Sukses

Poin Penting Akademisi atas Polemik Sertifikat Tanah Ratusan Warga di Kawasan Hutan Lindung Walanae

Akademisi yang juga Dosen Fakultas Hukum UKIP Makassar itu menilai UPT KPH Walanae tidak boleh bertindak seenaknya.

Liputan6.com, Makassar - Akademisi yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina, menanggapi polemik sertifikat tanah milik ratusan warga Kecamatan Keera dan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Walanae. 

Jermias mengatakan konflik sertifikat tanah berstatus hak milik (SHM) ratusan warga itu tidak boleh ada perbuatan main hakim sendiri (Eigen Rechting) oleh aparat pemerintah setempat dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis (UPT) KPH Walanae untuk memerintahkan keluar dari lokasi tanah yang telah ditempati berpuluh tahun lamanya, dengan dalil bahwa lokasi obyek tanah masuk dalam kawasan hutan lindung.

Kasus hukum tersebut, kata dia, harus dilihat secara dimensi hak keperdataan. Dimana ada dua hal pokok penting yang memberi proteksi (perlindungan) hukum kepada warga masyarakat yang menempati lokasi lahan tanah. 

"Kajian hukum tersebut dalam dua aspek dalam hal ini secara defacto dan yuridis," kata Jermias, Raitubu (7/10/2020).

Secara defacto, maksud Jermias, jika warga sudah lebih dahulu menempati lahan tanah secara turun temurun dengan beraktivitas di atas tanah, baik membangun rumah tinggal dan bertani atau berkebun dengan jangka waktu puluhan tahun lamanya, maka kedudukan berkuasa (Bezit) secara hak perdata telah melekat pada hak atas tanah. 

Apalagi, lanjut Jermias, pada kenyataannya warga masyarakat telah memperoleh penerbitan hak atas tanah dengan recht title (HAK HUKUM) sertifikat hak milik (SHM) oleh kantor pertanahan setempat, maka secara yuridis telah melekat kepemilikan atas lahan tanah dan atas status hak tanah tersebut berdasarkan pasal 32 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah memperoleh legitimasi sebagai alat bukti hak yang kuat.

"Memang secara yuridis sekalipun sistem pembuktian pendaftaran tanah di Indonesia negatif bertendens positif yang berarti sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya ketidakbenaran atau ketidakabsahan sertifikat hak atas tanah, maka dapat berakibat batal atau

tidak sah, namun harus melalui kajian hukum yang prosedural," terang Jermias.

Umumnya gugatan atau sengketa Pengadilan jalan keluarnya, sekalipun memang ada (kewenangan) secara ad interm (internal) dari lembaga atau badan yang berwenang dalam hal ini kantor pertanahan.

Negara mempunyai kewenangan mengatur hak atas tanah sesuai ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 2 ayat (2), dan olehnya itu faktanya secara dejure sertifikat hak milik atas lahan tanah telah terbit di atas lahan yang ditempati/dikuasai warga. 

"Itu dikarenakan kekuasaan (otoritas) negara lewat instasi pertanahan telah menjalankan kewenangannya melalui tindakan penelitian tanah hingga bermuara pada penerbitan SHM secara prosedural kepada warga," jelas Jermias.

Di sisi lain pula, fungsi negara dalam arti mengatur hak atas tanah tidak boleh diselewengkan begitu saja tanpa melalui mekanisme dan sarana hukum yang tersedia sesuai norma hukum yang berlaku. 

Olehnya itu dalam kasus ini, UPT KPH, instansi pemerintah terkait lainnya maupun lembaga korporasi tertentu tidak boleh mengklaim begitu saja lahan tanah yang secara hak perdata melekat hak warga masyarakat dengan jalan melakukan tindakan main hakim sendiri (Eigen Rechting) atau memaksa warga untuk meninggalkan lahan mereka yang sudah ditempati puluhan tahun lamanya, apalagi mereka telah memperoleh recht title berupa sertifikat hak milik (SHM) atas lahan tanah.

