Sukses

SMA Negeri 1 Playen Gunungkidul Diduga Sunat Anggaran PIP, Wali Murid Murka

Wali murid murka pasalnya anggaran yang seharusnya diberikan ke siswa malah dialihkan ke sumbangan pendidikan.

Liputan6.com, Gunungkidul - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY memanggil dua sekolah setingkat SMA/SMK di Gunungkidul. Alasannya, mereka diduga menyunat anggaran Program Indonesia Pintar (PIP) yang seharusnya diterima siswa. Bukannya diberikan ke para siswa yang berhak, pihak sekolah malah mengalihkan anggaran PIP tersebut ke sumbangan pendidikan.

SMA Negeri 1 Playen menjadi salah satu dari dua sekolah di Gunungkidul yang dilaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY. Mereka bahkan sudah dipanggil ORI untuk mengklarifikasi soal tuduhan penyunatan bantuan pemerintah, melalui Program Indonesia Pintar (PIP) atau Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk sumbangan pendidikan sekolah mereka.

Selain sudah menyalahi aturan berkaitan dengan peruntukan PIP atau KIP, ternyata sejumlah pelanggaran juga dilakukan sekolah yang berada di jalan Raya Playen-Paliyan ini.

Orantua siswa DW dan SY yang anaknya menjadi salah satu dari 60 siswa penerima manfaat Program Indonesia Pinta, kepada Liputan6.com, Kamis (24/9/2020) mengatakan, sebenarnaya ada ratusan siswa di SMA Negeri 1 Playen yang mendapat bantuan program serupa dari pemerintah.

"Lebih kalau 60. Wong setiap kelas itu pasti ada," ujarnya.

DW mengatakan, secara fisik, putra-putri mereka memang memegang Kartu Indonesia Pintar (KIS). Sehingga putra-putri mereka mendaparkan bantuan senilai Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Pada 2019 lalu anaknya harusnya mendapat Rp500 ribu dan pada 2020 ini harusnya menerima Rp1 juta.

Namun anehnya, anak-anak mereka sama sekali tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah tersebut. Pihak sekolah telah mengambilnya secara kolektif dan mengalihkannya untuk sumbangan pendidikan ke SMA Negeri 1 Playen tersebut.

"Jika pihak sekolah mengatakan itu sesuai kesepakatan, bohong. Kita tidak pernah ada rapat komite sekolah membahas itu," ujarnya.

Pihak sekolah telah memutuskan secara sepihak untuk mengambil bantuan KIS secara kolektif. Bahkan secara nekat mengalihkan bantuan pemerintah untuk siswa tersebut untuk sumbangan pendidikan. Padahal, sesuai peraturan bantuan KIS atau PIP tersebut tidak boleh digunakan untuk peruntukannya kecuali untuk kebutuhan siswa.

DW mengungkapkan pada 7 September 2020 lalu dapat undangan untuk datang ke sekolah. Undangan tersebut berkop sekolah, dan bertandatangan kepala SMAN 1 Playen, Aji Pramono. Dalam undangan tersebut tertera isi acara adalah sosialisasi program sekolah.

"Ternyata isinya bukan sosialisasi program sekolah. Tetapi justru ngomong tentang besaran sumbangan, parahnya yang ngomong itu guru bukan komite sekolah. Seharusnya kan komite sekolah," ungkapnya.

Ibu dua anak ini mengaku terkejut, karena pihak sekolah kembali meminta sumbangan sebesar Rp1,4 juta dengan alasan untuk membuat pagar sekolah. Padahal saat kelas X atau ketika baru masuk, anaknya sudah dimintai sumbangan sebesar Rp2,6 juta untuk pembangunan Gedung Kesenian.

Ia mengaku menyesalkan sikap sekolah karena di masa pandemi seperti saat ini pada pertemuan awal September, pihak sekolah justru meminta sumbangan. Bagi Dw yang nilai Rp1,4 juta cukup memberatkan para wali murid. Apalagi sekolah sudah memberi batas maksimal pembayaran April 2021 dengan cara bisa dicicil ataupun langsung lunas.

"Saya merekam itu semua. Kami dimintai partisipasi, demi terselenggaranya program sekolah ini, begitu dalihnya karena tidak bisa tercover oleh APBN, APBD Provinsi, dan juga BOS," kata DW.

DW bersama SY pun lantas meminta RAPBS yang menjadi dasar pihak sekolah untuk menentukan besaran sumbangan. Namun pihak sekolah enggan memberikannya dengan dalih semua wali murid juga tidak mendapatkan RABPS tersebut.

Pihak sekolah sendiri juga memberikan penawaran apabila ada orangtua siswa yang tidak mampu silakan minta keringanan. Namun demikian jumlah keringanan berapa pihak sekolah tidak bisa memberi penjelasan.

Belum soal permintaan sumbangan ini usai, pihaknya kemudian kaget dengan pemanggilan siswa-siswi keesokan harinya pada 8 September. Kala itu, putrinya diarahkan bersama siswa lain untuk masuk ke ruang perpustakaan dan bertemu dengan guru BK.

Putrinya disodori slip penarikan KIP dari BNI. D mengatakan, putrinya diberi dua slip penarikan dengan jumlah Rp1juta dan Rp500 ribu. Saat itu, dihadapan siswa kelas XI, guru tersebut mengatakan jika uang PIP atau KIP tersebut untuk membayar sumbangan.

"Ya saya diam. Wong teman-teman lain juga diam," ujar putri dari DW

Sementara itu, SY sendiri juga sendiri mengaku pada 2019 lalu sudah dimintai sumbangan Rp2,6 juta dan sudah nyicil sekitar Rp2,1 juta. Tapi ia juga mengaku heran karena dana KIPnya juga tidak cair. Seharusnya dana KIP tersebut diserahkan ke anaknya.

