Sukses

Protokol Kesehatan, Tatanan Baru Pengelolaan BRT Trans Semarang

Pengelola tega menurunkan penumpang di tengah jalan jika kedapatan tak mematuhi protokol kesehatan.

Liputan6.com, Semarang - Pandemi Corona memunculkan kreatifitas pengelolaan transportasi umum. Memanfaatkan teknologi daring dan tanpa pembayaran tunai, Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang diganjar sebagai pengelolaan transportasi inovatif pandemi corona.

Pelaksana Tugas Kepala BRT Trans Semarang Hendrik Setiawan menyebutkan bahwa protokol kesehatan yang menjadi panduan memaksa pengelolaan BRT beradaptasi.

“Jaga jarak, wajib masker dan juga jaga kebersihan dengan cuci tangan adalah langkah kecil yang kasat mata,” kata Hendrik, Kamis (25/6/2020).

Yang dikatakan Hendrik sangat sejalur dengan pemandangan sehari-hari di shelter BRT. Seperti terlihat di shelter jalan Pemuda. Di dalam shelter, Rahayu sibuk dengan layar gawainya. Ia memastikan saldo uang digital di sebuah aplikasi.

Meskipun ramai, shelter tersebut tak sampai berdesakan. Ini faktor jaga jarak yang diterapkan pengelola BRT Trans Semarang. Untuk bisa menjadi penumpang, para calon penumpang merelakan diri melalui sejumlah tahapan.

“Saya tadi diminta mengenakan masker dan sempat diperiksa suhu tubuh dengan thermoguns,” kata Rahayu.

Hendrik Setiawan menyebutkan bahwa pengorbanan para penumpang itu sangat diapresiasi oleh awak BRT. Para karyawan juga diwajibakan mengenakan masker, ditembak dahinya dengan thermoguns sebelum beraktivitas, hingga penggunaan Face Shield dan kewajiban membersihkan tangan dengan hand sanitizer.

“Menjaga kesehatan awak bus sama pentingnya dengan menjaga kesehatan masyarakat. Untuk menjaga antibody manajemen membagikan multivitamin dan susu juga,” kata Handrik.

Tentu saja anggaran operasional bertambah. Bagaimanapun cairan pencuci tangan harus disediakan di semua shelter BRT. Ini tentu bukan hal murah.

Kisah Didik berbeda dengan Rahayu. Ia mengaku diturunkan paksa di tengah jalan. Ia menyebut bahwa kedisiplinan awak BRT tak bisa ditawar.

“Saya mau ke Banyumanik. Memang saat masuk bus saya masih bermasker. Namun ketika di dalam masker saya putus talinya dan jatuh. Saya tak mau lagi memakainya, jadi saya diturunkan paksa,” kata Didik.

Ia beralasan bahwa maskernya jatuh dan kotor. Namun tak diterima. Sampai shelter terdekat ia diminta turun dan diminta melapor ke petugas yang ada sehingga bisa melanjutkan perjalanan tanpa membayar lagi.

“Di shelter itu saya diberi masker pengganti. Dan akhirnya saya harus melanjutkan perjalanan dengan bus berikutnya,” kata Didik.

Untunglah shelter tersebut sepi. Sehingga sangat mudah menjaga jarak. Kekhawatiran shelter penuh memang ada karena kapasitas BRT Trans Semarang sebagai institusi transportasi publik diturunkan hingga 50%. Tujuannya jelas, agar bisa jaga jarak di dalam bus selama perjalanan.

 

Simak video pilihan berikut

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tanpa Antrean

Hendrik mengakui hal itu memang sebagai bagian upaya menjaga kedisplinan penumpang untuk mematuhi protokol kesehatan. Bahkan secara rutin interior dan eksterior armada BRT disemprot dengan disinfektan.

Menerapkan protokol kesehatan bukannya tanpa risiko. Pengurangan jam layanan dan pembatasan kapasitas jumlah penumpang berisiko berkurangnya pemasukan. Apalagi penerapan uang elektronik dengan e-ticketing justru lebih murah dan masih ditambah diskon.

“Tapi penumpang tetap saja memilih BRT dibanding menggunakan kendaraan sendiri karena jalanan sepi. Dengan aplikasi Trans Semarang, posisi BRT yang ditunggu penumpang bisa dipantau,” kata Hendrik.

Dengan aplikasi itu, penumpang bisa memperhitungkan waktu yang dia butuhkan untuk menunggu. Bisa juga memanfaatkan waktu untuk kegiatan lain sehingga tak perlu menunggu lama di shelter. Ini sangat bermanfaat untuk menghindari kerumunan antrean.

Dengan pendekatan itu, BRT Trans Semarang mendapat penghargaan ketiga Lomba Inovasi Daerah Tatanan Normal Baru Produktif dan Aman Covid-19 sektor Transportasi. Meski demikian, Hendrik mengaku belum puas.

“Kami baru mendapatkan peringkat ketiga. Masih kalah dengan Bengkulu dan Banda Aceh. Ini jadi cambuk bagi kami untuk mencari inovasi-inovasi baru,” kata Hendrik.

Lalu untuk apa hadiah yang diterima?

“Hahahaha. Hadiahnya kan untuk Pemkot mas. Jadi ya dikembalikan ke masyarakat untuk perbaikan pelayanan," kata Hendrik.

Begitulah, pandemi corona tak selalu menghasilkan hal buruk. Kadang memaksa para pelaku ekonomi dan pelayanan publik untuk berinovasi. Selamat untuk BRT Trans Semarang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.