"Jika konflik lahan tanah tersebut tidak memperoleh kesepakatan relokasi oleh warga/masyarakat setempat dan tetap mempertahankan hak mereka, maka tidak boleh menggunakan upaya paksa menggusur warga meninggalkan lokasi tanah. itu berarti terjadi perbuatan main hakim sendiri," ungkap Jermias.

Hukum tanah di Indonesia mengandung azas horisontal, yang berarti ada pemisahan hak atas tanah dengan benda di atasnya. Jika UPT KPH Walanae merasa memiliki bukti yang kuat atas kepemilikan lahan tanah, maka instansi tersebut dapat menggugat ke Pengadilan, itu pun harus dibuktikan haknya 

"Alasannya hukum gugatan hukum harus diajukan dikarenakan sudah menjadi fakta bahwa puluhan tahun lamanya benda yang melekat di atas tanah yang menjadi obyek masalah hukum (apakah ada rumah atau tanaman umur panjang/kebun) adalah milik warga masyarakat yang tidak boleh diabaikan begitu saja secara hak keperdataan," jelas Jermias.

Jika UPT KPH memaksa untuk bertindak mengeluarkan warga masyarakat di atas lahan tanah tanpa menggunakan prosedur sebagaimana analisis hukum di atas, maka sudah tentunya negara telah nyata menghadirkan kekuasaan yang otoriter dari karakteristik yang sifatnya bertindak sebagai pemilik atas tanah dalam perspektif politik hukum agraria.

 

Simak juga video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kok Lahan Warga Jadi Kawasan Hutan Lindung?

Sebelumnya, ratusan warga yang berada di Kecamatan Keera dan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan meradang. Bagaiman tidak, lahan yang berpuluh tahun mereka garap dan tinggali tiba-tiba disebut masuk dalam kawasan Hutan Lindung Walanae.

Polemik itu bermula ketika Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pelaksanaan Hutan (KPH) Walanae mematok lahan warga yang diklaim masuk dalam kawasan hutan lindung. Pematokan itu dalam rangka rehabilitasi yang menjadi kewajiban PT Vale Indonesia Tbk. 

"Pematokan itu dilakukan untuk rehabilitasi hutan lindung, padahal lahan itu sudah digarap tiga generasi, turun temurun," kata salah seorang warga yang lahannya juga dipatok oleh UPT KPH Walanae, Rusli, kepada Liputan6.com, Selasa (29/9/2020). 

Rusli menyebutkan ratusan warga pun protes dan tidak terima. Warga merasa bahwa lahan itu adalah milik mereka karena memiliki sertifikat dan tiap tahun juga membayar pajak kepada pemerintah.

"Lahan tersebut ada alas haknya. Warga ada sertifikat dan setiap tahun membayar SPPT," ucap Rusli. 

Masyarakat semakin bingung lantaran selama ini pihak pemerintah tidak pernah menunjukkan ke masyarakat bukti bahwa lahan itu memang adalah kawasan hutan lindung. 

"Itu yang jadi masalah juga, seharusnya pihak kehutanan membuka informasi atau peta bahwa ini memang hutan lindung, nah selama ini itu kan tidak ada," jelas Rusli. 

Rusli menyebutkan bahwa sedikitnya ada 772 warga yang menjadi korban sengketa lahan tersebut. Adapun luas lahan yang diberi tanda oleh UPT KPH Walanae seluas 750 hektare. 

"Ada 772 orang yang lahannya masuk dalam rencana rehabilitasi program CSR PT Vale. Sementara luas lahan yang menjadi kewajiban PT Vale sendiri itu ada 750 Hektare," sebutnya. 

Sejauh solusi yang ditawarkan dalam polemik itu adalah pemindahan lokasi rehabilitasi yang menjadi kewajiban PT Vale Indonesia, sehingga warga bisa tetap menggarap lahan milik mereka. 