Ia mengaku heran karena hingga saat ini belum ada tanda-tanda pembangunan Gedung Kesenian hasil dari penarikan sumbangan ketika anaknya duduk di kelas X. Namun kini ketika anaknya naik ke kelas XI, kembali dimintai sumbangan Rp1,4 juta dengan alasan untuk pembangunan yang lain.

Dari pengakuan keduanya, pihak sekolah kerap memberikan ancaman tidak akan memberikan nomor kode ujian kepada siswa yang tidak mau membayar sumbangan.

"Bahkan anak kami itu dibeda-bedakan. Yang belum bayar atau belum lunas kartu ujiannya berwarna putih dan nomor ujiannya suruh menulis sendiri. Sementara yang sudah bayar lunas itu kartu ujiannya warna kuning. Itu kan diskriminasi namanya,"paparnya.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tanggapan Ombudsman RI

Terkait hal itu, Kepala ORI DIY Budi Masturi mengatakan, dua sekolah tersebut setingkat SMA/SMK diduga mengalihkan PIP yang seharusnya diterimakan ke siswa. Dari laporan wali murid yang masuk ke ORI, pencairan PIP dilakukan secara kolektif oleh sekolah. PIP tersebut tidak diserahkan ke siswa namun langsung diambil oleh pihak sekolah untuk sumbangan pendidikan.

Ia mengakui saat ini baru melakukan klarifikasi mengenai adanya permintaan dana ke orangtua yang diduga pungutan. Setidaknya ada dua sekolah di Gunungkidul yang diduga melakukan pungutan selama masa pandemi.

"Kita akan kaji itu lagi dan segera memberikan rekomendasi" ujar Budi saat dikonfirmasi.

Setelah memanggil pihak sekolah untuk klarifikasi, pihaknya dalam waktu dekat ini akan mempertimbangkan untuk mengundang Bank Afiliasi pencairan KIP/PIP, berkenaan pencairan kolektif ini. Hal tersebut dilakukan untuk klarifikasi berkaitan dengan keterangan pihak sekolah.

Budi mengungkapkan, setidaknya ada sekitar 60 siswa yang mengajukan Kartu Indonesia Pintar. Program tersebut merupakan bantuan pendidilan yang diberikan kepada siswa kurang mampu dengan menyertakan berbagai persyaratan sesuai ketentuan Kemendikbud.

"Kita sudah klarifikasi sama pihak sekolah. Sebentar lagi bank,"ungkap Budi.

 

3 dari 3 halaman

Klarifiskasi Pihak Sekolah

Saat ditemui, Kepala SMAN 1 Playen, Aji Pramono mengakui, sebanyak 60 siswa dari kelas X, XI, XII disetujui oleh Kemendikbud mendapatkan bantuan PIP. Bantuan tersebut cair di triwulan pertama tahun 2020, karena pencairannya setiap triwulan sekali.

Nilai bantuan dalam program tersebut juga beragam, tergantung jenjang kelas yang ditempuh siswa saat itu. Kelas X akan mendapatkan Rp500 ribu per siswa, sedangkan untuk kelas XI Rp1 juta per siswa, kemudian untuk kelas XII Rp 500 ribu per siswa.

"Nah sebelum adanya pencairan, pihaknya bersama Komite Sekolah menggelar pertemuan kepada wali siswa,"ujar Aji di kantornya.

Aji mengatakan, dalam pertemuan tersebut telah terjadi kesepakatan adanya sumbangan pendidikan yang bersifat sukarela masing-masing sebesar Rp1,4 juta. Sumbangan pendidikan tersebut memang untuk membantu kelancaran para siswa dalam proses pembelajaran nanti.

Aji menandaskan jika sumbangan tersebut sifatnya sukarela dan tidak memaksa. Mekanisme keputusan sumbangan tersebut juga sudah melalui koordinasi di internal Komite Sekolah. Di mana komite sekolah tersebut terdiri dari Perwakilan Wali Murid dan juga sekolah.

"Dalam pertemuan tersebut, sebagian wali murid yang mengajukan PIP ke pemerintah sepakat akan menyumbang ke sekolah namun menunggu PIP cair,"terangnya.

Wali murid yang sudah sepakat tersebut mereka meminta kepada sekolah untuk pencairan PIP dilakukan secara kolektif. Ia mengklaim jika pengambilan kolektif diperkenankan oleh Kemendikbud. Namun sayang, kesepakatan untuk menyumbangkan PIP ke sekolah tersebut tidak tertulis.

"Kesepakatan tersebut akhirnya kita laksanakan dengan pencairan secara kolektif dan langsung digunakan sebagai sumbangan sekolah. Nah oleh ORI itu dianggap salah. Saya akui memang salah. Mekanismenya harus tidak seperti itu. Harusnya duit diserahkan orangtua dan silahkan orangtua sukarela menyumbang ke sekolah. Kalau kita tidak,"terangnya.

Pengambilan secara kolektif ini, dikatakan Aji juga diatur dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2020. Sehingga menurutnya pengambilan ini tidak menyalahi aturan dan sesuai anjuran pihak bank. Dan memang tidak semua siswa mendapatkan bantuan PIP dari pemerintah saja.

"Di sini ada 60 orang. Itu yang mengajukan. Tahun ini yang mengajukan ada 70 orang,"paparnya.

Atas kejadian tersebut, pihaknya masih menunggu rekomendasi dari ORI untuk menyiapkan langkah berikutnya. Pihak sekolah sendiri kemarin hanya dimintai keterangan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.