Sukses

Menilik Kesiapan Desa di Cilacap Menghadapi Pandemi Corona Covid-19

Sebanyak 15 ribu lebih perantau sudah berada di kampung halaman dan langsung berakibat kepada meningkatnya jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19

Liputan6.com, Cilacap - Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya ditelurkan. DKI Jakarta telah resmi menerapkan peraturan teranyar untuk pencegahan dan penanggulangan virus Corona (Covid-19) ini.

Jawa Barat mulai mempertimbangkan untuk mengajukan sejumlah wilayah untuk penerapan PSBB. Tetapi, banyak pihak menilai PSBB tak akan 100 persen mencegah penularan Covid-19.

Muasal kehawatiran itu terjadi lantaran PSBB tak memutus total pergerakan atau perpindahan orang. Meski terjadi pembatasan moda transportasi, orang masih mudah keluar masuk ke sebuah daerah, meski wilayah tersebut merupakan episentrum Covid-19 di Indonesia, seperti Jakarta dan beberapa wilayah Jawa Barat.

Sementara, jutaan orang daerah bekerja di wilayah episentrum tersebut. Dikhawatirkan mereka akan pulang ke kampung halaman, dan menyebarkan SARS-CoV-2 (Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2).

Cilacap barangkali menjadi salah satu wilayah yang paling khawatir dengan kepulangan perantau. Pasalnya, puluhan ribu orang dari wilayah pesisir selatan Jawa ini bekerja di Jakarta dan sekitarnya.

Gelombang kepulangan perantau sudah mulai terjadi begitu pekerja diliburkan. Hingga akhir Maret 2020 lalu, sebanyak 15 ribu lebih perantau sudah berada di kampung halaman dan langsung berakibat kepada meningkatnya jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19.

Dan desa, adalah ujung tombak segalanya. Di desa, perantau vis avis dengan penduduk. Karenanya, tugas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tingkat desa menjadi yang terberat.

Salah satu potret desa dalam pencegahan dan penanganan Covid-19 misalnya di Desa Rejamulya, Kecamatan Kedungreja, Cilacap. Meski belum ada satu pun warga yang terkonfirmasi positif, tetapi Rejamulya adalah desa yang paling banyak melaporkan kepulangan perantau, setidaknya di tingkat kecamatan.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kepulangan Perantau dan Prosedur Karantina Mandiri

Kepala Desa Rejamulya, Imbaryanto mengatakan per 7 April 2020, terdata sebanyak 208 perantau yang tiba di kampung halaman. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat berlipat menjelang Ramadan.

Musababnya, masyarakat memiliki tradisi nyekar atau berziarah di makam leluhur. Menurut dia, meski sudah diimbau untuk tak mudik, kemungkinan besar perantau akan tetap pulang ke kampung halaman, meski hanya dalam jangka sehari dua hari.

“Ini yang dikhawatirkan. Karena sebagian besar perantau di kota besar, yang sekarang ini paling banyak kasus Coronanya,” ucap Imbarwoto, dalam forum diskusi terarah (FGD) di Rejamulya, Selasa.

Dia menjelaskan, di Desa Rejamulya banyak perantau di kota-kota yang teridentifikasi sebagai zona merah Covid-19. Kepulangan mereka ke kampung halaman akan membuat risiko penularan semakin tinggi. Karenanya, dia mengimbau agar sementara waktu ini perantau tak pulang ke kampung halaman, sampai pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir.

Di lain sisi, desa ini juga mempersiapkan kemungkinan terburuk. Salah satunya adalah dengan menyiapkan ruang isolasi khusus.

Gedung yang dipersiapkan yakni gedung sekolah, balai desa dan Polindes Rejamulya. Tiga gedung ini dipilih lantaran berada di satu lokasi dengan fasilitas kesehatan yang paling memungkinkan diakses oleh warga.

Perantau diwajibkan untuk karantina mandiri selama 14 hari terhitung dari kepulangannya. Hingga Selasa (7/4/2020) terdata sebanyak 208 perantau telah pulang.

