Sukses

Pakar Epidemiologi Indonesia Bantah WHO yang Sebut Covid-19 Tak Akan Hilang

Daerah-daerah di Indonesia optimis bisa keluar dari pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi kesehatan dunia atau WHO mengatakan, virus corona (Covid-19) kemungkinan tidak akan hilang dari muka bumi. Mereka juga tidak percaya pihak-pihak yang mengatakan bahwa virus tersebut akan lenyap.

"Virus ini mungkin akan menjadi virus endemik saja di dalam masyarakat, dan virus ini kemungkinan tidak akan pernah pergi," ujar direktur WHO Mike Ryan seperti dilansir BBC, Kamis (14/5/2020).

Berdasarkan data CoronaTracker, ada lebih dari 4,4 juta kasus virus corona di seluruh dunia. Angka kematian hampir mencapai 300 ribu.

Para ilmuwan sedang berusaha mengembangkan vaksin virus corona yang diprediksi baru beres pada tahun depan. Meski demikian, WHO menyebut perlu usaha besar untuk mengontrol virus ini meski ada vaksin.

Dirinya juga menyebut, penyakit seperti cacar juga memiliki vaksin, tetapi virusnya masih belum hilang hingga saat ini.

Meski demikian, katanya, penanganan virus corona bisa mencontoh HIV. Vaksin dari HIV memang belum ada, tetapi masyarakat bisa "berdamai" dengan virus itu dan ada obat yang meredam penyakitnya.

"HIV belum pergi, tetapi kita telah berdamai dengan virus itu, dan kita telah menemukan pengobatannya, dan kita menemukan metode pencegahannya, dan orang-orang tidak takut seperti sebelumnya," katanya.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sanggahan Ilmuwan Indonesia

Terkait dengan pernyataan tersebut, Syahrizal Syarif, pakar epidemiologi Universitas Indonesia kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2020) mengatakan, pernyataan bahwa virus corona bisa menjadi penyakit endemik pada manusia sangat kontroversial. Apalagi menyamakannya dengan penyakit HIV/AIDS. 

"HIV adalah penyakit yg disebabkan virus yang menyerang sistem kekebalan manusia. Saat ini manusia adalah sumber penularan utama dan sudah menjadi reservoir, tempat tinggal virus HIV. HIV bukan self limited disease dan mempunyai masa inkubasi yang panjang bahkan dapat 15 tahun. Apalagi tidak ada vaksin dan obat pilihan," katanya.

Pemberian Obat ARV, katanya, memang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien AIDS dengan meminumnya seumur hidup, namun tetap membawa virus sepanjang sisa hidup pasien. HIV juga merupakan penyakit spesifik bersifat klaster pada kelompok berisiko atau kelompok kunci yang secara sosial bersifat tertutup.

Penularan pada masyarakat umum ditandai dari tingginya kasus ibu hamil yg positif HIV. Deteksi dini dan penelusuran kontak menjadi masalah tersendiri karena terkait kelompok kunci.

"Ini yang menyebabkan HIV sulit hilang dari kehidupan manusia," katanya.

Berbeda dengan Sars-Cov-2, virus penyebab Covid-19. Jika dilihat dari sejarah kemunculannya, kata Syarif, Sars-Cov pertama kali muncul pada 2002, dan dapat diatasi dan dieradikasi (pemusnahan total) dalam waktu 8 bulan saja. Sedangkan pandemi Sars-Cov-2 sudah memasuki bulan ke lima di dunia, dan 80 persen negara terjangkit sudah dalam situasi menurun terkendali, bahkan beberapa di antaranya sudah hampir selesai.

Lebih jauh dirinya menjelaskan, Sars-Cov-2 adalah jenis corona self-limited disease, manusia bukan induk semang alamiahnya, masa inkubasi juga relatif cepat 2-14 hari, tidak menular secara airborne, ada alat diagnosa yang akurat seperti PCR. Walau belum ada pilihan obat, tapi tingkat kesembuhannya di atas 95 persen.

"Meski kasus asymtomatic cukup tinggi, yaitu 20- 40 persen di kalangan usia muda, saya yakin Covid-19 tidak akan menjadi penyakit endemik- seperti HIV, seperti yang dikatakan WHO," katanya.

Syarif hanya mewanti-wanti, rute alamiah kasus import, kasus klaster, transmisi lokal dapat memunculkan gelombang wabah baru. Namun tidak mustahil sistem kewaspadaan yang baik dapat mengatasinya.

