Sukses

Alquran Kuno Peninggalan Pasca-Perang Diponegoro Ditemukan di Cilacap

Diduga kuat, Alquran kuno ini ditulis usai perang Jawa, atau perang Diponegoro

Liputan6.com, Cilacap - Kesan berwibawa dan tua begitu kuat begitu kain pelindung Alquran kuno, berwarna gelap itu, dibuka. Lembaran mushaf itu dilindungi oleh semacam anyaman bambu kecil nan kuat.

Warnanya menunjukkan usia wadah pelindung dan kertasnya. Di sana-sini, kertas sedikit rusak, termakan usia. Ini lah Alquran kuno yang diyakini berasal dari masa sesudah perang Jawa atau perang Diponegoro.

Semula, Alquran ini hanya dianggap sebagai warisan keluarga, tidak lebih. Risalah mengenai Alquran ini tak banyak diketahui. Kalaupun ada risalah, tak lebih hanya potongan cerita tutur sejarah dan legenda yang seolah tak terkait antara satu dengan lainnya.

Penyimpan Alquran kuno peninggalan pasca-perang Diponegoro itu adalah keluarga KH DR Fathul Amin Aziz, pimpinan Yayasan Elbayan, sebuah yayasan yang menaungi pesantren hingga perguruan tinggi di Cilacap.

Secara turun temurun, keluarganya dikenal sebagai ulama berpengaruh pada masanya. Di Desa Pesahangan, Cimanggu, Cilacap, keluarga ini dikenal sebagai tempat lahirnya ulama linuwih dengan segala keistimewaannya.

Berbeda dengan Alquran zaman modern yang dicetak dengan mesin, Alquran kuno itu ditulis tangan. Amin Aziz bilang, Alquran ini telah tersimpan di keluarganya sejak ratusan tahun silam.

Akan tetapi, lantaran khawatir rusak, Alquran ini jarang dibuka dan hanya disimpan. Hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan membuka Alquran ini. Itu pun hanya untuk kepentingan perawatan.

Tak jelas diketahui, penulis atau waktu pembuatan Alquran kuno ini. Keluarga hanya mengetahui bahwa salah satu yang diduga kuat mewariskan Alquran kuno itu adalah KH Nur Jalin, yang kini juga menjadi nama Yayasan Pendidikan di Cilacap.

Menurut dia, Alquran ini diwariskan secara turun temurun oleh bapak, kakek, kakek buyut, kakek canggah hingga leluhurnya. Diduga kuat, Alquran kuno ini ditulis usai perang Jawa, atau perang Diponegoro.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pembuangan ke Sulawesi

Tabir mulai terkuak ketika Amin Aziz bersama adik iparnya, Kamil mencoba menulusuri petunjuk yang mungkin terimpan dalam lembaran Alquran tersebut, baru-baru ini. Di salah satu lembaran Juz’ama, tertulis dengan angka Arab, Bulan Rajab 1294 Hijriyah. Jika dikonversikan dengan masehi, maka itu adalah tahun 1873 Masehi.

Diyakini, Alquran ini ditulis setidaknya masa itu, atau masa sebelumnya, yakni usai perang Jawa. Selain itu, ada pula penanda yang diyakini sebagai penulis Alquran tersebut.

Dia adalah ulama yang dikenal alim pada masanya, yakni Kiai Nur Jalin. K Nur Jalin sendiri adalah putra dari Kiai Muhamad Nur Zein. Kiai Nur Zein adalah putra dari Kiai Muhamad Nur Saleh.

Kiai Nur Jalin, adalah ulama yang tidak memiliki keturunan. Karenanya, Alquran tulis tangan tersebut diwariskan kepada saudara kandung, atau kakek canggah Amin Aziz, yakni Kiai Muhammad Nur Kandar.

Dari Kiai Nur Kandar, Alquran kemudian diwariskan kepada kakeknya, yakni KH Muhammad Sayuti. Dari KH Sayuti, Alquran kemudian diwariskan kepada ayahnya, KH Muhammad Muslim.

“Jadi yang generasi sekarang adalah generasi keenam,” katanya.

Kini Alquran tersebut disimpan dan dirawat oleh adik bungsunya, yang kebetulan menunggui rumah induk atau rumah utama keluarga. Kondisinya sudah mulai rusak, lantaran terserang jamur dan kutu pengerat kertas. Tetapi, secara umum, Alquran ini masih bisa dibaca dengan jelas.

Anggota keluarga lainnya, KH Mahmud mengungkapkan, K Muhamad Nur Saleh diyakini masih memiliki nasab hingga Kesultanan Mataram. Itu diyakini lantaran Nur Saleh turut menjadi salah satu punggawa perang Jawa yang turut menemani Pangeran Diponegoro, tatkala dibuang ke Celebes atau Sulawesi.

