Sukses

Gempita Hari Jadi Jambi Selubungi Ironi Tutupan Hutan Kini

Provinsi Jambi menginjak usia 64 tahun. Namun, pada usianya yang matang ini, berbagai persoalan masih dihadapi Jambi, salah satunya persoalan lingkungan hidup dan bencana ekologi.

Liputan6.com, Jambi - Suara pidato Gubernur Jambi Fachrori Umar lamat-lamat terdengar dari pelantang suara yang dipasang di setiap sudut Gedung DPRD Provinsi Jambi. Rabu (6/1/2021), di gedung wakil rakyat itu sedang dihelat sidang paripurna istiimewa untuk memperingati hari jadi Provinsi Jambi.

Para pejabat penting dari seluruh daerah kabupaten/kota di Jambi datang berkumpul menghadiri helatan itu. Hadirin yang berada di dalam ruangan sidang atau pun di luar sidang, seksama mendengarkan pidato dari sang pemimpin Jambi.

Pada tahun 2021, provinsi yang berada di daerah tengah Pulau Sumatra genap berusia 64 tahun. Dalam usia yang sudah cukup tua dan matang itu, berbagai persoalan masih dihadapi Jambi, khususnya mengenai persoalan lingkungan hidup.

Dalam sambutan Gubernur Jambi Fachrori Umar di helatan sidang paripurna istimewa, melulu bicara soal keberhasilan Jambi dalam kepemimpinannya. Ia lebih banyak menyampaikan indeks pembangunan manusia, pembangunan energi kelistrikan sampai berbagai macam penghargaan yang diraih.

Pidato dari sang Gubernur Jambi itu tak menyinggung persoalan lingkungan, ekologi, dan kebakaran hutan yang mengakibatkan kabut asap. Padahal, persoalan lingkungan ini penting untuk hajat hidup penduduk Jambi yang tercatat berjumlah 3,64 juta jiwa.

Pada salinan pidato setebal 21 halaman yang dirilis di WhatsApp Group Humas Pemprov Jambi itu, hanya satu paragraf Fachrori menyinggung persoalan lingkungan. Dia mengatakan, secara umum indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) di Provinsi Jambi mengalami perbaikan dari 66,32 menjadi 68,06 atau hanya naik sebesar 1,74 poin seperti yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 30 Desember 2020 lalu.

Peningkatan IKLH Provinsi Jambi Fachrori bilang, didukung oleh perbaikan indeks kualitas tutupan lahan yang cukup signifikan, sehingga mampu menutupi penurunan indeks kualitas air dan indeks kualitas udara.

"Ke depan kita harus memperhatikan upaya perbaikan terhadap kualitas air dan udara tersebut agar tidak terus menurun," kata Fachrori.

Yang dibilang Fachrori adalah indeks kualitas tutupan lahan, bukan tutupan hutan. Karena memang seyogyanya tutupan hutan sedang kondisi yang mengkhawatirkan. Persoalan lingkungan hidup ini jika tidak segera diatasi akan menjadi bencana ekologi yang akan dihadapi dan bahkan dapat diwariskan bagi generasi ke depan.

Simak Video Pilihan Berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hutan Jambi Tinggal 800 Ribu Hektare

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menyatakan, tahun 2020 masih menjadi tahun yang berat bagi lingkungan di Jambi. Tutupan hutan yang seharusnya bisa sebagai penyeimbang ekosistem masih mengalami degradasi.

Dari analisis citra satelit lansat TM 8 yang dilakukan tim Geographic Information System (GIS) KKI Warsi, tutupan hutan Jambi tinggal 882.272 hektare. Tutupan hutan Jambi setiap tahun semakin menyusut.

"Ini menunjukkan hutan Jambi sudah sangat sedikit, sehingga yang tersisa hanyalah nyaris di kawasan konservasi dan lindung," kata Direktur KKI Warsi Rudi Syaf, dalam catatan akhir tahun yang dirilis akhir tahun 2020.

Kehilangan tutupan hutan di Jambi, menurut dia, terjadi setiap tahun. Hal itu disebabkan oleh peningkatan laju illegal logging dan penambangan emas ilegal atau tambang Emas Tanpa Izin (PETI) yang sudah makin jauh masuk ke dalam hutan.

Pengamatan Warsi, kayu-kayu ilegal yang beredar di Jambi mencapai 102.521 kubik atau senilai Rp307 miliar dengan asumsi nilai per kubik kayu adalah Rp3 juta.

Selain kayu ilegal, kerusakan hutan juga disebabkan oleh tambang emas ilegal yang masuk ke dalam hutan. Sepanjang 2020 penambangan emas ilegal di Jambi sudah mencapai 39.557 hektare yang mencakup Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo, Tebo dan sebagian kecil di Kerinci.

