Sukses

Komentar Pakar Lingkungan Hidup soal Polemik Eksekusi Lahan Desa Gondai

Pakar lingkungan hidup menyebut polemik eksekusi lahan di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, membutuhkan campur tangan Presiden Joko Widodo. Begitu berat kah?

Liputan6.com, Pekanbaru - Persoalan kebun sawit Desa Gondai seolah tak berujung meski Mahkamah Agung memutuskan surat perintah tugas eksekusi tidak sah. Kejaksaan Negeri Kabupaten Pelalawan masih melanjutkan menumbangkan sawit masyarakat yang bermitra dengan PT PSJ dengan alasan perkara pidana.

Hingga kini sudah ada 2.000 hektare kebun sawit ditumbangkan dari target 3.323 hektare. Sawit itu diganti dengan bibit akasia dengan alasan putusan pidana yang diterima Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau itu ada Cq PT NWR sebagai perusahaan hutan tanaman industri.

Sudah banyak pengamat hukum serta pakar lingkungan memberi masukan terkait persoalan eksekusi lahan ini. Termasuk Pakar Lingkungan Hidup dari Universitas Riau, Dr Hengky yang meminta negara harus hadir menengahi persoalan lahan tersebut.

"Jika penetapan kawasan hutan itu dilakukan setelah masyarakat membuka lahan dan bercocok tanam menghasilkan, maka negara dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus hadir," kata Hengky, Senin petang, 22 Maret 2021.

Menurut Hengky, Menteri LHK Siti Nurbaya harus hadir terkait kawasan hutan. Apalagi ribuan hektare sawit itu ada proses peralihan dari kawasan non hutan menjadi hutan dengan putusan pidana itu.

"Jika perlu Presiden Joko Widodo juga ikut campur," kata Hengky.

Hengky mengatakan, persoalan ini pada tahun lalu pernah disorot Presiden Joko Widodo. Bahkan, Presiden menyatakan akan mengirim tim guna menyelesaikan permasalahan di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan.

"Pernyataan itukan bukti bahwa Presiden sudah bersikap. Menurut saya negara harus koreksi kembali apakah benar itu kawasan hutan atau bagaimana, negara harus duduk kembali bersama masyarakat, perusahaan, tokoh masyarakat hingga aparat setempat," terang Hengky.

Hengky mengatakan, keterlibatan negara di sana juga berdasarkan keluarnya surat keterangan ganti rugi (SKGR) oleh pemerintah desa. Hengky menilai keluarnya SKGR adalah bukti bahwa lahan tersebut diakui negara.

"Jika ada SKGR, berarti ada alas kepemilikan, terlebih lagi jika ada jual beli misalnya, berartikan ada kerugian yang dimunculkan di sana, jika memang demikian negara memang harus turut andil disitu," kata Hengky.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pertanyakan Tupoksi

Pendapat serupa juga pernah disampaikan Pakar Lingkungan Hidup lainnya, Dr Elviriadi. Dia menyebut negara wajib hadir karena persoalan kawasan hutan merupakan tugas pokok dan fungsi KLHK.

"Bukan Dinas LHK yang ke sana karena tupoksinya adalah persoalan non hutan, sementara sawit dalam permasalahan ini ada di kawasan hutan," kata Elviriadi.

"Saya enggak tahu kok bisa DLHK dilibatkan dalam eksekusi mewakili negara, harapannya Bupati Pelalawan terpilih mengusulkan ke KLHK untuk mengeluarkan lahan itu dari status hutan atau dikonversi ke perhutanan sosial atau areal peruntukan lain sehingga tidak ada yang menjadi korban," paparnya.

Sementara terkait keabsahan lahan tersebut, Elviriadi menilai ada dualisme bernegara terjadi di wilayah tersebut. Menurutnya, jika aparatur negara baik camat, kepala desa, telah mengeluarkan SKGR maka lahan tersebut sah milik warga (petani).

Dia menyatakan SKGR diakui sehingga negara harus mempertimbangkan dengan bijaksana. Terlebih lagi kebun sawit itu sudah menjadi tulang punggung masyarakat.

"Kecuali kondisinya lahan baru dibuka, sawit baru ditanam dan belum berbuah bisa lah dilakukan eksekusi," terangnya.

Sebagai informasi, eksekusi kebun sawit masyarakat mitra PT PSJ masih berlangsung meskipun ada putusan MA menyatakan surat perintah tugas eksekusi tidak sah. Memang putusan ini baru keluar setelah setahun eksekusi dilakukan Kejari Pelalawan dan DLHK berdasarkan putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Eksekusi ini sering mendapat perlawanan dari masyarakat dan tak jarang berujung bentrok. Sejumlah kelompok tani di sana berusaha mempertahankan mata pencarian mereka sejak dulu sebelum ada putusan pidana itu.

Beberapa warga bahkan menjadi penghuni jeruji besi karena dituduh provokator oleh aparat. Petugas berdalih penangkapan untuk mengamankan jalannya eksekusi oleh Kejari Pelalawan dan DLHK.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.