Sukses

Jumat Kelabu di Jalan Daud Beureueh

Asrama Dewan Revolusi turut mewarnai perjalanan sejarah perdamaian di Aceh sebelum deklarasi Hasan Tiro. Kini, rumah pemberian negara kepada sejumlah eks pejabat Darul Islam itu berada di ujung tanduk, simak ulasannya:

Liputan6.com, Aceh Jumat pagi, 28 Agustus 2020, Reki Feriyanto kedapatan sedang celingukan bersama beberapa stafnya di kawasan perumahan yang selama ini dikenal sebagai Asrama Dewan Revolusi. Perumahan mini ini berdampingan dengan asrama Pusat Perhubungan Angkatan Darat (Pushubad) Lampriet, Kota Banda Aceh. Kedatangan Reki waktu itu dilihat oleh seorang pedagang yang berjualan di seberang asrama.

Hari itu, terhitung dua bulan lebih Kolonel Cpl. Pamen Mabes TNI AD tersebut menjabat sebagai Asisten Logistik Kodam Iskandar Muda, yang sebelumnya menjabat posisi sama di Danpaspamres. Reki resmi menjabat Aslog Kodam IM dalam upacara sertijab yang dipimpin langsung oleh Kodam IM, Mayjen TNI Hassanudin, pada 20 Juni 2020. Kedatangan Reki ke Asrama Dewan Revolusi belakangan berlanjut dengan pencatatan data keluarga para penghuni tempat itu oleh seorang anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) bernama Tomy pada Minggu, 30 Agustus 2020.

Warga sangsi dengan maksud dan tujuan di balik pengumpulan data-data tersebut. Tomy mengaku bahwa dirinya hanya menjalankan perintah dari atasan, alias Reki. Belakangan, barulah diketahui bahwa data-data tersebut dipergunakan sebagai lampiran nama-nama penghuni yang harus mengosongkan serta meninggalkan tempat tersebut.

Dalih aset TNI AD bermuara aksi penyegelan terhadap sembilan rumah termasuk di dalamnya tempat usaha melibatkan sejumlah aparat berseragam militer pada Jumat pagi, 9 April 2021. Pantauan Liputan6.com, salah satu pintu rumah warga ditempeli pemberitahuan "Dilarang berjualan di atas Tanah TNI AD cq Kodam IM". Tindakan ini diambil bersamaan dengan munculnya surat peringatan bernomor B/763/IV/2021 tanggal 5 April berkop Kodam IM.

Di dalam surat, dasar klaim penyegelan berupa Permen Pertahanan RI Nomor 13 tahun 2018 tentang Pembinaan Rumah Negara di Lingkungan Kemhan dan TNI; Surat Telegram Kasad nomor ST/470/2021 tanggal 25 Februari 2021 tentang tertib penggunaan aset BMN berupa Rumdis TNI/AD; Surat Telegram Pangdam IM nomor ST/268/2021 tanggal 2 Maret 2021 tentang tertib penggunaan aset BMN berupa Rumdis TNI/AD, dan pertimbangan Komando dan Staf Kodam IM. Alas pengakuan bahwa tanah tersebut masuk ke dalam aset TNI AD berupa sertifikat hak pakai nomor 01.01.01.02.4.02004.

Oleh Reki, inilah yang kemudian menjadi dasar hukum bahwa tempat tersebut tidak pantas disebut milik Asrama Dewan Revolusi. Di mata Reki, keluarga yang menempati tanah itu hanya menumpang tinggal. Pada masanya, TNI AD berhak mengambil alih kembali tanah tersebut untuk kebutuhan dinas ketentaraan.

"Itu asrama TNI AD, bukan Asrama Dewan Revolusi," tegas Reki, melalui sambungan telepon, Jumat (09/04/2021).

Di dalam surat tersebut juga terdapat ultimatum bahwa penghuni harus mengosongkan atau meninggalkan serta menyerahkan rumah tersebut kepada Kodam IM. Tenggat waktu yang diberi paling lambat 14 hari setelah surat dilayangkan. Apabila tidak dilakukan, maka akan ditindaklanjuti dengan penertiban secara "dinas", sesuai aturan atau ketentuan yang berlaku.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Cikal Bakal Damai Aceh

Asrama Dewan Revolusi turut mewarnai perjalanan sejarah perdamaian di Aceh sebelum deklarasi "Aceh Merdeka" oleh Hasan Tiro. Dalam Ali Hasjmy: Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957—1959, Khairul Ummami mengutip beberapa narasi yang menceritakan bahwa imbas friksi yang terjadi di dalam tubuh Darul Islam, telah melahirkan kubu dipimpin oleh Hasan Saleh bernama Dewan Revolusi pada 15 Maret 1959. Kolonel Tentara Islam Indonesia (TII) selaku Menteri urusan peperangan Negara Bagian Aceh (NBA)/NII itu mengambil alih kekuasaan Teungku M. Daud Beureueh serta berpihak kepada pemerintah daerah pimpinan Ali Hasjmy.

