Sukses

Sudah Zona Oranye, Pemprov Riau Masih Punya PR Turunkan Kasus Kematian Akibat Covid-19

Seluruh daerah di Riau sudah berada di zona oranye tapi yang menjadi catatan untuk pekerjaan rumah adalah tingginya angka kematian.

Liputan6.com, Pekanbaru - Riau saat ini diklaim sudah melewati gelombang kedua Covid-19. Dalam dua pekan terakhir angka konfirmasi harian menurun drastis, per 5 September lalu kasus baru ada 185 warga terinfeksi Covid-19.

Angka itu berbeda jauh pada pertengahan Juli hingga beberapa pekan awal Agustus karena kasus terkonfirmasi Covid-19 pernah mencapai di atas dua ribu. Riau saat itu juga selalu berada di atas seribu kasus baru.

Menurunnya angka harian ini membuat Satgas Covid-19 di Riau optimistis PPKM Level 4 Pekanbaru tidak diperpanjang lagi. Hanya saja, Riau belum sepenuhnya bernapas lega karena angka kematian akibat virus corona masih tertinggi.

Juru bicara Satgas Covid-19 di Riau, dr Indra Yovi, ada lima kabupaten dengan angka kematiannya sangat tinggi, bahkan mencapai presentase nasional. Lima daerah itu adalah Rokan Hulu, Pelalawan, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Kota Pekanbaru.

"Rohul itu angka kematiannya 5,9 persen, artinya dari 100 pasien Covid-19, enam di antaranya meninggal dunia," kata Yovi, Senin siang, 6 September 2021.

Untuk Kabupaten Pelalawan angka kematiannya 5,1 persen, Bengkalis 4,32 persen, Kampar 4,3 persen, Rokan Hilir 4,05 persen dan Kota Pekanbaru 2 persen.

Yovi menyebut keadaan ini menjadi pekerjaan rumah bagi kabupaten tersebut, khususnya Rokan Hulu. Satgas Covid-19 di sana diminta melakukan pemetaan, apa masalahnya sehingga angka kematian tinggi.

"Apa karena warga tidak mau ke rumah sakit, dan hanya melakukan isolasi mandiri, ini Rohul dan daerah lainnya akan disupervisi oleh provinsi," ucap Yovi.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Takut ke Rumah Sakit

Sejauh ini, tingginya angka kematian di Riau karena masih ada warga yang menolak ke rumah sakit. Mereka tetap yakin dengan isolasi mandiri sehingga terjadi perburukan gejala.

Keengganan ini disebabkan beberapa faktor. Di antaranya sering termakan isu hoaks soal rumah sakit meng-covid-kan pasien hingga soal penjagaan ketika anggota keluarga dirawat di rumah sakit.

"Nanti kalau ke rumah sakit, siapa yang jaga, ditinggal sendiri, itu pemikiran yang banyak terjadi," sebut Yovi.

Di sisi lain, warga juga takut ke rumah sakit karena persoalan pembiayaan. Padahal, negara sudah menyatakan warga terkonfirmasi Covid-19 tidak dipungut biaya sepersen pun.

"Kalau ada hasil swab, itu rumah sakit tidak bayar, sudah ada SK terkait kerja sama rumah sakit rujukan," kata Yovi.

Yovi juga menegaskan, pasien di atas 60 tahun wajib dirawat di rumah sakit meskipun tidak ada gejala. Pasalnya, dalam beberapa kejadian ada perburukan kondisi pada warga berumur lanjut usia.

"Yang tidak wajib itu adalah orang muda tanpa gejala, ini harus isolasi mandiri di fasilitas pemerintah, sebaiknya jangan di rumah," tegas Yovi.

Jika tetap memaksa isolasi mandiri di rumah, warga terkonfirmasi harus mengetahui gejala perburukan. Di antaranya sakit kepala terus menerus, demam tinggi, dan mulai sesak nafas.

"Ini segera dibawa ke rumah sakit, jangan lagi ke isolasi fasilitas pemerintah," tegas Yovi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.