Sukses

Nasib Situs Bersejarah di Aceh dalam Desakan Pembangunan Proyek Nasional

Proyek pembangunan di Aceh mengancam keberadaan situs sejarah masa lalu. Simak beritanya:

Liputan6.com, Aceh - Lembaga pemerhati sejarah di Aceh mengklaim terdapat dua proyek nasional yang saat ini sedang mengancam keberadaan situs bersejarah di provinsi tersebut. Lembaga itu berharap pemerintah pusat segera melakukan aksi penyelamatan dini agar situs-situs tersebut tidak musnah tergerus pembangunan.

Situs pertama yang terancam berada di dalam kawasan proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Tempat itu mereka sebut sebagai area pemakaman raja-raja dan ulama yang masuk ke dalam kompleks istana Darul Makmur Farusah Pindi atau Pande.

Proyek senilai Rp107 miliar dari APBN itu sudah berjalan sejak 2015 dengan lokasi di dalam kompleks Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gampong Jawa yang memiliki luas sekitar 1 hektare. Pemerhati sejarah dan masyarakat mulai bereaksi keras ketika mengetahui adanya proyek pembangunan yang mereka takutkan akan menggerus keberadaan situs penting tersebut.

"Peusaba (Peubedoh Sejarah, Adat dan Budaya Aceh) memiliki sumber sejarah tentang Istana Darul Makmur Farusah Pindi sebagai titik nol Kesultanan Aceh Darussalam, dan juga banyak data lainnya," ujar Ketua Peusaba, Mawardi Utsman, dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com, Kamis sore (25/2/2021).

Menurut Utsman, sejak awal pembangunan IPAL tersebut telah melanggar aturan perundang-undangan karena secara langsung akan merusak lanskap bandar Aceh Darussalam. Ia berpatokan pada pasal di dalam UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyatakan adanya tanggung jawab untuk melindungi tempat-tempat bersejarah.

Belakangan, berbagai penolakan yang muncul telah menyebabkan pengerjaan proyek tersebut berhenti pada 2017, tetapi, itu hanya untuk sementara waktu saja. Utsman mengaku bahwa ada bocoran mengenai lanjutan pembangunan IPAL tersebut yang ia temukan di dalam surat Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman kepada kementerian.

Berbanding terbalik dengan pendapat Utsman, di dalam surat tersebut terdapat poin yang menyatakan bahwa lokasi pembangunan IPAL tadi bukanlah pemakaman raja-raja atau keluarga mereka, tetapi penduduk setempat. Terdapat pula catatan bahwa pembangunan IPAL tersebut sudah lewat setengah jalan alias 70 persen sehingga kementerian dapat kembali melanjutkan, apalagi, belum ada status cagar budaya di tempat itu.

Soal pernyataan bahwa lokasi pembangunan IPAL tersebut bukan merupakan kompleks pemakaman raja-raja atau keluarganya, Utsman menjawab bahwa pihaknya memiliki pakar berskala internasional yang siap membuktikan dengan para arkeolog yang telah mengeluarkan pernyataan tersebut.

Tukasan arkeolog yang secara tidak langsung mendukung proyek pembangunan IPAL tersebut menurutnya sangat tidak bertanggung jawab, tendensius, serta sarat dengan kepentingan.

Ini berbeda dengan penelitian yang pihaknya lakukan, imbuh Utsman, yang merujuk kepada akurasi data termasuk memanfaatkan teknologi modern seperti georadar. Ahli-ahli inilah yang menurut Utsman merupakan barisan pakar independen yang tidak sekadar melakukan riset demi nafsu keberlangsungan proyek seperti permintaan wali kota di dalam surat resminya kepada kementerian.

"Makam raja batu berukir sedangkan makam rakyat menggunakan batu air atau sungai. Sedangkan, sejarawan seharga 75 sen itu menganggap batu berukir maupun tidak berukir sebagai makam rakyat biasa atau pemakaman umum asalkan proyek dapat berjalan. Mereka yang bahkan tidak dapat membedakan mana nisan kepala mana nisan kaki, malah membuat kedustaaan agar dapat dilanjutkan proyek. Kelak mereka semua akan dibalas oleh Allah," sinisnya.

Situs selanjutnya ialah kompleks pemakaman yang menurut Utsman juga bagian dari lanskap kerajaan Aceh. Kompleks pemakaman tersebut mulai muncul seiring proyek pembangunan gerbang tol Baitussalam yang berada di Gampong Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, beberapa waktu lalu.

Setidaknya, ada 5 kelompok makam yang tersebar di beberapa titik koordinat yang berpotensi terkena imbas perluasan proyek tol tersebut. Berdasarkan atribut dan tipenya, nisan-nisan berkemungkinan besar berasal dari era kerajaan Aceh Darussalam pada abad 17 sampai 18 masehi.

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.