Sukses

Rudakpaksa Anak Kandung Terjadi Lagi di Aceh, LBH beri Warning ke Polisi

Kasus kekerasan seksual terhadap anak kandung kembali terjadi di Aceh. Cari tahu apa tanggapan lembaga nonpemerintah terhadap sikap penegak hukum yang diduga akan membawa kasus ini ke dalam ranah qanun:

Liputan6.com, Aceh - Upaya rudapaksa yang dilakukan ayah terhadap anak kandung sendiri kembali terjadi di Aceh. Kali ini menimpa pelajar berumur 15 tahun di Kecamatan Baktiya, Kabupaten Aceh Utara.

Korban berinisial M, dicabuli serta hendak diperkosa oleh J (58) sebanyak dua kali di sebuah gubuk, yang merupakan rumah pelaku, secara berturut-turut pada tanggal 24-25, Oktober ini. Kejadian yang pertama berlangsung ketika korban sedang tidur dalam kondisi sakit

J mengendap-endap menghampiri M pada pukul 02.00 dini hari lantas membangunkannya dengan alasan hendak merajah penyakit M. Ketika itu, ia malah meraba-raba tubuh putrinya lantas melakukan sesuatu yang tidak senonoh dengan jari tangannya sehingga korban berteriak kesakitan.

Pada pukul 00.30 WIB, keesokan harinya, pelaku kembali melakukannya. Ketika J hendak memerkosanya, M berhasil memberontak serta menghindar, kemudian mengadukan perbuatan sang ayah kepada ibunya keesokan hari.

Kedua orang tua M sudah cerai. M sebenarnya tidak tinggal dengan ayahnya, namun, ia sempat beberapa kali mengeluh sakit kepada ayahnya lantas J menyuruhnya ke rumah untuk diobati.

"Selanjutnya, korban menghubungi pelapor dan menceritakan kejadian tersebut hingga korban dibawa ke Polres Aceh Utara, dan pelapor membuat pengaduan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)," terang Kasat Reskrim, AKP Rustam Nawawi, dalam keterangan diterima Liputan6.com, Selasa malam (27/10/2020).

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) langsung menyelidiki keberadaan J lantas menangkap pelaku rudapaksa itu pada Senin (26/10/2020), sekitar pukul 18.30 WIB. Polisi mengangkut pelaku ke dalam mobil dari pinggir jalan di Kecamatan Jambo Aye.

 

**Ingat #PesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

YLBHI-LBH Banda Aceh Beri Warning

Dalam keterangannya, Rustam menjelaskan bahwa pelaku akan dikenakan pasal 50 (pemerkosaan) juncto 47 (pelecehan seksual) Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Jinayat. Muatan hukuman yang disebut dalam pasal 50 yaitu dicambuk 150-200 kali, membayar denda 1.500-2000 gram emas murni, atau dipenjara 150-200 bulan (12-16 tahun).

Pada pasal 47, hukumannya dicambuk 90 kali, membayar denda 900 gram emas murni, atau dipenjara selama 90 bulan (7,5 tahun). Oleh YLBHI-LBH Banda Aceh, pemberian hukuman yang memedomani qanun tersebut dinilai tidak tepat.

Direktur lembaga nonpemerintah itu, Syahrul, mengingatkan aparat penegak hukum (APH) agar memedomani Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) ketimbang qanun. Pilihan ini dianggap sangat menentukan berat hukuman hingga nasib korban kelak.

"Dalam UUPA, jika pelakunya orang tua, itu bisa dihukum lebih dibandingkan dengan qanun jinayah. Kalau qanun, siapa pun pelakunya, hanya bisa 16 tahun, kalau UUPA, bisa dihukum maksimal 20 tahun," jelas Syahrul, dihubungi Liputan6.com, Selasa malam.

Di samping itu, UUPA memiliki hal lain yang tidak diakomodir oleh qanun, yaitu keadilan bagi para korban kekerasan seksual seperti M. Keadilan yang dimaksud oleh Syahrul adalah perlindungan negara termasuk pemulihan trauma atau potensi terganggunya psikis korban.

"Qanun jinayah tidak menekankan pemulihan psikis dan sosial terhadap korban. Dampaknya ini, kan, korban, bukan hanya kerusakan psikis, tapi, kerusakan sosial. Bisa jadi, korban harus dievakuasi, bisa jadi pindah sekolah, tempat. Qanun jinayah tidak mengakomodir ini," tekan aktivis yang pernah tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) ini.

Ia berharap penegak hukum tidak mengedepankan ego sektoral dengan dalih lex specialis atau qanun dalam kasus ini. Menurut Syahrul, ada hal yang lebih penting yaitu mengutamakan perlindungan serta hak korban.

"Mari kita buang dulu ego sektoral itu, kita fokus ke keadilan terhadap korban. Saya yakin, masyarakat Aceh tidak akan marah terhadap hal itu. Karena apa? Semua orang sedang mendorong keadilan terhadap korban kekerasan seksual. Saya yakin tidak ada yang akan protes, jadi, penegak hukum tidak usah takut untuk menggunakan UUPA," tegasnya.

3 dari 3 halaman

Catatan untuk Pemprov Aceh

Syahrul mengatakan bahwa Aceh tengah dirundung darurat kekerasan seksual yang menyasar anak di bawah umur dengan 70 persen pelakunya adalah orang dekat. Juli lalu, terdapat 69 kasus pelecehan seksual, pemerkosaan 33 kasus, dari total 200 kasus kekerasan terhadap anak.

Fakta tersebut diharap menjadi catatan bagi pemerintah provinsi. Harus ada daur ulang konsep hukuman terhadap pelaku yang kebanyakan masih berdasarkan qanun sebaliknya menyampingkan UUPA yang notabene memiliki status lebih tinggi dari sisi hirarki perundang-undangan.

"Jika kemudian kita tidak fokus dan serius dalam menanganinya, berarti kita sedang membiarkan anak-anak kita terus diancam oleh predator anak. Pemerintah harus angkat bicara tentang ini!" pungkas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.