Kemelut yang terjadi di tubuh Darul Islam telah mendorong kesepakatan damai yang lebih serius dengan Pemerintah Indonesia di kemudian hari. Asrama Dewan Revolusi di Dusun Gurita, Gampong Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, merupakan salah satu langkah negara yang hendak menunjukkan apresiasi berupa pembangunan fasilitas tempat tinggal kepada sejumlah eks-pejabat Darul Islam, terkhusus untuk Tengku M. Daud Beureueh. Namun, tokoh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) itu menolak untuk tinggal—saat dikunjungi, rumah yang diperuntukan kepadanya telah disegel dengan garis polisi bertuliskan polisi militer.

"Seharusnya, kalau bapaknya pensiun, dia harus pindah, dong, karena ada prajurit yang akan menempati. Kita sudah kasih toleransi sampai bapaknya meninggal, ibunya meninggal. Prujurit kita, banyak yang mengontrak di luar," ujar Reki.

Argumen rumah dinas purnawiran TNI seperti penjelasan Reki otomatis akan menganulir status hak huni Asrama Dewan Revolusi. Dalam Permen Pertahanan Nomor 39 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan Rumah Negara di Lingkungan Departemen Pertahanan dan TNI mengatur bahwa anak purnawirawan tidak berhak tinggal di rumah dinas yang pernah ditinggali orang tuanya.

Sedangkan untuk Asrama Dewan Revolusi, bagi Koordinator YLBHI Banda Aceh, Syahrul, harus dicatat sebagai kasus yang berbeda dengan berdiri di atas proposisi bahwa itu adalah 'hadiah' juga kompensasi dari negara untuk mantan eks pejabat Darul Islam, yang saat ini hanya dihuni segelintir keluarga serta kerabat-kerabat dekat yang berasal dari keturunan generasi kedua.

"Penggusuran itu sendiri tidak boleh dilakukan sepihak. Meskipun orang memiliki alas hak, jika ingin menggusur harus ada penetapan pengadilan, baik itu instansi negara maupun tidak. Ada tim sendiri, itu ditunjuk oleh pengadilan, biasanya jaksa kemudian bisa meminta bantuan polisi sebagai aparat pengamanan bukan TNI juga," Syahrul menerangkan, diwawancarai pada Jumat malam di kantornya.

Berdasarkan riwayat penguasaan tanah dan bangunan tersebut, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa objek yang hendak diambil alih itu merupakan asrama TNI karena bukan hasil pemberian TNI AD. Penyebutan Asrama Dewan Revolusi pun seharusnya menjadi tolok ukur bahwa ia berbeda dari asrama tentara kebanyakan tetapi merupakan fasilitas cuma-cuma pemberian negara sebagai wujud rasa terima kasih kepada eks-pejabat Darul Islam yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tahun terbit sertifikat hak pakai yang diandal-andalkan oleh Kodam IM pun dengan sendirinya telah absurd apabila mengacu kepada riwayat penguasaan tanah dan bangunan Asrama Dewan Revolusi.

"Jika dilihat hak pakai, itu hak pakai tahun berapa terbitnya? Duluan mana, penguasaan antara masyarakat dengan hak pakai? Jika kemudian hak pakainya itu terbit setelah penguasaan masyarakat, timbul tanda tanya, kok bisa, negara, melalui aparatnya itu merampas hak warga negara?" cetus dia.

Di samping itu, fakta bahwa penghuni Asrama Dewan Revolusi memiliki sporadik, membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atas nama pribadi tidak ditanggung dinas ketentaraan seperti lazimnya rumah dinas dapat membatalkan argumen bahwa itu adalah rumah dinas TNI AD. Pelunasan kewajiban-kewajiban seperti itu sudah berlangsung cukup lama sebelum wacana pengambialihan muncul. Segala dokumen mengenai hal ini dilampirkan di dalam laporan warga.

Di sisi lain, upaya perampasan bertopeng ambil alih aset berseberangan dengan hak warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Pun keinginan besar untuk mendapatkan tanah Asrama Dewan Revolusi di kemudian hari akan mencacatkan prestasi sejarah perdamaian di era Darul Islam. Syahrul waswas, negara sedang menjilat ludahnya sendiri.