"Itu solusi setelah DPRD Kabupaten dan DPRD Provinsi turun tangan, tapi tidak terealisasi juga," ucap Rusli. 

3 dari 4 halaman

Tanggapan pihak UPT KPH Walanae

Terpisah, Kepala UPT KPH Walanae, Muhammad Junan, mengatakan bahwa lokasi yang ia beri tanda adalah kawasan hutan lindung yang diterbitkan langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

"Jadi yang di Desa Awo itu patoknya berdasarkan SK 362 2019 yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup," kata Junan kepada Liputan6.com.

Junan menyebutkan bahwa patok berwarna merah yang berada di lahan warga itu bukan menjadi batas kawasan hutan lindung. Patok itu hanya menjadi penanda luas wilayah yang harus direhabilitasi oleh PT Vale Indonesia. 

"Patok merah itu bukan batas hutan lindung. Itu adalah batas kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan rehab DAS PT Vale yang merupakan kewajibannya," jelas Junan.

Sehingga, lanjutnya, kawasan hutan lindung Walanae bisa dipastikan lebih luas dari patok tersebut. Junan menjelaskan, peta yang diberikan oleh KLHK kepada dirinya menunjukkan wilayah yang lebih luas dari pada patok penanda tersebut. 

"Tentu saja lebih luas," jelasnya. 

Saat ditanya ihwal sertifikat tanah yang dimiliki warga atas lahan hutan lindung tersebut, Junan mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui akan hal tersebut. Padahal penerbitan sertifikat kawasan hutan lindung untuk dikelola secara pribadi harus menunggu rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

"Saya tidak tahu berlakunya kapan, yang jelas beberapa tahun terakhir harus ada rekomendasi dari kehutanan untuk penerbitan sertifikat. Tapi kalau sertifikat sebelumnya itu belum ada, kalau sertifikat lama mungkin bisa tanya BPN," ucap dia. 

Junan pun menawarkan solusi kepada warga berupa kegiatan perhutanan sosial. Kegiatan itu adalah memberikan kewenangan kepada warga untuk mengelola kawasan hutan tanpa harus memilikinya. 

"Yang penting kan hutan lestari, masyarakat sejahtera," imbuhnya. 

 

 

4 dari 4 halaman

BPN Wajo Selidiki Sertifikat Warga

Kepala Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Wajo, Sa'pang Allo, menanggapi ihwal sertifikat milik warga atas tanah yang berada dalam kawasan hutan lindung Walanae tersebut. Menurut dia sertifikat tersebut adalah produk lama. 

"Berkenaan adanya sertifikat itu, kami klarifikasi bahwa sertifikat tersebut adalah produk lama dan saat ini kami masih melakukan pengecekan dan ploting peta apakah sertifikat-sertifikar tersebut berada di dalam kawasan hutan atau tidak dengan meng-overlay peta kawasan hutan," jelas Sa'pang Allo kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2029). 

Sa'pang melanjutkan, jika sertifikat warga tersebut masuk atau terindikasi dalam kawasan hutan maka pihaknya akan meneliti secara administratif apakah penerbitan sertifikat tersebut memenuhi syarat atau tidak.

"Sertifikat adalah bukti hak yang kuat, pengertian kuat disini artinya bukan mutlak, oleh karena sistem hukum agraria di Indonesia menganut Sistem Negatif Bertendens Positif artinya sertifikat berlaku sebagai bukti hak yg kuat sepanjang tidak dapat dibuktikan," jelasnya

Sebaliknya, terang Sa'pang, bilamana terdapat bukti bahwa prosedurnya tidak memenuhi syarat dan terdapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan menyatakan sertifikat itu tdk mempunyai kekuatan mengikat maka sertipikat tersebut harus dibatalkan.

"Pembatalan sertifikat dapat dilakukan antara lain karena putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incrach), cacat administrasi, dilepaskan dengan sukarela oleh pemegang haknya dan eksaminasi yg dilakukan oleh menteri ATR/Ka BPN," dia memungkasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.