Sukses

Saat Jurnalis Terdampak Pandemi Covid-19

Nurul pastinya kaget menerima pemberitahuan pemecatan secara mendadak ini. Semasa pandemi Covid-19, menurutnya, manajemen memang tidak pernah menyinggung adanya rencana efisiensi pengeluaran perusahaan.

Liputan6.com, Balikpapan - Seorang wartawati media online menerima kenyataan pahit. Nasibnya sebagai jurnalis muda berada di ujung tanduk. 

“Saya menerima email untuk menemui pihak HRD perusahaan,"  kata eks jurnalis media online Nurul Nur Azizah, Jumat (21/11/2020).

Nurul merupakan jurnalis media daring berdomisili di Jakarta. Selama ini, ia bertugas melaporkan berita tentang berbagai artikel. 

Dalam keheningan sore itu, muncul pemberitahuan email masuk di keranjang surat. Surat elektronik ini terasa aneh dimana asalnya dari pihak HRD.

“Sekitar bulan Juli lalu ada email dari perusahaan,” papar Nurul.

Tanpa menunggu lama, Nurul lantas membuka surat elektronik memuat subjek pemberitahuan rahasia. Ia makin terperanjat saat membaca isinya yang memuat tentang pemberitahuan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai karyawan. 

“Pemberitahuan PHK dari perusahaan agar menghubungi pihak HRD,” paparnya.

Nurul pastinya kaget menerima pemberitahuan pemecatan secara mendadak ini. Semasa pandemi mewabah, menurutnya, manajemen memang tidak pernah menyinggung adanya rencana efisiensi pengeluaran perusahaan.

“Memang ada informasi penurunan pemasukan iklan perusahaan selama pandemi, tapi belum ada rencana efisiensi,” tukasnya.

Wartawati ini kaget tapi tetap berusaha tenang. Nurul berusaha berbaik sangka menunggu penyampaian langsung pihak HRD.

Di sini akhirnya kekhawatirannya terbukti. Manajemen merasionalisasi karyawan di mana ia termasuk dalam kelompok itu. 

Nurul jelas saja menolak penawaran ini.  Ia merasa masih terlalu muda menerima tawaran pemecatan secara halus oleh perusahaan.

Di sisi lain, ia mempertanyakan keputusan manajemen menunjuk namanya masuk dalam daftar karyawan untuk dirumahkan. Menurutnya, performa kinerjanya tercatat cukup bagus untuk dibandingkan rekan lainnya.

“Ada sekitar 56 karyawan dirumahkan termasuk saya. Saya menolak penawaran ini,”  tegas Nurul.

Sampai disini, manajemen tetap keukeh merumahkan karyawan sesuai  ketetapan. Penolakan pengunduran diri disusul ancaman pemecatan. Perusahaan pun lantas meminta pemulangan seluruh peralatan kerja perusahaan; laptop, ponsel, dan ID card redaksi. Nurul dilarang menjalankan aktifitas redaksional.

Nurul akhirnya terpaksa menuruti kemauan manajemen. Meskipun begitu, ia tetap menolak menandatangani penawaran perusahaan. 

Wartawan muda ini berniat memperjuangkan hak-haknya sebagai karyawan. Nurul secara resmi meminta pendampingan advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan LBH Pers.

“Karena tidak ada serikat pekerja sehingga meminta bantuan dua organisasi ini,” jelasnya.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Industri Pers Terdampak Pandemi

Industri media massa di Indonesia termasuk sektor usaha terkena imbas negatif pandemi covid 19. Penurunan pemasukan iklan berujung PHK di seluruh lini usaha perusahaan.

“Pandemi covid 19 sudah memberikan dampak negatif bagi industri media,” kata Peneliti LBH Pers Jakarta Ahmad Fathonah.

LBH Pers Jakarta mencatat adanya 46 laporan karyawan media massa terkena PHK, mutasi, dirumahkan, penundaan upah, kontrak tidak jelas, upah tidak dibayar, pengurangan hak, pensiun dini, dan WHO di masa pandemi. Kasus – kasus dimana salah satunya dialami eks jurnalis Kumparan Nurul Nur Azizah dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Sesuai ketentuan undang undang, menurut Ahmad, perusahaan tidak bisa serta merta memutus hubungan kerja karyawan dengan semena – mena. Perusahaan harus memiliki alasan yang jelas pemberhentian sesuai kesepakatan penandatanganan kontrak bersama (PKB).