3 dari 3 halaman

Komnas HAM yang Dingin

Syahrul turut menyinggung penguasaan teritorial kawasan kota oleh militer. Yang mesti diperluas sepatutnya wilayah-wilayah perbatasan karena sudah tugas utama militer sebuah negara untuk memblokade potensi serangan musuh di perbatasan bukan malah merangsek masuk ke pusat kota. Ini hanya berbuah sengketa tak berimbang, ketika teritorial-teritorial militer mulai merambah ke lahan tempatan masyarakat biasa.

Rongrongan untuk meninggalkan Asrama Dewan Revolusi sudah dilakukan jauh sebelum peristiwa 'Jumat kelabu' (baca: penyegelan) terjadi. Dimulai 2016, sejak 14 September 2020 intensitas kedatangan tentara mulai meningkat hampir dua kali dalam seminggu. Mereka datang dengan tekanan.

Pengakuan warga, muncul tekanan agar tidak melepas garis polisi yang sekarang dipasang jika tidak ingin berhadapan dengan hukum. Juga akan didirikan pos pengawasan untuk memantau aktivitas warga jika mereka ngotot beraktivitas di dalam bangunan, terutama tempat usaha, yang telah disegel. Sejak Jumat, 9 April 2021, usaha kecil-kecilan milik warga beku sama sekali.

Dari sembilan Kepala Keluarga (KK), terdapat enam tempat usaha. Rata-rata usaha makanan dan minuman, juga satu usaha servis komputer. Mas Intan, ibu yang membuka usaha kuliner bersama suami demi menghidupi tiga orang anak terpaksa menutup warung jauh sebelum penyegelan terjadi. Ia merasa riskan dengan kedatangan aparat yang semakin sering belakangan ini.

Reki bahkan pernah menyambangi kediamannya dengan niat sama. Rabu, 9 September 2020 Reki mengundang 6 orang warga untuk berunding. Saat itu muncul tawaran bahwa warga akan difasilitasi supaya mudah mendapat bantuan termasuk tawaran akan diberi uang sebanyak Rp10 juta yang diambil dari kantong pribadi, syaratnya, mereka harus hengkang dari tempat itu.

Untuk mengakali kondisi ekonomi yang kian menurun, Mas mesti berjualan secara daring dengan cara memanfaatkan kepercayaan sejumlah pelanggan tetap. Hasilnya sudah tentu tak sebanding dengan penghasilan dari usaha warung yang biasa. Ia merasa terjepit di antara kekhawatiran, rasa putus asa, dan bayang-bayang dari peliknya hidup ke depan.

"Apalagi bulan suci tinggal menghitung hari. Saya yang sedihnya saat memikir nasib anak-anak," ucap perempuan yang mengaku sudah menghuni rumah di Asrama Dewan Revolusi selama 50 tahun lebih itu, di kantor YLBHI-LBH Banda Aceh, Jumat sore.

Di dalam surat peringatan tersebut, terdapat tujuh nama penghuni yang diminta segera meninggalkan rumah mereka. Di atas daftar tertulis bahwa ketujuh nama tersebut merupakan penghuni rumah dinas dan bangunan liar. Jika dihitung, setidaknya akan ada 50 jiwa yang akan terdampak, belum lagi dihitung berbagai dimensi dampak yang akan mengikutinya ketika rencana TNI berhasil terlaksana.

Berselang sekitar dua jam setelah pemasangan garis polisi. Sejumlah warga didampingi awak LBH Banda Aceh memutuskan untuk mengadukan hal ini kepada Komnas HAM Perwakilan Aceh. Permintaan agar komisi tersebut menurunkan tim ke lokasi di hari itu untuk melakukan tindakan preventif tidak diiyakan dengan alasan kasus tersebut perlu dipelajari. Salah satu yang menjadi alasan dari kuasa hukum penghuni Asrama Dewan Revolusi itu karena saat ini mereka tengah mengupayakan sertifikasi tanah ke BPN agar tidak ada tumpang tindih kepemilikan di kemudian hari.

"Kita berharap, Komnas HAM tidak hanya menjadi lembaga administratif. Ada kondisi-kondisi mendesak yang harus diambil alih oleh lembaga itu. Jika kemudian Komnas HAM baru turun setelah penggusuran, maka sudah tidak ada guna Komnas HAM. Jika peran ini tidak diambil, maka tidak ada bedanya dengan masa sebelum ada Komnas HAM," ucap Syahrul.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.