“Karantina mandiri, ketika ada perantauan khususnya Jakarta dan Jabodetabek, itu ketika pulang tetap tinggal di rumah,” tandasnya.

3 dari 4 halaman

Anggaran Penanganan Covid-19 di Desa

Imbaryanto mengemukakan, kebijakan untuk karantina mandiri secara umum telah berhasil, dengan paramater sebagian besar perantau taat karantina mandiri. Akan tetapi, dia pun mengakui masih ada yang membandel dan berinteraksi dengan orang lain, meski sudah menjadi Orang Dalam Pemantauan (ODP).

Karenanya, gugus tugas tengah mempertimbangkan regulasi untuk memaksa karantina tersentral di gedung-gedung yang disiapkan sebagai ruang isolasi, jika perantau asal daerah episentrum Covid-19 tetap membandel.

Pemdes juga telah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp79 juta untuk langkah preventif dan kuratif.

Anggaran itu bakal digunakan selama tiga bulan, hingga Mei. Di antaranya untuk penyemprotan disinfektan, pendataan perantau, hingga penyiapan Alat Pengaman Diri (APD) untuk anggota Gugus Tugas Covid-19.

“Penguatan tim gugus tugas juga dilakukan dengan menambah jumlah relawan hingga tingkat RT,” dia menjelaskan.

Wakil Ketua DPRD Cilacap, Syaiful Mustain mengatakan desa adalah benteng terakhir untuk menangkal Covid-19. Karenanya, gugus tugas di desa harus lebih tanggap terhadap situasi yang berkembang.

Namun, lantaran hanya di level desa, kewenangan gugus tugas pun terbatas. Karenanya, desa harus diperkuat dengan regulasi di atasnya, misalnya Peraturan Bupati (Perbub).

“Dalam kerjanya, gugus tugas perlu perlindungan hukum. Berikut dengan kewenangan-kewenangan yang dibebankan kepada gugus tugas,” ucap Syaiful.

 

4 dari 4 halaman

Protokol Karantina Covid-19

Syaiful juga mendorong agar Pemerintah Kabupaten Cilacap menyiapkan regulasi untuk protokol karantina paksa bagi orang dalam pemantauan (ODP) risiko tinggi dan pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19.

Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi, lantaran hasil tes swab baru akan diketahui dalam waktu cukup lama. Dikhawatirkan, isolasi mandiri tak efektif karena hanya bersifat anjuran.

“Harus ada prokool untuk upaya pencegahan. Jangan sampai, orang yang belum teridentifikasi kemudian berpotensi menularkan. Dan baru diketahui setelah sekian lama,” ucapnya.

Dia mengaku menerima beberapa keluhan dari gugus tugas Covid-19 di level desa, bahwa ODP risiko tinggi kerap membandel meski sudah disarankan isolasi mandiri.

Belakangan, ada salah satu ODP risiko tinggi yang meninggal dunia dengan gejala mirip Covid-19 namun tak sempat diisolasi karena yang bersangkutan dan keluarganya menolak dirawat di RS rujukan Covid-19.

“Kasus yang satu di Wringin akhirnya meninggal orangnya, kemudian yang satu di Bantarsari ada satu juga, tapi belum meninggal dunia. Nah, orang ini tidak mau, ngeyel. Nah, kemudian apa yang bisa dilakukan, apakah jemput paksa atau seperti apa, saya kira begitu,” jelasnya.

Menurut dia, di tingkat tertentu, aksi represi berupa pemaksaan harus dilakukan. Sebab, ODP risiko tinggi berpotensi menularkan Covid-19 ke orang lain jika tak disiplin isolasi.

“Karena di jajaran kabupaten sendiri tidak memiliki protokol seperti itu, kasus-kasus orang seperti ini, apakah bisa dijemput atau tidak,” ujarnya.

Hal lain yang juga menjadi sorotan adalah kesiapan fasilitas kesehatan, perlindungan untuk tenaga medis, serta regulasi pemerintah untuk menghadapi kemungkinan terburuk pandemi Corona Covid-19.

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.