurikulum Berbasis Alam

Meskipun belum memiliki kurikulum yang ajeg, tetapi pemahaman mengenai kelestarian dan keutuhan alam perlu diberikan bagi calon petani milenial ini, termasuk potensi ekonomi sebagai bekal mereka.

"Kita ajarkan tentang idealisme hutan, bahwa hutan itu sebagai penghasil oksigen, menahan erosi, menahan bencana, tapi kita juga bangun bahwa di hutan itu bisa menghasilkan ekonomi," kata dia.

Dalam praktiknya, seluruh siswa sekolah reforestasi wajib mengikuti pendidikan intensi semacam pelatihan, dengan menitikberatkan pada praktik lapangan, setelah mendapatkan pemahaman teori di dalam kelas.

"Komposisinya 70 persen di lapangan, cukup 30 persen di kelas atau ruangan," kata dia.

Selama mengikuti pendidikan 6 bulan, para siswa berusia 16-35 tahun itu, mendapatkan pemahaman teknis mengenai pengelolaan alam yang baik, pemanfaatan hutan, hingga manajemen hutan yang dipadupadankan dengan sentuhan teknologi informasi saat ini.

"Nah regenerasi ini diharapkan bisa menghasilkan generasi kelompok tani yang lebih handal termasuk IT nya juga," kata dia.

Selain budidaya tanaman dan IT, seluruh peserta bakal mendapatkan pemahaman bahasa asing, adat istiadat, hingga seni budaya daerah dari seluruh mentor yang dihadirkan.

"Ada akademisi, praktisi usaha yang berasal dari pengusaha, pegiat lingkungan serta kesenian untuk membagkitkan kecintaan mereka pada lingkungan,” kata dia.

3 dari 3 halaman

Respon Positif

Robet menyatakan, meskipun sudah dimulai sejak 2017 lalu, tetapi hingga kini baru dua angkatan yang berhasil diwisuda dengan jumlah 30 siswa per angkatan. "Kita atur karena pandemi belum beres," kata dia.

Masih terbatasnya tempat kegiatan, serta ancaman pandemi Covid-19 saat ini, menjadi penghalangnya dalam menerima jumlah siswa para calon petani milenial itu dalam jumlah besar.

"Saat ini, sudah ada yang mendaftar dari kabupaten Bandung, Palu Sulawesi, Bali itu berasal dari komunitas yang punya respek ke kita saja, belum kita buka secara umum," kata dia.

Selain peserta dari petani kopi, rencana ke depannya, ujar dia, siswa sekolah reforestasi calon petani milenial itu dididik untuk menguasai sektor pertanian di luar komoditas kopi.

"Kita tengah berpikir komoditi apa yang bisa masuk selain kopi, pisang kan sekali tanam anakan lagi, terus alpukat, terus kayu endemik seperti rasamala, puspa, manglid, ki hujan, dan lainnya," kata dia.

Dengan upaya itu, salah satu tujuan sekolah reforestasi dalam menjaga kelestarian hutan tetap terjaga, serta ketertarikan petani muda atau petani milenial mengelola hutan semakin besar.

"Kita di wilayah hutan sepakat tidak ada pengolahan tanah secara intensif, artinya hutan tidak bisa masuk tanaman sayuran, karena sayur itu tidak bisa menahan curah hujan tinggi, resapan air, dan segala macam," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.