 

3 dari 4 halaman

Gerilya Usai Perang Diponegoro

Diketahui, nyaris seluruh orang-orang kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa adalah kerabat keraton, baik dari Kesultanan Mataram maupun Kasunanan Surakarta. Selain itu ada pula ulama-ulama berpengaruh, penguasa daerah, hingga para penatus (kepala desa dan dusun), para pendekar, dan rakyat jelata.

Tentu tak mudah untuk menjadi orang dalam lingkaran dalam Pangeran Diponegoro. Ia mesti terbukti setia, dan memiliki keistimewaan. Dua prasyarat itu dimiliki oleh Kiai Nur Saleh. Dia berkerabat dengan Sang Pangeran, sekaligus dalam ilmu agamanya.

Akan tetapi, untuk sebuah alasan kuat, Kiai Nur Saleh kembali ke tanah Jawa, setelah bertahun-tahun diasingkan. Selain dalam peperangan, salah satu tugas ulama ningrat kepercayaan Pangeran Diponegoro ini memang menyebarkan agama Islam.

Dalam catatan sejarah, nama Kiai Nur Saleh memang tak ditemukan. Tetapi, diyakini hal itu terjadi lantaran gerakannya pascaperang Diponegoro memang sangat dirahasiakan. Bahkan, puluhan tahun usai perang Jawa sekalipun, jejak kepahlawanannya masih ditutup-tutupi oleh anak keturunannya.

“Saya mendapat cerita ini dari Mbah Sayuti (keturunan generasi ke-4 Kiai Nur Saleh-red). Dan itu tidak boleh diceritakan, terkecuali memang keadaan sudah memungkinkan dan diperbolehkan oleh keturunannya,” kata Mahmud.

Itu artinya, hingga lebih dari 120 tahun, kisah kepahlawanan Kiai Nur Saleh masih tertutup tabir. Di satu sisi, keluarga ini memang dikenal tawaduk atau rendah hati meski terkenal kedalaman ilmunya. Di sisi lain, kerahasiaan itu menjadi perisai untuk menjamin keselamatan anak keturunan ulama pejuang ini.

Perang Jawa sendiri, berlangsung antara 1825-1830 Masehi, meski ada pula sebagian yang meyakini perang gerilya Jawa masih berlangsung hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. Meski eskalasi konflik dan peperangannya tak sekolosal masa Perang Jawa.

 

4 dari 4 halaman

Sekilas Kisah Kiai Singadipa, Panglima Perang Diponegoro

Keyakinan itu beralasan, lantaran di wilayah yang berdekatan, yakni Banyumas (Cilacap juga merupakan bagian dari eks-Karesidenan Banyumas), seorang panglima perang melanjutkan perang gerilya selama 10 tahun usai 1930 atau masa di mana sejarawan meyakini sebagai akhir perang Jawa. Namanya, Kiai Ngabehi Singadipa. Panglima Perang untuk kawasan Banyumas Raya atau sektor barat.

Kiai Singadipa terus berperang gerilya, meski pangeran junjungannya sudah dibuang ke Manado, dan lantas ke Makassar. Kiai Nur Saleh diyakini juga memiliki tugas yang sama, meski lebih kepada penyebaran agama Islam, alih-alih perang secara langsung.

Kekuatan mental perlawanan itu terus dikobarkan hingga bertahun-tahun lamanya. Dari semangat perlawanan itu, lahir generasi-generasi selanjutnya yang terus mengobarkan perlawanan, meski tidak langsung. Anak keturunan dan murid-muridnya mewarnai perlawanan terhadap kolonial, dari barisan ulama.

Kembali ke Alquran kuno, menilik nama ulama yang tercatat dalam lembaran mushaf tersebut, Nur Jalin, ia adalah keturunan ke-3 atau cucu Kiai Nur Saleh. Masa kini, sulit membayangkan untuk menulis ratusan lembar Alquran. Pastinya, butuh waktu panjang untuk menulis Alquran tersebut hingga penjilidannya.

Alquran itu ditulis dengan tinta China alias Tiongkok. Bagi santri, tinta China memang dikenal tahan lama. Terlebih jika digoreskan ke kertas yang berkualitas baik. Berbeda dengan tinta masa kini yang mudah pudar, tinta China kuat bertahan hingga bertahun-tahun.

Salah satu buktinya adalah Alquran tersebut. Meski sudah ditulis nyaris 150 tahun, huruf dalam Alquran ini masih mudah dibaca. Hanya saja, di sana-sini muncul jamur yang harus segera dibersihkan. Perlu keahlian khusus untuk membersihkan jamur dalam artefak penting yang menyimpan sejarah panjang perjuangan penyebaran Agama Islam dan kemerdekaan Indonesia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.