Ahmad menyakini pengaduan ini hanya menjadi puncak gunung es permasalahan industri media di Indonesia. Sesuai data Dewan Pers menyebutkan jumlah perusahaan pers di Indonesia mencapai 40 ribu perusahaan.

“Sangat banyak perusahaan pers di Indonesia,” ujarnya.

Apalagi, faktanya mayoritas pekerja media rendah kesadaran akan arti penting pembentukan serikat pekerja (SP) media. Menurutnya, SP media di Indonesia hanya sebanyak 24 saja.

Sesuai Undang Undang Ketenagakerjaan, menurut Ahmad, pekerja media masuk dalam katagori buruh. Sehingga organisasi SP media menjadi salah satu cara buruh memperjuangkan kesejaheraan karyawan.

SP media bisa menjadi fasilitas mengkomunikasikan kepentingan karyawan dengan manajemen perusahaan. Pertemuan bepatrit diantara keduanya mampu mempertemukan masing masing kepentingan di masa pandemi.

Manajemen pun diminta memanfaatkan SP media dalam mensosialisasikan kebijakan internal perusahaan. Selama masa – masa pandemi, manajemen dan karyawan bisa mensepakati kespeakatan bersama guna mempertahankan keberlangsungan perusahaan. 

Jurnalis sendiri tetap diminta selalu kompak mampu bertahan di masa pandemi. Tekanan dipastikan makin kuat ditengah kondisi perekonomian tanah air yang belum membaik.

“Dalam kondisi pandemi seperti ini memang harus kompak untuk bertahan,” ujar Ketua SP Radio KBR Aika Renata.

Organisasi serikat kerja bisa menjadi jembatan aspirasi karyawan untuk disampaikan pihak manajemen. Demikian pun sebaliknya kebijakan manajemen mampu di sosialisasikan dengan baik pada karyawan.

“Bisa menjadi jembatan kepentingan diantara keduanya,” tutur Aika.

Aika mencontohkan, kesulitan finansial perusahaan di masa pandemi semestinya dibahas bersama guna menemukan jalan penyelesaian. Serikat pekerja bisa menjadi alternatif penyelesaian demi keberlangsungan bersama.

“Bisa dibahas bersama jalan penyelesaiannya, apakah perlu dilakukan efisiensi lewat berbagai cara disepekati. Sehingga diperoleh kata kesepakatan bersama,” ujarnya.

3 dari 3 halaman

Pandemi Covid Memakan Jiwa Wartawan

Organisasi profesi jurnalis AJI menyatakan pandemi covid 19 sudah memakan korban dua nyawa wartawan di Indonesia. Wartawan bersangkutan terpapar virus setelah menjalankan tugas jurnalistiknya di lapangan.

“Sudah ada 2 korban meninggal dari rekan jurnalis di lapangan,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan.

Manan mengatakan, korban merupakan wartawan lokal berdomisili di Bali dan Pamekasan Madura. Keduanya mengeluhkan gejala penyakit yang hampir sama serta sempat memperoleh penanganan medis.

“Sempat ditangani pihak medis namun akhirnya tidak mampu tertolong,” ujarnya.

Dua wartawan menjadi korban adalah Putu A dan Bambang Winaryo.

Sehubungan itu, Manan meminta jurnalis mentaati protokol kesehatan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Wartawan harus menjaga social distancing, pengenakan masker, dan melengkapi cairan disinfektan.

Apalagi dalam kesehariannya, Manan mengaku jurnalis lapangan cenderung abai menjaga memproteksi kesehatan diri. Khususnya dalam menjaga kesehatan diri guna membangun imunitas melawan penyebaran virus.

“Saya ragu apakah jam tidur, makanan, minuman wartawan sudah cukup sehat sesuai saran dokter. Selama ini memang dibawah standar kesehatan,” ungkapnya.

Sehingga, perusahaan media tempat jurnalis bekerja pun diminta lebih perduli membantu wartawan di masa pandemi. Perusahaan media wajib mendukung ketersediaan masker, cairan disinfektan, dan kesehatan wartawannya.

Dalam hal ini, AJI sudah turut berperan membantu ketersediaan masker dan cairan disinfektan bagi seluruh anggotanya. Wartawan anggota AJI juga selalu diingatkan dalam menjaga protokol kesehatan selama bertugas di lapangan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.