Sukses

Hikayat Desa Beganjing dan Kisah Kerbau Gila di Blora

Dahulu kala ada salah satu warga kampung yang jika menggembala kerbau tidak pakai pecut, namun pakai ganjing. Orang itu sangat tegas, barangkali lebih tepat, galak

Liputan6.com, Blora - Beganjing, yang terbayang bukanlah nama sebuah tempat. Tapi ternyata itu adalah nama desa di Kecamatan Japah, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Ada sebuah cerita tutur mengenai Desa Beganjing yang cukup menarik. Konon asal nama desa tersebut berasal dari jenis benda yang digunakan untuk memukul yaitu Ganjing.

"Dulu warga sini itu ternaknya kebo (kerbau). Tidak ada sapi, kambing ataupun yang lainnya," kata seorang warga, Syaifudin Zuhri, kepada Liputan6.com, Minggu (19/7/2020).

Menurut dia, Desa Beganjing berasal dari dua suku kata yaitu 'Bo' dan 'Ganjing'.

"Bo itu kebo dan ganjing itu alat pemukul yang ukurannya besar. Jadilah kata Boganjing, namun lambat laun terkenalnya jadi Beganjing," kata Zuhri.

Dia menceritakan, dahulu kala ada salah satu warga kampung yang jika menggembala kerbau tidak pakai pecut, namun pakai ganjing. Orang itu sangat tegas, barangkali lebih tepat, galak.

"Saking kerasnya memukul kebo pake ganjing kebo-nya jadi gila," katanya.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Muasal Nama Desa di Sekitar Beganjing

Munculnya beberapa nama desa lain di wilayah itu erat kaitannya dengan Desa Beganjing. Ceritanya, ketika ada gotong royong sambatan (bekerja tak diberi upah), ada kerbau yang lari ke arah tanah lapang yang banyak rumputnya.

"Kerbau itu lalu dipukul pakai ganjing dan pemilik kebo memberi nama tanah lapang tersebut dengan nama Desa Beran," kata Zuhri.

Setelah tempat tersebut dinamai Desa Beran malah kerbaunya hilang. Kemudian pemiliknya bersama orang-orang mencari kerbau tersebut dan melanjutkan perjalanan ke arah selatan.

"Setelah berjalan hingga lama, rombongan pencari kerbau tadi itu lesu (lapar) dan leren (istirahat) di sebuah tempat. Tempat itu sekarang yang dikenal dengan nama Desa Suren," sambungnya

Pemerhati sejarah desa itu melanjutkan, mereka kemudian mencari kerbau itu lagi hingga waktu magrib. Namun tidak ditemukan juga dan akhirnya pasrah dengan keadaan.

"Jika kebo itu ketemu ya Alhamdulillah, jika tidak ya sudah," ucap Zuhri.

Pada waktu Magrib itu, para pencari kerbau tersebut di suatu tempat juga memberi nama desa, yakni Desa Tengger.

"Cerita yang saya tahu Desa Tengger diambil dari kata peteng-peteng nek goleki angger-angger (gelap-gelap kalau mencari asal saja)," dia menjelaskan.

 

3 dari 4 halaman

Warga 'Nggremeng' Lantaran Kerbau Tak Ditemukan

Zuhri melanjutkan, ternyata perjalanan mencari kerbau tidak terasa sudah pagi. Lalu orang-orang gremeng (mengomel )

"Kebo digoleki nganti esok muput kok ora kepethuk-kepethuk (Kerbau dicari sampai pagi kok tidak ketemu-ketemu), dan akhirnya tempat itu punya nama Desa Puthuk," katanya.

"Namun meski begitu warga tetap semangat mencari kebo lalu warga bertemu dengan salah satu orang yang mengawe-ngawe (melambai-lambaikan tangan) dan bilang kalau ada kebo di sini. Jadilah nama desa Ngawen," kata dia lagi.

Orang itu tak bohong. Ternyata benar, kerbau yang hilang tadi ditemukan lalu warga melihat air yang menyumber banyak di sebelah utara. Jadilah nama Desa Berbak (sumberane kebak).

Setelah itu kebonya dibawa ke kandang, nah di tempat itu lah di namakan Desa Gondang. Esok harinya karena kebo-nya banyak kebo yang sudah ketemu tadi kerasan bersama kebo-kebo lainnya.

"Sampai digeret-geret orang banyak dan orang-orang itu menggeret kebo tadi sampai mruntus (keringetan) jadilah nama Desa Mruntusan," dia mengungkapkan.

4 dari 4 halaman

Akhir Sang Kebo

Zuhri menambahkan, kebo tersebut saat itu ingin dijual ke pasar hewan. Namun belum sampai dijual kerbaunya malah mati.

"Lalu akhirnya dipendem (dikubur), jadilah nama Desa Pendem," ucapnya.

Menghadirkan bahasan ini di ruang publik, tidak bisa diambil kesimpulan benar tidaknya cerita tutur yang disampaikan oleh Zuhri.

Liputan6.com masih menunggu versi sejarah maupun cerita-cerita desa lain yang mungkin belum ditemukan dan lebih sahih keterangannya.

Penulis: Amel Meila

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.