Sukses

Aroma Korupsi dalam Kasus Pembalakan Liar Hutan Mangrove Lantebung Makassar

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan akan menyelidiki dugaan korupsi dalam kasus pembalakan liar hutan mangrove itu.

Liputan6.com, Makassar - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) mengintruksikan penyelidik bidang pidana khusus (pidsus) segera menyelidiki aroma korupsi dalam kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove yang berada di pesisir Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar.

"Kasus hutan mangrove itu saya atensi keras dan telah memerintahkan bidang pidsus segera menyelidikinya," tegas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar saat ditemui di ruangan kerjanya, Selasa 5 Mei 2020..

Ia juga menargetkan penyelidik pidsus agar memaksimalkan penyelidikan sehingga tidak berlama-lama kasusnya bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan.

"Aroma korupsi dalam kasus hutan mangrove tersebut cukup nampak. Tinggal bagaimana penyelidik nantinya menemukan alat bukti agar segera naik sidik," jelas Firdaus.

Diketahui, kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah Lantebung, turut mendapat perhatian serius kalangan pegiat anti korupsi di Sulsel.Mereka mendorong agar penegak hukum mengusut aroma korupsi dalam kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove tersebut.

Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun mengatakan dalam kasus hutan mangrove di daerah Lantebung, sebaiknya penegak hukum menggunakan instrumen kerugian lingkungan hidup untuk menghitung kerugian keuangan negara yang merupakan salah satu elemen dalam tindak pidana korupsi.

Kerugian lingkungan hidup, kata dia, sangat berpeluang menjadi sebagai tindak pidana korupsi.

"Karena lingkungan dianggap sebagai barang milik publik yang tercakup sebagai kekayaan negara sehingga kerusakan atas lingkungan hidup adalah kerusakan pada kekayaan negara yang berujung pada kerugian keuangan negara," kata Kadir.

Ia berharap penegak hukum fokus pada pengusutan unsur korupsi dalam penanganan kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah pesisir pantai bagian utara Kota Makassar itu.

"Kasus hutan mangrove ini tidak boleh berhenti hanya dengan pemberian sanksi administrasi semata. Tapi lebih dari itu, kepentingan negara harus diutamakan sehingga kasus ini harus diproses secara pidana khususnya keranah dugaan tindak pidana korupsi," terang Kadir.

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dibawa ke Ranah Pidana Korupsi

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua DPP Aliansi Peduli Anti Korupsi (APAK), Mastan. Ia mengatakan kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah Lantebung sangat tepat digiring ke ranah tindak pidana korupsi.

"Sejak awal kita mendorong itu dan akan terus kami kawal hingga perusahaan perusak kawasan lindung hutan mangrove yang dimaksud bisa diseret ke ranah tipikor," tegas Mastan.

Menurutnya, untuk membuktikan adanya unsur tindak pidana korupsi dalam kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah Lantebung tersebut, penegak hukum hanya perlu membuktikan adanya unsur penyalahgunaan kewenangan hingga unsur kerugian negara dan perekonomian negara didalamnya.

Terkait penyalahgunaan wewenang, kata dia, penegak hukum hanya perlu mencari tahu siapa-siapa pihak yang memiliki kewenangan atas kawasan lindung hutan mangrove tersebut. Setelah diketahui, langkah selanjutnya tinggal mendalami sejauh mana pihak yang memiliki kewenangan tersebut melaksanakan kewenangannya,

"Nah dalam unsur perbuatan pidana ada dua yakni unsur kelalaian dan unsur kesengajaan. Jika salah satu diantaranya ditemukan maka dapat diartikan sebagai unsur penyalahgunaan kewenangan," ungkap Mastan.

Kemudian berikutnya terkait pembuktian unsur kerugian negara dan perekonomian negara. Dimana kata dia, dengan melihat keberadaan hutan mangrove di daerah Lantebung yang awalnya telah menelan anggaran negara baik dalam proses penanaman bibit hingga pengawasan pertumbuhannya.

"Dengan begitu kan jelas nilai kerugian negara yang ditimbulkan. Belum lagi hutan mangrove tersebut kabarnya masuk sebagai kawasan wisata hingga berpengaruh pada peningkatan Penghasilan Asli Daerah (PAD)," tutur Mastan.

Dengan penguraian diatas, ia berharap penegak hukum betul-betul fokus mengarahkan kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah Lantebung ke ranah tindak pidana korupsi.

"Unsur tipikornya cukup terpenuhi, kita optimis kasus hutan mangrove ini bisa sampai ke persidangan," Mastan menandaskan.

3 dari 4 halaman

Tanggapan Akademisi Soal Kasus Hutan Mangrove Lantebung Makassar

Kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar juga mendapat respon dari kalangan akademisi di Sulsel.

