Sukses

Menyoal Tradisi Kawin Tangkap Sumba di Era Kekinian

Sebuah video kawin tangkap yang dilakukan sejumlah pemuda dengan menculik seorang gadis Sumba beredar di media sosial.

Liputan6.com, Sumba - Menanggapi video viral yang beredar di media sosial soal praktik kawin tangkap yang dilakukan sejumlah pemuda dengan menculik seorang gadis di Sumba, antropolog dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Pater Gregorius Neonbasu mengatakan, 'kawin tangkap' di pulau Sumba hanyalah tindakan yang pragmatis, yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat.

Bagi masyarakat di pedalaman Pulau Sumba, seperti di wilayah Kodi dan Wawewa, mereka menganggap hal tersebut ada karena budaya turun-temurun yang tak bisa dihilangkan, walaupun hal tersebut dianggap merendahkan martabat kaum perempuan.

Gregorius, yang juga budayawan mengatakan, ada beberapa peneliti dari negara lain yang melakukan penelitian soal praktik tersebut, beberapa di antaranya adalah Janet Alison Hoskin yang meneliti di Kodi Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat.

"Mereka berpendapat bahwa kawin tangkap tidak boleh dikatakan sebagai suatu budaya, itu hanya kebiasaan yang selalu terjadi berulang-ulang," ujar dia.

Ia pun menilai bahwa masyarakat Sumba pada umumnya juga berjuang untuk sedapat mungkin menghindari praktik tersebut, karena sudah banyak yang tak sependapat dengan hal tersebut.

Sebab, kata dia, secara antropologis orang Sumba, seperti masyarakat NTT pada umumnya, menilai peran wanita atau perempuan sangat tinggi sehingga harus dihormati.

Lebih lanjut terkait apakah praktik turun-temurun itu harus dihilangkan atau tidak, biarawan Katolik itu mengatakan, yang perlu diperhatikan dalam perspektif kawin tangkap adalah pola pikir masyarakat setempat yang harus diubah.

"Selain itu praktik kawin tangkap seperti itu harus dapat dijelaskan dengan memperhatikan dimensi sosial-kemasyarakatan Orang Sumba dalam pertimbangan moral-etik dan benturan arti serta makna baru dari dinamika kehidupan berkeluarga," katanya.

Terkait apakah praktik tersebut melanggar hukum atau tidak, Gregor mengatakan, perlu kearifan lokal untuk menjelaskan relasi sosial antara masyarakat penganut tradisi tersebut dan kehidupan sosial keluarga-keluarga lain di Sumba.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.