 

 

 

 

3 dari 4 halaman

Optimisme di Sumatera Barat

Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan pemeriksaan secara masif membuat laju penyebaran Covid-19 di Sumatera Barat mampu ditekan, bahkan beberapa klaster penyebaran bisa diputus.

"Beberapa klaster penyebaran Covid-19 di daerah sudah mulai ada yang menunjukkan kurva menurun. Bahkan di Kota Padang dari 15 klaster, 50 persen sudah diputus," kata Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Kamis malam (15/5/2020).

Pemprov Sumbar bahkan mengatakan, klaster penyebaran di Pasaman Barat juga sudah berhasil diputus, demikian juga dengan sebagian klaster di Pesisir Selatan. Diharapkan dengan penerapan PSBB yang diperpanjang hingga 29 Mei dan menjalankan protokol kesehatan, akan semakin banyak klaster penyebaran Covid-19 yang berhasil diputus.

Namun ada pula daerah yang sebenarnya telah berhasil memutus klaster awal yang muncul, tetapi muncul kasus baru dan dikhawatirkan menjadi klaster baru pula seperti di Bukittinggi.

Sementara itu penyebaran Covid-19 di beberapa daerah masih menunjukkan kurva naik, di antaranya Padang, Padang Panjang, Payakumbuh dan Limapuluh Kota.

Kota Padang, meski sudah ada beberapa klaster yang berhasil diputus, tetapi klaster terbesar yaitu klaster Pasar Raya Padang masih menunjukkan kurva menanjak.

Diperkirakan warga yang terpapar dari klaster itu masih akan bertambah karena hasil tracing ada seribu-dua ribu orang yang kemungkinan telah kontak dengan mereka yang positif.

Meski demikian Gubernur Irwan Prayitno menyebut semakin banyak hasil tracing yang berhasil diklarifikasi akan semakin baik karena dengan diketahui siapa yang positif, penanganannya bisa lebih maksimal sehingga penyebarannya bisa dihentikan.

Namun ia mengingatkan berdasarkan prediksi pakar, Sumbar belum mencapai periode puncak yang diperkirakan pada akhir Mei 2020. Artinya jumlah warga yang terpapar kemungkinan masih akan bertambah.

"Jangan kendurkan penerapan protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, sering mencuci tangan dan hanya keluar rumah bila sangat perlu," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Melandai Tapi Tetap Waspada

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan, data penambahan kasus mingguan Covid-19 di Tanah Air saat ini menunjukkan gerakan kurva melandai.

"Dari data terlihat yang disebut kurva melandai atau gerakan kurva melandai," katanya beberapa waktu lalu.

Untuk melihat kondisi tersebut, ia mengatakan minimal harus dilihat dari 10 provinsi, termasuk provinsi yang memiliki penambahan kasus terbanyak.

Saat ini, 10 provinsi dengan penambahan kasus Covid-19 terbanyak di Tanah Air meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, Nusa Tenggara Barat, Bali, Papua, dan Sumatera Barat.

"Namun jangan interpretasikan melandai itu berakhir, belum karena ini baru data satu minggu," ujar dia.

Dirinya juga mengatakan data setiap minggu itu penting untuk diperhatikan sebab merupakan gambaran yang lebih realistis. Jika hanya melihat pada angka kumulatif, tentu terlihat selalu naik dan membuat masyarakat menjadi was-was.

"Padahal jika dilihat data per minggu itu sudah ada melandai. Semoga nanti naik sedikit atau tetap segini saja, kalau untuk turun itu belum tentu," katanya.

Menurut dia, jika penambahan data Covid-19 minggu selanjutnya menunjukkan kenaikan data yang sedikit saja atau tetap sebagaimana sekarang, maka itu berarti sudah ada kecenderungan menurun.

Ia mengimbau setiap orang bersama-sama berperang melawan Covid-19 dan tidak cepat-cepat menarik kesimpulan saat melihat kumulatif data yang terus naik dari hari ke hari.

Selain itu, seluruh pimpinan daerah juga perlu memastikan masyarakatnya dikendalikan agar benar-benar dapat menang melawan Covid-19.

"Ini seperti lari maraton di mana pesertanya ialah seluruh rakyat Indonesia. Dan untuk berlari itu dibutuhkan ketahanan yang panjang," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.