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar, Jermias T.U Rarsina, kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah Lantebung yang diketahui sebagai kawasan pariwisata Kota Makassar tersebut, seharusnya tidak sekedar mendapatkan sanksi administrasi semata dari Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar sebagaimana tertuang dalam surat bernomor :1128/280.660/tahun 2020.

Sanksi administrasi, kata dia, tidak menghapuskan tindak pidana yang terjadi, sebab telah ada pembalakan liar di kawasan lindung hutan mangrove yang juga diketahui sebagai kawasan pariwisata itu.

Kasus hutan mangrove di Lantebung tepatnya, kata Jermias, harus dibawa ke ranah dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam hal pemberian hak pengelolaan atas lahan tersebut.

"Jika melihat fakta di lapangan, nampaknya aktifitas pembalakan hutan mangrove di Lantebung yang diketahui sebagai kawasan lindung dan pariwisata itu, tentunya terkait dengan pemberian hak dalam hubungannya dengan rencana penggunaan kawasan lahan tersebut," jelas Jermias.

Perbuatan perusahaan yang menjalankan aktifitas pembalakan liar di hutan mangrove Lantebung, kata dia, tidak bisa berdiri sendiri tanpa melibatkan wewenang Pemerintah Daerah selaku pemberi hak pengelolaan atas lahan.

"Jadi jelas bahwa negara telah dirugikan perekonomiannya baik dari segi pariwisata dan lingkungan hidup yang erat kaitannya satu sama lainnya," ucap Jermias.

Perusahaan pembalakan hutan mangrove maupun Pemda harus dilibatkan dalam masalah ini secara transparan dan obyektif. Sehingga duduk masalah hukumnya dan tanggungjawabnya akan menjadi jelas," lanjut Jermias.

Tanggung jawab hukum perusahaan, kata dia, dilihat sebagai penerima hak pengelolaan atas hutan mangrove dan Pemerintah Daerah selaku pemberi kewenangan pengelolaan lahan.

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), kata dia, memang tidak mengatur secara eksplisit tentang hak pengelolaan. Tetapi hanya menjelaskan hak pengelolaan itu berasal dari hak menguasai negara atas tanah.

"Hal itu berarti memiliki makna hukum negara sebagai pihak yang menguasai tanah dapat memberikan hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum tertentu dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, termasuk hak pengelolaan," ungkap Jermias.

Sejak dahulu hak pengelolaan telah diatur seperti pada Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1965 tentang pelaksanaan konversi hak penguasaan atas tanah negara dan ketentuan kebijakannya yang kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 tahun 1999 tentang cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan.

Hal itu telah memberikan terminologi hak pengelolaan secara tegas. Yakni hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kewenangannya kepada pemegang hak yang didalamnya terdapat syarat mengenai rencana penggunaan hak pengelolaan kepada pemegang haknya.

Secara yuridis jelaslah sudah hubungan hukum antara Pemerintah Daerah selaku pemberi hak dan pihak perusahaan (PT. Tompo Dalle/PT Dillah Group) selaku penerima hak, kedua-duanya dapat ditarik masuk.

"Tanggungjawab hukum mereka mengenai wewenang yang erat keterkaitannya dengan kerugian keuangan atau ekonomi negara sehubungan dengan hak pengelolaan diatas hutan mangrove," terang Jermias.

Dengan demikian, Jermias menilai kasus pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove di daerah Lantebung sangat tepat jika digiring ke ranah hukum dengan dugaan tindak pidana korupsi.

Melihat proses keberadaan hutan mangrove yang tentunya juga memerlukan waktu yang cukup lama dan dengan adanya penebangan telah merusak nilai lingkungan hidup baik keberlangsungan hutan mangrove itu sendiri hingga dilihat dari sisi manfaatnya sebagai penyangga dari ancaman abrasi pantai.

Selain itu, lanjut Jermias, melihat dampak yang lebih jauh akan keberadaan hutan mangrove di daerah Lantebung yang telah dinobatkan sebagai destinasi wisata atau menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Makassar khususnya.

"Semuanya itu tentunya dapat berdampak atau mempengaruhi kerugian perekonomian negara termasuk biaya untuk pelestariannya," kata Jermias.

Lebih ironis lagi ketika pihak perusahaan kabarnya berdalih telah memiliki alas hak atas lahan yang dimaksud hanya berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Dengan dasar SHGB, menurut Jermias, justru lebih fatal lagi. Karena hal itu sudah tentu bertentangan dengan sifat dan hakikat dari tujuan peruntukan SHGB itu sendiri.

SHGB yang jelas batasan peruntukannya untuk kegiatan hak mendirikan bangunan tidak mungkin diterbitkan diatas lahan kawasan lindung mangrove yang juga berstatus sebagai kawasan pariwisata tersebut.

"Makanya hanya sanksi adminitrasi yang diberikan atas kesalahan perusahaan. Padahal telah terjadi tindak pidana penyalahgunaan kewenangan yang diberikan sesuai maksud dan tujuan pemberian hak atas tanah," terang Jermias.

