Sukses

Omnibus Law Berpotensi Ancam Hajat Hidup Suku Kubu di Perbatasan Sumsel

UU Omnibus Law ternyata mengancam hajat hidup para suku kubu di perbatasan Sumsel-Jambi, salah satunya pembukaan jalan untuk transportasi angkutan tambang batubara.

Liputan6.com, Palembang - Disahkannya Undang-Undang (UU) Omnibus Law oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), turut membawa dampak buruk ke masyarakat adat di Sumatera Selatan (Sumsel), yaitu Suku Kubu atau sering disebut Suku Anak Dalam (SAD).

Seperti di perubahan Pasal 19 ayat 1 UU 41/1999 yang dalam Omnibus Law berbunyi, perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah pusat, dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.

Lalu, ketentuan batas minimal kawasan hutan 30 persen yang dibahas dalam Pasal 17 ayat 5 UU Nomor 26/2007, tentang Penataan Ruang.

Di mana berisi, dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 persen dari luas daerah aliran sungai.

Namun dalam UU Omnibus Law , ketentuan minimal 30 persen kawasan hutan di ayat ini bernasib sama dengan Pasal 18 ayat 2 UU 41/1999, yang berbunyi pemerintah pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan, sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan atau pulau.

Direktur Yayasan Depati Ali Goik mengatakan, kata ‘mempertimbangkan’ dalam Pasal 19 Ayat 1 UU 41/1999 terdalam UU Omnibus Law, merupakan perubahan dari kata ‘didasarkan’.

Menurutnya, dampak yang akan dirasakan masyarakat adat usai disahkan UU Omnibus Law sangat besar, terutama terhadap akses Sumber Daya Alam (SDA).

“Terutama hutan yang biasa mereka manfaatkan selama ini. Contoh kasus, dengan diberikannya izin membuat jalan tambang, untuk membelah hutan alam dataran rendah yang tersisa di Sumsel,” ucapnya.

Lokasi hutan alam yang tersisa tersebut berada di Kecamatan Batanghari Leko Musi Banyuasin Sumsel. Kawasan tersebut merupakan Hutan Harapan di perbatasan Sumsel-Jambi.

Yang mana menjadi hutan tropis dataran rendah yang tersisa di Pulau Sumatra. Hutan Harapan tersebut, menjadi benteng 26 spesies langka dan rumah bagi 228 keluarga suku kubu Sumsel dan suku anak dalam Batin Sembilan Jambi.

“Hutan alam dataran rendah yang tersisa ini, biasa dimanfaatkan oleh suku kubu. Untuk menuju ke kawasan suku kubu, sekitar 6-7 jam dari Sekayu Musi Banyuasin Sumsel,” ucapnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ancaman Hidup Suku Kubu

Diungkapkannya, areal tersebut merupakan kawasan restorasi ekosistem. Dari aturan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menurutnya jelas. Tidak boleh ada aktivitas lain selain restorasi.

Namun, sebelum UU Omnibus Law diresmikan saja, sudah banyak aktivitas pembalakan hutan harapan.

“Izin-izin untuk industri pasti akan masif diberikan, setelah desakan Omnibus Law. Dampaknya jelas, hutan adalah rumah mereka. Sumber mata pencaharian mereka akan hilang kalau itu disahkan,” ujarnya.

Suku kubu di Sumsel sendiri, lanjut Ali Goik, sangat besar ketergantungannya ke alam, seperti berburu hewan, madu dan tempat tinggal. Terlebih di daerah tersebut, masih banyak satwa dilindungi, seperti Gajah dan Harimau Sumatra, burung yang dilindungi dan tumbuhan yang dilindungi.

3 dari 3 halaman

Tradisi Suku Kubu

Saat ini, populasi Suku Kubu di Sumsel sudah jauh berkurang. Ada kelompok besar yang mencakup 4-6 kelompok kecil. Dalam satu kelompok kecil, terdiri dari 12-16 Kepala Keluarga (KK) Suku Kubu Sumsel.

“Tapi selama ini tempat mereka sudah menjadi areal Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Dengan dijadikan itu, akses ke SDA jadi terganggu,” katanya.

Salah satu tradisi Suku Kubu yang masih terjaga hingga sekarang, yaitu kebiasaan berpindah tempat tinggal atau nomaden dan membuat pakaian dari kulit kayu.

Kebijakan yang tidak memihak ke komunitas suku kubu itu sendiri, diperkirakan akan semakin membuat populasi dan kebiasaan suku kubu lama-kelamaan menghilang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.