Sukses

Kemah Aksara di Candi Muarajambi, Kemah Asyik ala Komunitas Jari Menari

Komunitas Jari Menari membuat Kemah Aksara di kompleks Percandian Muarajambi. Bukan kemah biasa. Kemah ini sebagai ajang belajar untuk menggelorakan literasi.

Liputan6.com, Jambi - Tabuhan rebana siam, gendang, dan alunan Zikir Berdah dibawakan dengan duduk bersila oleh sepuluh lelaki tua. Syair dan puji-pujian kepada Rassullullah SAW itu melantun di lokasi Kemah Aksara yang digelar di sekitaran kanal kuno kompleks Percandian Muarajambi, Desa Muara Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.

Di lokasi, angin berembus kencang seperti pertanda hujan. Belasan generasi kiwari peserta kemah fokus seksama menikmati sajian seni tradisi. Beberapa di antaranya mereka asyik mendokumentasikan kekayaan budaya itu.

"Zikir Berdah ini bagian dari kekayaan leluhur, sampai sekarang masih terus dilestarikan oleh masyarakat sini," kata Abdul Haviz, tokoh pemuda Desa Muara Jambi.

Selain kesenian Zikir Berdah, di acara Kemah Aksara itu juga menampilkan kesenian tari Topeng Labu. Kesenian tradisi yang disuguhkan itu bagian dari pengenalan kekayaan seni budaya di komplek tinggalan leluhur.

Sajian pertunjukkan seni budaya dari masyarakat lokal di Desa Muara Jambi pada malam Minggu, 10 Oktober 2020 lalu itu, termasuk dalam rangkaian kegiatan perayaan ulang tahun Komunitas Jari Menari (KJM) yang ke-4.

Komunitas yang gerakan anak muda itu selama ini fokus meningkatkan literasi terhadap masyarakat. Meski masih dibayangi pagebluk, namun tak menyurutkan mereka untuk terus menggaungkan literasi.

Komunitas Jari Menari sengaja menggelar Kemah Aksara bertajuk "Mendayung Arus Literasi" memilih lokasi di dekat Kanal Kuno Candi Muarajambi. Kejayaan ilmu pengetahuan masa silam lahir di tempat itu.

Dalam Kemah Aksara itu, tak hanya menampilkan kesesian lokal. Peserta kemah sebelumnya berlatih menulis berita feature (story) dan menulis puisi. Peserta yang berlatar belakang dari komunitas literasi dan umum itu sangat antusias, mereka saling belajar bersama dan saling tukar pikiran di bawah rindangnya pohon.

Peserta kemah juga dikenalkan dengan sejarah masa lalu di Muarajambi, berupa tapak tilas perjalanan Atisa Dipankara menemui Mahaguru Serlingpa Dharmakirti di Swarnabumi Muarajambi.

Ketua Komunitas Jari Menari, Filyadi Gusti Zamzami mengatakan, tinggalan masa klasik Candi Muarajambi tidak hanya menunjukkan penguasaan lelulur terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi menunjukkan masyarakat Jambi dulu memiliki kemajuan dalam berpikir.

"Kita tidak hanya mengenal sejarahnya, tetapi kita belajar mengenal masyarakatnya, perangkat desanya, bahkan pemudanya. Menariknya teman-teman di sini sudah membuat sekolah alam, ini juga bagian dari pengembangan literasi," kata Gusti malam itu.

Kompleks Candi Muarajambi, memang memiliki tinggalan yang sampai sekarang membekas bagi kalangan masyarakat di sekitarnya. Bahkan sampai sekarang keberadaanya masih memberikan sumbangsih untuk ilmu pengetahuan dan budaya toleransi.

Banyak peneliti dan sejarawan abad modern menafsirkan peninggalan bangunan-bangunan di kompleks percandian Muarajambi dengan sebutan Mahavihara. Sejarah juga mencatat kompleks Percandian Muarajambi dulunya sebagai pusat pendidikan yang masyhur.

Kemudian di sisi lain situs Muarajambi juga menjadi pusat pendidikan agama Buddha pada abad 7-12 Masehi. Tercatat pada masa kejayaannya itu biksu kesohor seperti I-Tsing dan Atisha pernah datang ke Muarajambi untuk memperdalam ilmu pengetahuan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kiprah Literasi dan Tantangannya

Selama empat tahun berkiprah di dunia literasi, komunitas ini rutin mengenalkan inkulasi literasi terhadap masyarakat. Komunitas ini fokus pada kegiatan perpustakaan jalanan, pelatihan-pelatihan menulis, bedah buku dan kegiatan sosial lainnya.

"Saat ini, kami sendiri memiliki koleksi buku kurang lebih 500 eksemplar. Kok masih sedikit sekali? karena kami harus berbagi kepada komunitas-komunitas literasi yang baru merintis," ujar Gusti.

Berbagi koleksi buku sesama komunitas literasi adalah pilihan yang harus ditempuhnya. Mengingat, saat ini Jambi belum memiliki rumah baca untuk menampung koleksi buku yang terlalu banyak.

"Berbagi adalah jalan satu-satunya yang lebih bermanfaat dari pada semua buku hanya terpajang di rak buku kami," kata dia.

Gusti berharap perpustakaan baik kota/kabupaten benar-benar terbuka kepada masyarakat dan bisa berdampingan. Perpustakaan di daerah menurutnya, harus merangkul komunitas literasi yang kerap terabaikan.

"Semoga literasi ini masuk prioritas oleh pemerintah selaku perencana program daerah, dan juga pemerintah harus membantu semua komunitas literasi yang ada, bukan hanya untuk komunitas yang sejawat," kata Gusti.

Selain itu, sebagai komunitas yang mengelakan literasi lewat perpustakaan jalanan, Gusti menyayangkan razia buku yang berhaluan "kiri" masih terjadi di berbagai daerah. Razia buku yang masih terjadi menurut Gusti, sangat miris, apalagi dilakukan dengan dalih kesesatan ideologi.

"Sangat miris, jika dengan dalih kesesatan ideologi negara, maka mereka sendirilah yang sedang menjalankan kesesatan itu," ujar Gusti.

Bahan bacaan yang berbahaya "katanya" hanya boleh dibahas di perguruan tinggi. Padahal, kita tahu banyak dari pemuda di Indonesia yang pendidikannya tidak sampai di perguruan tinggi. Bahkan, di perguruan tinggi sekali pun sedikit sekali yang membahas buku-buku yang katanya berbahaya.

"Singkat kata, bila seseorang itu takut ideologinya tergoyangkan dengan hanya membaca buku, artinya ideologi yang selama ini dia yakini tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengatur cara hidupnya," demikian Gusti.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.