Sukses

Meugang, Tradisi Zaman Kerajaan Jelang Lebaran di Aceh

Salah satu kebiasaan masyarakat Aceh menjelang perayaan Idul Fitri ialah Meugang, simak penjelasannya:

Liputan6.com, Aceh - Salah satu kebiasaan masyarakat Aceh menjelang perayaan Idul Fitri ialah Meugang. Meugang berarti membeli daging, biasanya sapi atau kerbau untuk santapan di hari raya.

Sesuatu yang telah menjadi tradisi di tengah masyarakat ujung Kepulauan Sumatra itu juga berlaku menjelang puasa. Artinya, Meugang ini hanya ada di akhir bulan Syakban dan memasuki Syawal.

Pada hari-hari tersebut, para pedagang daging sapi atau kerbau akan membanjiri pasar hingga pinggir-pinggir jalan di Aceh. Soal daging apa yang dominan dijual, biasanya tergantung daerah —barat selatan Aceh dulunya cenderung daging kerbau.

Harga daging bervariasi setiap tahunnya. Kamis sore (21/05/2020) Liputan6.com sempat menanyakan kepada salah satu penjual daging di kawasan Gampong Beurawe, Banda Aceh, harganya Rp140 ribu ribu per kilogram, kalau pagi mencapai Rp150 ribu ke atas.

Di kabupaten lain, terpantau kalau harga daging ada yang mencapai Rp170 ribu-180 ribu per kilo. Pada sore hari biasanya harga daging sengaja diturunkan agar dagangan terjual semua.

Fenomena yang cukup menarik pada hari Meugang di mana para pembeli tidak terpatok hanya kaum ibu, tapi juga bapak-bapak. Tak ada tawar-menawar, harga sesuai kemauan si pedagang, pun gengsi pembeli tetap bermain di sini. Karena daging wajib dibawa pulang, entah untuk menyenangkan istri, mertua, atau anak-anak di rumah.

Setelah daging dibeli, para ibu rumah tangga di Aceh akan masak besar. Daging-daging tersebut diolah menjadi kari atau rendang atau lainnya kemudian akan disantap keluarga atau disediakan kepada tamu saat hari halal bihalal.

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Melacak Tradisi Meugang Sejak Zaman Kesultanan Aceh

Keberadaan tradisi Meugang atau dikenal pula dengan Makmeugang tidak terlepas dari kebiasaan yang dibangun pada masa kesultanan. Telah banyak narasi mengenainya.

Pelaksanaan Meugang pada masa kerajaan diatur dalam qanun. Selain membagi-bagikan daging sapi atau kerbau, kerajaan juga membagi-bagikan uang dan sandang kepada rakyatnya.

Qanun tersebut disyarahkan Tgk Di Mulek, dalam Bab II Pasal 5 Qanun Meukuta Alam. Di dalam qanun dijelaskan bahwa keuchik (kepala desa, red) akan mendata jumlah fakir miskin, janda, anak yatim, dan orang sakit yang ada di kampungnya beberapa hari sebelum Meugang.

Kepala desa lalu menyampaikannya kepada Imam Mukim. Dari Imam Mukim, dilanjutkan kepada kadi-kadi dan hulubalang hingga ke Kadi XXII, berlanjut kepada Kadi Muazzam lalu kepada Syakh al-Islam hingga sampai ke sultan.

Setelah mendapat titah dari Sultan, Tandi Siasat atau ajudan kerajaan akan mengambil dirham dan kain dari Balai Silaturahmi atau gudang logistik kerajaan kemudian memotong sapi atau kerbau. Semua perbekalan selanjutnya diserahkan kepada kepala desa untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.

Astari Mulyana Putri dan Amsal Amri dalam jurnal mereka menjelaskan Meugang berasal dari kata 'gang' berarti pasar. Adapun Makmeugang adalah ungkapan takjub 'Makmu that gang nyan!' berarti makmur sekali pasar itu!), karena pada hari tertentu situasi lorong atau slot penjual daging di pasar akan ramai pembeli, yang jarang ditemukan pada hari biasa.

Ali Hasjmy (1983:151), menyebut, pada masa jayanya, Kerajaan Aceh Darussalam memusatkan perayaan Meugang di Keraton Darud Dunia. Dihadiri sultan, para menteri, pembesar kerajaan, serta alim ulama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.