Ia mengungkapkan kuat adanya dugaan korupsi terjadi dalam kasus hutan mangrove Lantebung karena adanya kewenangan diberikan kepada perusahaan untuk pemanfaatan lahan tanah diatas kawasan lindung hutan Mangrove Lantebung yang diketahui juga berstatus sebagai kawasan pariwisata tersebut.

"Karena pertanyaan hukumnya, apakah status lahan atas tanah negara tersebut telah dicabut (kawasan lindung dan pariwisata)?, sehingga diberikan hak atas tanah kepada perusahaan untuk tujuan peruntukannya sebagai Hak Guna Bangunan (HGB)," ucap Jermias.

Ia mengatakan pemberian sanksi administrasi semata kepada perusahaan yang merusak hutan mangrove di Lantebung hanya merupakan strategi Pemkot Makassar yang tujuannya menghindari kesalahan pemberian kewenangan peruntukan hak atas tanah negara yang diatasnya ada kawasan lindung dan kawasan pariwisata itu.

"Demikian juga HGB tidak boleh masuk atau diberikan diatas lahan yang masih menjadi kawasan lindung. Harus diyakini bahwa HGB jika masuk dalam area hutan lindung, maka disitu kesalahan fatal BPN selaku instansi yang beri hak atas tanah. Apalagi kawasan mangrove itu penyangga lingkungan pantai dan sekitarnya dari ancaman abrasi," Jermias menandaskan.

4 dari 4 halaman

Perusahaan Perusak Hutan Mangrove Hanya Disanksi Administrasi

Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar memberikan sanksi administrasi kepada perusahaan perusak hutan mangrove di daerah Lantebung, PT Tompo Dalle/ PT Dillah Group.

Pemberian sanksi oleh Pemkot Makassar tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Walikota Makassar bernomor: 1128/180.660/tahun 2020.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, A. Iskandar mengatakan putusan sanksi adaministrasi yang diberikan kepada perusahaan perusak hutan mangrove di Lantebung tersebut, menegaskan dua point.

Dimana Pemkot Makassar memberhentikan aktivitas perusahaan (PT. Tompo Dalle/ PT. Dillah Group) diatas lokasi yang dimaksud dan meminta kembali kepada mereka untuk memulihkan kembali kawasan lindung hutan mangrove yang telah dirusak.

"Hari ini sudah kita pasang papan bicara, ada di depan juga, perusahaan sudah kita sanksi administratif paksa pemerintah, Pointnya itu menghentikan paksa dan melakukan restorasi kembali," ucap Iskandar di lokasi perusakan hutan mangrove Lantebung, Senin 4 Mei 2020.

Sejauh ini, kata dia, anak perusahaan dari PT. Tompo Dalle tersebut melakukan aksi pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove tanpa didasari hak izin kelola dari kawasan hutan Mangrove tersebut.

"Terkait izin tentu sangat diherankan, karena setahu saya kawasan mangrove ini hanya berapa meter dari pantai dan tanpa adanya izin untuk mengelola," tutur Iskandar.

Camat Tamalanrea Makassar, Kaharuddin Bakti menyebutkan sejauh ini dirinya tak tahu adanya pembalakan liar kawasan lindung hutan yang terjadi didaerahnya tersebut.

"Sejauh ini tidak ada koordinasi dan tidak ada izin, dari dulu ini memang kawasan hutan mangrove, kita tidak tahu kalau ada aktivitas begini," singkat Kaharuddin di lokasi perusakan hutan mangrove.

Ditempat yang sama, Ketua Penyidik Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Muh. Kamil mengatakan hutan mangrove yang ditebang tersebut adalah kawasan hutan yang dilindungi.

"Kalau secara aturan ini adalah Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) dan itu sudah jelas, secara ilmu pengetahuan bahwa ini masuk dalam zona hijau (Crimbel)," jelas Kamil.

Dalam penanganan kasus hutan mangrove Lantebung sendiri, kata dia, pihaknya sedang dalam proses penyelidikan dan telah memeriksa beberapa pihak termasuk dari perusahaan pembalakan liar kawasan lindung hutan mangrove tersebut.

"Kita sudah periksa operator alat beratnya dan koordinator dari proyek itu (PT. Dillah Group)," Kamil menandaskan.

Terpisah, Direktur Utama PT. Dillah Group, Wiwik mengatakan pihaknya memiliki hak atas objek yang sedang dipermasalahkan tersebut.

"Kami punya HGB (Hak Guna Bangunan)," kata Wiwik via pesan whatsapp.

Mengenai kejelasan apakah kawasan lindung hutan mangrove juga masuk dalam luasan SHGB yang dimiliki perusahaan yang dipimpinnya itu, Wiwik berdalih nanti hal tersebut dipastikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Nanti pihak BPN saja yang pastikan," Wiwik menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.