"Tambang emas ilegal masih saja terjadi, bahkan temuan terbaru mereka semakin garang," kata Rudi.

Kehilangan hutan dan kerusakan ekosistem sudah menyebabkan Jambi sangat rawan dengan bencana ekologi. Sepanjang 2020 dengan fenomena La Nina, curah hujan lebih banyak 20-40 persen.

Kondisi ini menyebabkan banjir terjadi di banyak tempat. Dari Catatan Warsi terdapat 11.144 rumah terendam banjir tersebar dari dari Kerinci sampai ke Kota Jambi pada tahun 2020. Dengan kondisi ini mengisyaratkan perhatian dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan mutlak untuk segera dilakukan.

"Perbaikan tata kelola kehutanan dan akses masyarakat mengelola hutan dan lahan menjadi sangat penting," kata Rudi Syaf.

3 dari 3 halaman

Bencana Ekologi Tiada Henti

Bencana ekologi dampak pengelolaan sumber daya alam secara serampangan di Jambi telah memasuki tahap mengkhawatirkan. Seperti bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan selalu datang saat musim kemarau.

Akibat kabut asap itu ratusan ribu penduduk Jambi harus menghirup udara kotor. Selain itu, aktivitas sekolah terpaksa diliburkan, penerbangan terhenti, dan roda perekonomian terganggu.

Begitu pula saat musim penghujan datang. Tak sedikit wilayah yang terdampak banjir dan memaksa warga untuk mengungsi. Bahkan banjir telah beberapa kali terjadi di wilayah dataran tinggi, seperti Kota Sungaipenuh dan Kabupaten Kerinci.

Memasuki tahun baru 2021, sejumlah wilayah kelurahan Kota Jambi terendam banjir. Berdasarkan data yang dihimpun, sekitar 3.000 lebih kepala keluarga terdampak korban banjir. Jumlah ini tersebar di 22 kelurahan dalam Kota Jambi.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Rudiansyah, mengatakan perubahan cuaca hanya menjadi pemicu terjadinya bencana ekologi.

Menurut dia, penyebab utama bencana ekologi itu adalah kerusakan lingkungan yang semakin masif, seperti deforestasi, dan aktivitas konglomerasi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan.

Rudiansyah menilai selama ini pemerintah di Jambi belum secara utuh memahami konteks perubahan iklim. Penerjemahan perubahan iklim, kata dia, berawal dari masifnya proses pembangunan industri atau perubahan fungsi alam menjadi industri, baik industri perkebunan, hutan tanaman industri (HTI) dan sektor properti.

"Sebenarnya akar masalahnya yang salah urus, yakni tidak terkendalinya proses pembangunan. Aktivitas ilegal yang masif, ditambah tidak ada prinsip kehati-hatian dalam memberikan izin, sehingga terjadi kerusakan lingkungan, dan itu semakin memicu terjadinya perubahan iklim," kata Rudiansyah kepada Liputan6.com dalam kesempatan sebelumnya.

Hasil kajian Walhi Jambi, pada bagian hulu dan tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, ditemukan aktivitas ilegal logging, konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, pertambangan emas, pasir dan batu ilegal, pembangkit listrik tenaga mini yang bersumber dari aliran sungai serta izin tambang biji besi.

Kondisi ini memberikan gambaran DAS Batanghari yang mencakup wilayah Provinsi Sumatra Barat dan Jambi dalam kondisi terancam. Situasi ini tentu akan berdampak buruk terhadap kondisi bentang alam dan kehidupan penduduk.

Sungai Batanghari yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatra dan menjadi urat nadi masyarakat, kondisinya memprihatinkan. Dari hulu sampai hilir di pesisir timur Sumatra, kondisi air Batanghari keruh dan tercemar limbah.

Langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini, menurut Rudiansyah, pemerintah harus berani mengevaluasi dan menghentikan perizinan industri yang tidak mengindahkan aspek keberlanjutan lingkungan hidup.

Selain itu, diperlukan kesungguhan dan ketegasan pemerintah dalam menegakan regulasi yang ada. Permasalahan lingkungan hidup merupakan hal yang nyata, sehingga penanganan dan pencegahannya pun harus dengan aksi nyata.

Pemerintah, sebut Rudiansyah, harus berani meninjau kembali kebijakan yang dalam payung besarnya harus memperhatikan aspek lingkungan, di antaranya seperti penguasaan izin, baik itu izin yang legal dan ilegal. Ini menjadi cara yang efektif untuk pencegahan bencana ekologi.

"Kemudian harus ada eksekusi penegakan hukum, kalau memang ilegal ya harus berani mencabut izinnya. Tapi yang kita lihat selama ini upaya penegakan hukum tidak terkutur sampai ke akar persoalan," kata Rudiansyah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.